Drone Pembunuh Buatan India akan Dipakai Israel di Gaza
Selasa, 13 Februari 2024 - 15:04 WIB
NEW DELHI - Tentara Israel akan memasukkan drone Hermes 900 buatan India ke dalam armada pesawat udara tak berawak (UAV) yang semakin bertambah.
Langkah ini menurut para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan analis pertahanan akan semakin melibatkan India dalam perang Israel di Gaza.
Pengiriman drone Hermes 900 terjadi ketika serangan udara Israel menghantam Rafah dan warga Palestina bersiap untuk serangan besar-besaran di daerah perkotaan yang padat penduduknya.
Analis pertahanan mengatakan drone telah menjadi salah satu andalan militer Israel selama serangan yang sedang berlangsung di Gaza di mana mereka digunakan untuk intelijen serta untuk melakukan serangan terhadap warga sipil dan rumah warga Palestina.
Israel dan Amerika Serikat (AS) sama-sama mengerahkan drone di daerah kantong yang dilanda perang tersebut, baik untuk tujuan pengawasan atau untuk melakukan operasi terhadap sasaran Hamas.
Drone Hermes 900 mampu bertahan di udara selama lebih dari 30 jam dan biasanya digunakan untuk berbagai operasi militer, termasuk misi pengintaian serta pemboman udara.
Senjata itu pertama kali diperkenalkan pada 2014 selama perang Israel di Gaza yang menewaskan 2.000 warga Palestina dan 10.000 orang lainnya terluka.
Drone Hermes 900, juga dikenal sebagai Hermes 900 Kochav atau Star, telah mewakili standar emas di kelas drone "ketahanan jarak menengah dan panjang". Ini adalah salah satu dari empat drone mematikan atau “pembunuh” yang digunakan Israel.
“Hermes 900 memiliki sejarah penggunaan yang terdokumentasi di wilayah tersebut, dan Israel secara konsisten menggunakan berbagai aset militernya baik dalam pengawasan maupun serangan yang ditargetkan di Gaza,” ujar Girish Linganna, analis pertahanan di India, kepada Middle East Eye (MEE).
“Sayangnya, kemungkinan besar drone yang diproduksi melalui bisnis Adani-Elbit akan dikerahkan di Gaza,” papar Linganna.
Pada 2 Februari, Shephard Media melaporkan Israel telah menerima pengiriman 20 drone Hermes 900 buatan India dari Adani-Elbit Advanced Systems India Ltd, perusahaan patungan antara Adani Defense and Aerospace India dan Elbit Systems Israel.
Meskipun tidak ada negara yang secara terbuka mengakui pengiriman drone buatan India ke Israel, sumber di Adani mengonfirmasi kepada The Wire bahwa drone tersebut sebenarnya diekspor ke Israel.
Namun tidak ada laporan yang menjelaskan kapan drone tersebut benar-benar dikirim ke Israel.
MEE menghubungi jurnalis yang menyampaikan berita tersebut tetapi belum menerima klarifikasi hingga berita ini diterbitkan.
Militer Israel merujuk pertanyaan MEE ke Departemen Pertahanan dan tidak membalas permintaan komentar MEE pada saat publikasi ini diterbitkan.
Aktivis hak asasi manusia dan analis pertahanan mengatakan kesepakatan drone tersebut menggarisbawahi semakin besarnya keterlibatan India dalam perlakuan Israel terhadap Palestina dan menyoroti berkembangnya hubungan ekonomi dan militer antara kedua negara.
Shir Hever, koordinator embargo militer untuk Komite Nasional BDS Palestina, menyebut kedekatan India dengan Israel pada saat ini "memalukan", mengingat sejarah panjang India di bawah pemerintahan kolonial.
“Drone Hermes 900 digunakan untuk membom warga sipil yang tidak berdaya di Jalur Gaza dan Tepi Barat,” ungkap Hever yang juga penulis Privatisasi keamanan Israel, mengatakan kepada MEE.
“Karena Israel menolak mematuhi keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menahan diri dari tindakan berdasarkan Pasal 2 Konvensi untuk mencegah Genosida, negara ketiga seperti India memiliki tanggung jawab menegakkan embargo senjata dan tidak terlibat dalam genosida,” ujar Hever.
Hever mencatat sejak keputusan ICJ, dua perusahaan senjata Jepang telah mengakhiri MoU mereka dengan Elbit Systems, produsen senjata terbesar Israel.
Sementara itu, pada 5 Februari, pengadilan tinggi Belanda melarang Belanda melanjutkan ekspor suku cadang F-35 ke Israel, mengingat konteksnya di Gaza sekarang.
“Momen ini adalah ujian bagi sistem hukum internasional, dan alih-alih berpihak pada genosida Israel dan mendukung kekuatan-kekuatan barat, India harus mengambil inspirasi dari kepemimpinan global-selatan Afrika Selatan dan mengakhiri keterlibatannya dalam genosida,” ungkap Hever.
Linganna, analis pertahanan, mengatakan kemitraan drone India-Israel kemungkinan akan menimbulkan beberapa masalah hukum dan etika bagi India, karena semakin banyak informasi yang terungkap mengenai kejadian terkini di Gaza.
Misalnya, pada tahun-tahun setelah operasi Israel di Gaza pada 2014, Pusat Hak Asasi Manusia Al Mezan menyimpulkan sekitar 37% warga Palestina yang terbunuh disebabkan drone Israel.
“Ketika India memasok drone ke Israel, hal ini secara tidak langsung terkait dengan tindakan apa pun yang dilakukan drone tersebut di Gaza. Hal ini mengaburkan batas antara pemasok dan calon pihak yang terlibat, bahkan jika India tidak memiliki kendali langsung atas bagaimana drone tersebut digunakan,” papar Linganna.
Kementerian Luar Negeri India tidak membalas permintaan komentar MEE.
Para aktivis HAM mengatakan meskipun Kementerian Luar Negeri India berusaha menggambarkan kebijakan luar negerinya terhadap Israel dan Palestina tidak berubah, tindakan mereka menunjukkan mereka sepenuhnya mendukung rencana Israel di Gaza.
Perdana Menteri India Narendra Modi adalah salah satu pemimpin pertama yang dengan tegas mengutuk serangan pimpinan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan, dan pemerintahannya lambat dalam mengikuti seruan global untuk gencatan senjata.
New Delhi abstain dalam pemungutan suara pertama Majelis Umum PBB dan baru menandatangani resolusi tersebut pada Desember.
Menyusul permohonan pemerintah Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida terhadap Israel, pemerintah India tidak mendukung kasus tersebut.
ICJ mengeluarkan keputusan awal pada tanggal 26 Januari, menegaskan risiko yang “masuk akal” bahwa Israel melakukan genosida di Jalur Gaza, dan India masih menolak mendukung penyelidikan tersebut.
Penulis dan aktivis India terkemuka, Achin Vanaik, mengatakan kepada MEE bahwa posisi India seharusnya tidak mengejutkan.
“Saat ini, tanggapan resmi India terhadap keputusan sementara ICJ terbaru adalah pemerintah India telah mencatat keputusan tersebut, sementara India menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap tuduhan Israel bahwa ada anggota Hamas di Unrwa yang diberhentikan sebelum dilakukan penyelidikan apa pun," ujar Vanaik.
Jurnalis independen dan penulis The Palestine Laboratory Antony Loewenstein mengatakan kepada MEE bahwa prospek Israel menggunakan senjata buatan India di Gaza adalah “mengagetkan namun tidak mengejutkan”, mengingat membaiknya hubungan antara India dan Israel selama dekade terakhir.
“Aliansi antara India-Israel ini hanya mendapat sedikit perhatian internasional, namun penting bagi kita untuk mengkajinya lebih lanjut karena Israel pada dasarnya dibantu dalam genosida di Gaza oleh negara yang disebut-sebut sebagai negara demokrasi terbesar di dunia itu,” papar dia.
“Saya pikir kita harus melihat lebih dekat hubungan pertahanan antara kedua negara. Saya juga berpikir penting untuk menyebutkan nama dan mempermalukan para pejabat dan perusahaan India yang membuat drone ini,” ujar Loewenstein, yang berbasis di Yerusalem Timur antara tahun 2016 dan 2020.
Di bawah kepemimpinan Modi, India semakin dekat dengan Israel. New Delhi adalah pembeli senjata Israel terbesar, dengan jumlah lebih dari USD1 miliar per tahun.
Antara tahun 2015-2019, pembelian senjata Israel oleh India meningkat sebesar 175%.
Namun perusahaan-perusahaan India dan Israel juga sudah mulai memproduksi senjata di pabrik-pabrik di seluruh India.
Rangkaian senjata yang diproduksi bersama oleh kedua negara termasuk senapan serbu Tavor X95, senapan sniper Galil, senapan mesin ringan Negev, serta drone Hermes 900 dengan daya tahan tinggi dan ketinggian sedang.
Analis pertahanan mengatakan kemitraan dengan India dapat membantu produksi massal senjata Israel.
Sementara itu, Modi telah memanfaatkan hubungannya dengan Israel untuk memodernisasi angkatan bersenjata India serta memperkuat citranya sebagai pemimpin produksi dan manufaktur dalam negeri, yang dikenal dengan program “Make in India”.
Fasilitas Adani-Elbit di Hyderabad, India, diresmikan pada 2018 di hadapan Menteri Dalam Negeri Telangana, Mohammad Mahmood Ali, serta CEO Adani Ports, Pranav Adani, dan Bezhalel Machlis, presiden dan CEO Elbit Systems.
Fasilitas ini disebut-sebut sebagai kompleks manufaktur UAV swasta pertama di India dan satu-satunya fasilitas produksi Hermes 900 di luar Israel.
Pada pembukaan pabrik tersebut, Ashish Rajvanshi, kepala pertahanan dan kedirgantaraan Adani, mengatakan, “Perusahaan bertujuan membuat India mandiri dalam sistem pertahanan dan kedirgantaraan dan tidak bergantung pada Amerika Serikat, Eropa, Rusia atau negara lain.”
Demikian pula pada 2020, Elad Aharonson, wakil presiden eksekutif dan manajer umum divisi dalam Elbit Systems, mengatakan, “Hubungan dengan Adani telah membentuk visi menjadikan India sebagai pusat global untuk manufaktur dan ekspor platform tak berawak."
Taipan India Gautam Adani terlibat dalam beberapa usaha dengan perusahaan Israel. Pada awal tahun 2023, Adani Ports membeli saham mayoritas di Haifa Port di Israel.
Linganna, analis pertahanan, mengatakan tampaknya India sedang berjuang menyeimbangkan kepentingan bisnis dan cita-citanya dengan realitas dinamika kekuatan global.
“India bangga dengan kebijakan luar negerinya yang menekankan prinsip-prinsip perdamaian dan kemanusiaan. Memasok senjata yang dapat digunakan dalam konflik yang menimbulkan korban sipil akan menciptakan ketegangan dengan nilai-nilai tersebut,” pungkas Linganna.
Langkah ini menurut para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan analis pertahanan akan semakin melibatkan India dalam perang Israel di Gaza.
Pengiriman drone Hermes 900 terjadi ketika serangan udara Israel menghantam Rafah dan warga Palestina bersiap untuk serangan besar-besaran di daerah perkotaan yang padat penduduknya.
Analis pertahanan mengatakan drone telah menjadi salah satu andalan militer Israel selama serangan yang sedang berlangsung di Gaza di mana mereka digunakan untuk intelijen serta untuk melakukan serangan terhadap warga sipil dan rumah warga Palestina.
Israel dan Amerika Serikat (AS) sama-sama mengerahkan drone di daerah kantong yang dilanda perang tersebut, baik untuk tujuan pengawasan atau untuk melakukan operasi terhadap sasaran Hamas.
Drone Hermes 900 mampu bertahan di udara selama lebih dari 30 jam dan biasanya digunakan untuk berbagai operasi militer, termasuk misi pengintaian serta pemboman udara.
Senjata itu pertama kali diperkenalkan pada 2014 selama perang Israel di Gaza yang menewaskan 2.000 warga Palestina dan 10.000 orang lainnya terluka.
Drone Hermes 900, juga dikenal sebagai Hermes 900 Kochav atau Star, telah mewakili standar emas di kelas drone "ketahanan jarak menengah dan panjang". Ini adalah salah satu dari empat drone mematikan atau “pembunuh” yang digunakan Israel.
“Hermes 900 memiliki sejarah penggunaan yang terdokumentasi di wilayah tersebut, dan Israel secara konsisten menggunakan berbagai aset militernya baik dalam pengawasan maupun serangan yang ditargetkan di Gaza,” ujar Girish Linganna, analis pertahanan di India, kepada Middle East Eye (MEE).
“Sayangnya, kemungkinan besar drone yang diproduksi melalui bisnis Adani-Elbit akan dikerahkan di Gaza,” papar Linganna.
Pada 2 Februari, Shephard Media melaporkan Israel telah menerima pengiriman 20 drone Hermes 900 buatan India dari Adani-Elbit Advanced Systems India Ltd, perusahaan patungan antara Adani Defense and Aerospace India dan Elbit Systems Israel.
Meskipun tidak ada negara yang secara terbuka mengakui pengiriman drone buatan India ke Israel, sumber di Adani mengonfirmasi kepada The Wire bahwa drone tersebut sebenarnya diekspor ke Israel.
Namun tidak ada laporan yang menjelaskan kapan drone tersebut benar-benar dikirim ke Israel.
MEE menghubungi jurnalis yang menyampaikan berita tersebut tetapi belum menerima klarifikasi hingga berita ini diterbitkan.
Militer Israel merujuk pertanyaan MEE ke Departemen Pertahanan dan tidak membalas permintaan komentar MEE pada saat publikasi ini diterbitkan.
Keterlibatan India
Aktivis hak asasi manusia dan analis pertahanan mengatakan kesepakatan drone tersebut menggarisbawahi semakin besarnya keterlibatan India dalam perlakuan Israel terhadap Palestina dan menyoroti berkembangnya hubungan ekonomi dan militer antara kedua negara.
Shir Hever, koordinator embargo militer untuk Komite Nasional BDS Palestina, menyebut kedekatan India dengan Israel pada saat ini "memalukan", mengingat sejarah panjang India di bawah pemerintahan kolonial.
“Drone Hermes 900 digunakan untuk membom warga sipil yang tidak berdaya di Jalur Gaza dan Tepi Barat,” ungkap Hever yang juga penulis Privatisasi keamanan Israel, mengatakan kepada MEE.
“Karena Israel menolak mematuhi keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menahan diri dari tindakan berdasarkan Pasal 2 Konvensi untuk mencegah Genosida, negara ketiga seperti India memiliki tanggung jawab menegakkan embargo senjata dan tidak terlibat dalam genosida,” ujar Hever.
Hever mencatat sejak keputusan ICJ, dua perusahaan senjata Jepang telah mengakhiri MoU mereka dengan Elbit Systems, produsen senjata terbesar Israel.
Sementara itu, pada 5 Februari, pengadilan tinggi Belanda melarang Belanda melanjutkan ekspor suku cadang F-35 ke Israel, mengingat konteksnya di Gaza sekarang.
“Momen ini adalah ujian bagi sistem hukum internasional, dan alih-alih berpihak pada genosida Israel dan mendukung kekuatan-kekuatan barat, India harus mengambil inspirasi dari kepemimpinan global-selatan Afrika Selatan dan mengakhiri keterlibatannya dalam genosida,” ungkap Hever.
Linganna, analis pertahanan, mengatakan kemitraan drone India-Israel kemungkinan akan menimbulkan beberapa masalah hukum dan etika bagi India, karena semakin banyak informasi yang terungkap mengenai kejadian terkini di Gaza.
Misalnya, pada tahun-tahun setelah operasi Israel di Gaza pada 2014, Pusat Hak Asasi Manusia Al Mezan menyimpulkan sekitar 37% warga Palestina yang terbunuh disebabkan drone Israel.
“Ketika India memasok drone ke Israel, hal ini secara tidak langsung terkait dengan tindakan apa pun yang dilakukan drone tersebut di Gaza. Hal ini mengaburkan batas antara pemasok dan calon pihak yang terlibat, bahkan jika India tidak memiliki kendali langsung atas bagaimana drone tersebut digunakan,” papar Linganna.
Kementerian Luar Negeri India tidak membalas permintaan komentar MEE.
Para aktivis HAM mengatakan meskipun Kementerian Luar Negeri India berusaha menggambarkan kebijakan luar negerinya terhadap Israel dan Palestina tidak berubah, tindakan mereka menunjukkan mereka sepenuhnya mendukung rencana Israel di Gaza.
Perdana Menteri India Narendra Modi adalah salah satu pemimpin pertama yang dengan tegas mengutuk serangan pimpinan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan, dan pemerintahannya lambat dalam mengikuti seruan global untuk gencatan senjata.
New Delhi abstain dalam pemungutan suara pertama Majelis Umum PBB dan baru menandatangani resolusi tersebut pada Desember.
Menyusul permohonan pemerintah Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida terhadap Israel, pemerintah India tidak mendukung kasus tersebut.
ICJ mengeluarkan keputusan awal pada tanggal 26 Januari, menegaskan risiko yang “masuk akal” bahwa Israel melakukan genosida di Jalur Gaza, dan India masih menolak mendukung penyelidikan tersebut.
Standar Ganda India
Penulis dan aktivis India terkemuka, Achin Vanaik, mengatakan kepada MEE bahwa posisi India seharusnya tidak mengejutkan.
“Saat ini, tanggapan resmi India terhadap keputusan sementara ICJ terbaru adalah pemerintah India telah mencatat keputusan tersebut, sementara India menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap tuduhan Israel bahwa ada anggota Hamas di Unrwa yang diberhentikan sebelum dilakukan penyelidikan apa pun," ujar Vanaik.
Jurnalis independen dan penulis The Palestine Laboratory Antony Loewenstein mengatakan kepada MEE bahwa prospek Israel menggunakan senjata buatan India di Gaza adalah “mengagetkan namun tidak mengejutkan”, mengingat membaiknya hubungan antara India dan Israel selama dekade terakhir.
“Aliansi antara India-Israel ini hanya mendapat sedikit perhatian internasional, namun penting bagi kita untuk mengkajinya lebih lanjut karena Israel pada dasarnya dibantu dalam genosida di Gaza oleh negara yang disebut-sebut sebagai negara demokrasi terbesar di dunia itu,” papar dia.
“Saya pikir kita harus melihat lebih dekat hubungan pertahanan antara kedua negara. Saya juga berpikir penting untuk menyebutkan nama dan mempermalukan para pejabat dan perusahaan India yang membuat drone ini,” ujar Loewenstein, yang berbasis di Yerusalem Timur antara tahun 2016 dan 2020.
Di bawah kepemimpinan Modi, India semakin dekat dengan Israel. New Delhi adalah pembeli senjata Israel terbesar, dengan jumlah lebih dari USD1 miliar per tahun.
Antara tahun 2015-2019, pembelian senjata Israel oleh India meningkat sebesar 175%.
Namun perusahaan-perusahaan India dan Israel juga sudah mulai memproduksi senjata di pabrik-pabrik di seluruh India.
Rangkaian senjata yang diproduksi bersama oleh kedua negara termasuk senapan serbu Tavor X95, senapan sniper Galil, senapan mesin ringan Negev, serta drone Hermes 900 dengan daya tahan tinggi dan ketinggian sedang.
Analis pertahanan mengatakan kemitraan dengan India dapat membantu produksi massal senjata Israel.
Sementara itu, Modi telah memanfaatkan hubungannya dengan Israel untuk memodernisasi angkatan bersenjata India serta memperkuat citranya sebagai pemimpin produksi dan manufaktur dalam negeri, yang dikenal dengan program “Make in India”.
Fasilitas Adani-Elbit di Hyderabad, India, diresmikan pada 2018 di hadapan Menteri Dalam Negeri Telangana, Mohammad Mahmood Ali, serta CEO Adani Ports, Pranav Adani, dan Bezhalel Machlis, presiden dan CEO Elbit Systems.
Fasilitas ini disebut-sebut sebagai kompleks manufaktur UAV swasta pertama di India dan satu-satunya fasilitas produksi Hermes 900 di luar Israel.
Pada pembukaan pabrik tersebut, Ashish Rajvanshi, kepala pertahanan dan kedirgantaraan Adani, mengatakan, “Perusahaan bertujuan membuat India mandiri dalam sistem pertahanan dan kedirgantaraan dan tidak bergantung pada Amerika Serikat, Eropa, Rusia atau negara lain.”
Demikian pula pada 2020, Elad Aharonson, wakil presiden eksekutif dan manajer umum divisi dalam Elbit Systems, mengatakan, “Hubungan dengan Adani telah membentuk visi menjadikan India sebagai pusat global untuk manufaktur dan ekspor platform tak berawak."
Taipan India Gautam Adani terlibat dalam beberapa usaha dengan perusahaan Israel. Pada awal tahun 2023, Adani Ports membeli saham mayoritas di Haifa Port di Israel.
Linganna, analis pertahanan, mengatakan tampaknya India sedang berjuang menyeimbangkan kepentingan bisnis dan cita-citanya dengan realitas dinamika kekuatan global.
“India bangga dengan kebijakan luar negerinya yang menekankan prinsip-prinsip perdamaian dan kemanusiaan. Memasok senjata yang dapat digunakan dalam konflik yang menimbulkan korban sipil akan menciptakan ketegangan dengan nilai-nilai tersebut,” pungkas Linganna.
(sya)
tulis komentar anda