Jurnalisme Bebas di China Memprihatinkan, Banyak Aktivis Ditangkap
Senin, 13 Mei 2024 - 17:46 WIB
Hong Kong, wilayah yang dikuasai rezim China, berada di peringkat ke-135 dalam daftar tersebut, jauh di atas Beijing.
"Pernah menjadi benteng kebebasan pers, Daerah Administratif Khusus Hong Kong di Republik Rakyat China telah mengalami serangkaian kemunduran yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 2020, ketika Beijing mengadopsi Undang-Undang Keamanan Nasional yang bertujuan membungkam suara-suara independen," sebut RSF.
Peringkat tersebut sedikit lebih tinggi dari peringkat ke-140 yang dicapai dalam daftar yang diterbitkan di tahun 2023.
PEN America asal New York telah merilis Indeks Kebebasan Menulis 2023 awal tahun ini, yang juga menggambarkan situasi kurang memberikan harapan bagi jurnalis di China.
"Secara kolektif, China dan Iran—dua negara yang paling banyak memenjarakan penulis pada tahun 2023—menyumbang hampir setengah (24 dari 51) penulis perempuan dalam Indeks 2023," tutur PEN America.
"China dan Iran sejauh ini merupakan tempat paling tidak ramah di dunia bagi para penulis yang menjalankan kebebasan berekspresi mereka. Kedua negara ini paling banyak memenjarakan penulis, masing-masing 107 dan 49 orang, atau gabungan 46 persen dari total penulis, dan juga menempati dua posisi teratas dalam Writers at Risk Database PEN America," lanjut laporan tersebut.
Pada 2023, jumlah kasus di China melonjak di atas 100, di mana Beijing telah memenjarakan enam penulis selama tahun tersebut, sehingga totalnya mencapai 107. Dari jumlah total itu, 9 adalah perempuan.
Masih menurut laporan PEN America, dari 107 kasus, 50 di antaranya adalah komentator online—penulis yang secara rutin menggunakan platform media sosial untuk mengirimkan opini dan komentar mereka mengenai berbagai topik politik, ekonomi, dan sosial.
"Banyak komentator online yang menjadi sasaran karena menulis mengenai kebijakan kontroversial pemerintah terkait Covid-19, seperti Sun Qing, Xiaolong Ji, dan Yu Qian. Komentator online lainnya mengkritik Presiden Xi Jinping atau Partai Komunis China, membahas demokrasi, atau berbicara tentang berbagai masalah hak asasi manusia," imbuh PEN America.
"Ruang online juga telah digunakan sebagai platform untuk menyebarkan bentuk tulisan yang lebih tradisional, seperti esai dan surat terbuka; salah satu contohnya adalah esai Yang Shaozheng tentang biaya ekonomi dari pendanaan China terhadap organisasi partai,” papar PEN America.
"Pernah menjadi benteng kebebasan pers, Daerah Administratif Khusus Hong Kong di Republik Rakyat China telah mengalami serangkaian kemunduran yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak tahun 2020, ketika Beijing mengadopsi Undang-Undang Keamanan Nasional yang bertujuan membungkam suara-suara independen," sebut RSF.
Peringkat tersebut sedikit lebih tinggi dari peringkat ke-140 yang dicapai dalam daftar yang diterbitkan di tahun 2023.
PEN America asal New York telah merilis Indeks Kebebasan Menulis 2023 awal tahun ini, yang juga menggambarkan situasi kurang memberikan harapan bagi jurnalis di China.
"Secara kolektif, China dan Iran—dua negara yang paling banyak memenjarakan penulis pada tahun 2023—menyumbang hampir setengah (24 dari 51) penulis perempuan dalam Indeks 2023," tutur PEN America.
"China dan Iran sejauh ini merupakan tempat paling tidak ramah di dunia bagi para penulis yang menjalankan kebebasan berekspresi mereka. Kedua negara ini paling banyak memenjarakan penulis, masing-masing 107 dan 49 orang, atau gabungan 46 persen dari total penulis, dan juga menempati dua posisi teratas dalam Writers at Risk Database PEN America," lanjut laporan tersebut.
Pada 2023, jumlah kasus di China melonjak di atas 100, di mana Beijing telah memenjarakan enam penulis selama tahun tersebut, sehingga totalnya mencapai 107. Dari jumlah total itu, 9 adalah perempuan.
Masih menurut laporan PEN America, dari 107 kasus, 50 di antaranya adalah komentator online—penulis yang secara rutin menggunakan platform media sosial untuk mengirimkan opini dan komentar mereka mengenai berbagai topik politik, ekonomi, dan sosial.
"Banyak komentator online yang menjadi sasaran karena menulis mengenai kebijakan kontroversial pemerintah terkait Covid-19, seperti Sun Qing, Xiaolong Ji, dan Yu Qian. Komentator online lainnya mengkritik Presiden Xi Jinping atau Partai Komunis China, membahas demokrasi, atau berbicara tentang berbagai masalah hak asasi manusia," imbuh PEN America.
"Ruang online juga telah digunakan sebagai platform untuk menyebarkan bentuk tulisan yang lebih tradisional, seperti esai dan surat terbuka; salah satu contohnya adalah esai Yang Shaozheng tentang biaya ekonomi dari pendanaan China terhadap organisasi partai,” papar PEN America.
Lihat Juga :
tulis komentar anda