Si 'Otak' Putin Ungkap Satu-satunya Solusi Akhiri Perang Rusia-Ukraina
Minggu, 10 Maret 2024 - 10:04 WIB
MOSKOW - Aleksandr Dugin, filsuf terkenal yang dijuluki sebagai “otak”-nya Presiden Rusia Vladmir Putin, telah mengungkap satu-satunya solusi untuk mengakhiri perang negaranya dengan Ukraina.
Solusi tersebut, kata Dugin, Kyiv harus menyerahkan wilayahnya kemudian bergabung dengan negara-negara bekas Slavia Timur dan blok Barat menghentikan pasokan senjatanya ke Ukraina.
Dugin, seorang ultranasionalis yang juga sekutu Putin, mengatakan kepada Al Arabiya English bahwa politisi Barat yang tidak bertanggung jawab harus disalahkan atas tingginya ancaman perang nuklir yang dihadapi pihak-pihak yang bertikai dan negara-negara tetangga Rusia.
Namun, para pengkritik Dugin tidak percaya bahwa dia mempunyai pengaruh atas tindakan Kremlin.
“Perang nuklir belum pernah sedekat sekarang ini,” kata Dugin.
“[Ancaman] perang nuklir mencapai titik ini karena ideologi dominan di Barat, yaitu globalisasi dan liberalisme, tidak menerima pandangan yang berlawanan,” ujarnya, yang dilansir Minggu (10/3/2024).
“Jika elite Barat yang mengadopsi ideologi liberalisme dan globalisasi, berpihak pada sistem unipolaritas dan berpegang pada prinsip ini tanpa mempertimbangkan variabel-variabel baru…mereka akan mengambil tindakan provokatif seperti memberikan pesawat tempur F-16 kepada Ukraina meskipun landasan pacunya kurang untuk jet jenis ini,” papar Dugin.
Sejak Rusia menginvasi wilayah Ukraina pada Februari 2022, Kyiv dengan cepat kehabisan kemampuan militernya dan terus sangat bergantung pada bantuan militer dari negara-negara NATO.
Jet tempur F-16 telah menjadi bagian dari daftar keinginan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang telah lama diminta, yang menurutnya akan memberikan hasil baru yang menguntungkan Kyiv karena kedua pihak masih menemui jalan buntu meskipun ada kekuatan militer Moskow.
Sejak pengumuman penyediaan jet tempur untuk memperkuat pertahanan udara Ukraina pada bulan Agustus 2023, personel militer Ukraina telah berlatih di Denmark, Inggris, AS, dan negara-negara sekutu lainnya, seiring dengan janji Rusia untuk memberikan tanggapan tegas terhadap ancaman yang akan terjadi dan meningkatkan kemampuannya.
Pada bulan Juni 2023, menjelang pengumuman F-16, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memperingatkan akan meningkatnya perang jika jet berkemampuan nuklir dipasok ke Kyiv.
Merujuk pada peringatan tersebut, Dugin mengatakan: “Peringatan Lavrov ini mengingat fakta bahwa kita tidak mengetahui secara pasti apakah pesawat tempur F-16 ini membawa hulu ledak nuklir yang mungkin diluncurkan untuk melawan Rusia. Hal ini dapat menyebabkan Rusia, dalam kasus tertentu, menggunakan senjata nuklir strategis—dan bukan senjata taktis—baik di Polandia atau Ukraina, dan dapat meluas hingga mencakup London, New York, dan Berlin.”
Dia mengatakan hampir mustahil untuk memverifikasi apakah F-16 yang dioperasikan Ukraina membawa hulu ledak nuklir, sehingga menekan Moskow untuk menjadi pihak pertama yang “menekan tombol merah”.
“Jika Anda tidak memanfaatkan faktor waktu untuk menjadi yang pertama, tentu Anda tidak akan menjadi yang kedua,” jelas Dugin lebih lanjut.
Menyebut konflik tersebut sebagai “perang saudara”, filsuf Rusia tersebut mendesak Ukraina untuk menerapkan “netralitas”. Jika tidak, dia menegaskan kembali, “Ukraina tidak akan ada lagi.”
Solusi tersebut, kata Dugin, Kyiv harus menyerahkan wilayahnya kemudian bergabung dengan negara-negara bekas Slavia Timur dan blok Barat menghentikan pasokan senjatanya ke Ukraina.
Dugin, seorang ultranasionalis yang juga sekutu Putin, mengatakan kepada Al Arabiya English bahwa politisi Barat yang tidak bertanggung jawab harus disalahkan atas tingginya ancaman perang nuklir yang dihadapi pihak-pihak yang bertikai dan negara-negara tetangga Rusia.
Namun, para pengkritik Dugin tidak percaya bahwa dia mempunyai pengaruh atas tindakan Kremlin.
“Perang nuklir belum pernah sedekat sekarang ini,” kata Dugin.
“[Ancaman] perang nuklir mencapai titik ini karena ideologi dominan di Barat, yaitu globalisasi dan liberalisme, tidak menerima pandangan yang berlawanan,” ujarnya, yang dilansir Minggu (10/3/2024).
“Jika elite Barat yang mengadopsi ideologi liberalisme dan globalisasi, berpihak pada sistem unipolaritas dan berpegang pada prinsip ini tanpa mempertimbangkan variabel-variabel baru…mereka akan mengambil tindakan provokatif seperti memberikan pesawat tempur F-16 kepada Ukraina meskipun landasan pacunya kurang untuk jet jenis ini,” papar Dugin.
Jalan Buntu Picu Perang Nuklir
Sejak Rusia menginvasi wilayah Ukraina pada Februari 2022, Kyiv dengan cepat kehabisan kemampuan militernya dan terus sangat bergantung pada bantuan militer dari negara-negara NATO.
Jet tempur F-16 telah menjadi bagian dari daftar keinginan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang telah lama diminta, yang menurutnya akan memberikan hasil baru yang menguntungkan Kyiv karena kedua pihak masih menemui jalan buntu meskipun ada kekuatan militer Moskow.
Sejak pengumuman penyediaan jet tempur untuk memperkuat pertahanan udara Ukraina pada bulan Agustus 2023, personel militer Ukraina telah berlatih di Denmark, Inggris, AS, dan negara-negara sekutu lainnya, seiring dengan janji Rusia untuk memberikan tanggapan tegas terhadap ancaman yang akan terjadi dan meningkatkan kemampuannya.
Pada bulan Juni 2023, menjelang pengumuman F-16, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memperingatkan akan meningkatnya perang jika jet berkemampuan nuklir dipasok ke Kyiv.
Merujuk pada peringatan tersebut, Dugin mengatakan: “Peringatan Lavrov ini mengingat fakta bahwa kita tidak mengetahui secara pasti apakah pesawat tempur F-16 ini membawa hulu ledak nuklir yang mungkin diluncurkan untuk melawan Rusia. Hal ini dapat menyebabkan Rusia, dalam kasus tertentu, menggunakan senjata nuklir strategis—dan bukan senjata taktis—baik di Polandia atau Ukraina, dan dapat meluas hingga mencakup London, New York, dan Berlin.”
Dia mengatakan hampir mustahil untuk memverifikasi apakah F-16 yang dioperasikan Ukraina membawa hulu ledak nuklir, sehingga menekan Moskow untuk menjadi pihak pertama yang “menekan tombol merah”.
“Jika Anda tidak memanfaatkan faktor waktu untuk menjadi yang pertama, tentu Anda tidak akan menjadi yang kedua,” jelas Dugin lebih lanjut.
Menyebut konflik tersebut sebagai “perang saudara”, filsuf Rusia tersebut mendesak Ukraina untuk menerapkan “netralitas”. Jika tidak, dia menegaskan kembali, “Ukraina tidak akan ada lagi.”
(mas)
tulis komentar anda