10 Peristiwa di Dunia yang Paling Menggemparkan Sepanjang 2023

Jum'at, 29 Desember 2023 - 20:20 WIB

5. Perang saudara melanda Sudan.

Tahun dua ribu dua puluh tiga seharusnya menjadi tahun Sudan menjadi negara demokrasi. Rakyat Sudan malah mengalami perang saudara. Konflik ini berakar pada protes yang menyebabkan militer Sudan pada April 2019 menggulingkan diktator lama negara itu, Omar al-Bashir. Junta militer baru mencapai kesepakatan dengan kelompok sipil untuk berbagi kekuasaan dan berupaya menuju pemilu.

Namun, pada Oktober 2021, Abdel Fattah al-Burhan, panglima Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), dan Mohamed Hamdan “Hemedti” Dagalo, kepala milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF), kembali memimpin kudeta. Pada bulan Desember 2022, kedua pemimpin tersebut menyerah pada tekanan rakyat dan setuju untuk memimpin transisi dua tahun ke pemerintahan sipil. Perjanjian tersebut membuat Burhan dan Hemedti setara dan menyerukan agar RSF diintegrasikan ke dalam SAF.

Baik perjanjian maupun pernikahan yang nyaman antara kedua pria itu tidak bertahan lama. Pada tanggal 15 April 2023, pasukan RSF menyerang pangkalan SAF di seluruh negeri. Upaya untuk merundingkan gencatan senjata tidak membuahkan hasil. Pada musim gugur, RSF menguasai sebagian besar Khartoum, ibu kota Sudan, sementara SAF menguasai Port Sudan, pelabuhan utama negara tersebut. Pertempuran sangat sengit terjadi di Darfur, dimana Janjaweed, pendahulu RSF, melakukan kampanye pembersihan etnis terhadap sebagian besar penduduk non-Arab di wilayah tersebut pada awal tahun 2000an. Menjelang akhir tahun, pertempuran tersebut telah menewaskan lebih dari 10.000 orang dan membuat 5,6 juta orang lainnya terpaksa mengungsi—atau hampir 15 persen populasi Sudan.

5. Kecerdasan buatan (AI) menawarkan janji sekaligus bahaya.

Melansir Council on Foreign Relations, AI mulai menarik perhatian publik tahun lalu dengan dirilisnya ChatGPT. Pada tahun 2023, teknologi yang didasarkan pada apa yang disebut model bahasa besar tidak hanya menjadi lebih baik—versi terbaru ChatGPT dilaporkan sepuluh kali lebih maju dibandingkan pendahulunya—pemerintah, perusahaan, dan individu bergerak cepat untuk memanfaatkan potensinya. Hal ini memicu perdebatan sengit mengenai apakah AI membuka era baru kreativitas dan kemakmuran manusia, atau membuka kotak Pandora yang akan menghasilkan masa depan yang buruk.

Orang optimis menunjuk bagaimana AI menghasilkan terobosan ilmiah dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya di berbagai bidang, memungkinkan perancangan obat secara cepat, mengungkap misteri medis, dan memecahkan masalah matematika yang tampaknya tidak dapat dipecahkan. Mereka yang pesimistis memperingatkan bahwa teknologi berkembang lebih cepat dibandingkan kemampuan manusia untuk menilai dan memitigasi dampak buruk yang mungkin ditimbulkannya, baik itu menciptakan pengangguran massal, memperparah kesenjangan sosial, atau memicu kepunahan umat manusia. Geoffrey Hinton, salah satu pionir AI, berhenti dari pekerjaannya di Google untuk memperingatkan bahaya AI, dan para pemimpin teknologi seperti Elon Musk dan Steve Wozniak menandatangani surat terbuka yang memperingatkan bahwa AI menimbulkan "risiko besar bagi masyarakat dan kemanusiaan."

Sementara itu, mereka yang skeptis berpendapat bahwa sebagian besar janji AI akan gagal karena model-model tersebut akan segera mulai melatih keluaran mereka sendiri, sehingga membuat mereka terpisah dari perilaku manusia yang sebenarnya. Pemerintah tampaknya tidak bergerak cukup cepat, baik secara individu maupun kolektif, untuk memanfaatkan manfaat AI dan membendung risikonya.

7. Ketegangan AS-China terus meningkat.

Ketika tahun 2023 dimulai, ketegangan AS-China tampaknya mereda. Bulan November sebelumnya, Joe Biden dan Xi Jinping mengadakan pertemuan produktif di sela-sela KTT G-20 di Bali. Menteri Luar Negeri Antony Blinken dijadwalkan mengunjungi Beijing pada bulan Februari untuk membahas “pagar pembatas” terhadap persaingan geopolitik kedua negara yang semakin tegang.

Namun kemudian balon pengintai China muncul di Amerika Serikat. Pesawat itu melayang di seluruh negeri selama seminggu sebelum F-22 Raptor Angkatan Udara AS menembaknya jatuh di lepas pantai Carolina Selatan. Beijing bersikeras bahwa balon tersebut meledak saat memantau cuaca, namun penjelasan tersebut ditolak oleh Amerika Serikat. Insiden tersebut mengobarkan gairah politik di Amerika Serikat dan mendorong Blinken menunda kunjungannya ke Beijing.

Yang paling meresahkan adalah para pejabat China menolak menerima telepon dari Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin setelah balon tersebut ditembak jatuh, menyoroti kurangnya saluran komunikasi yang terjalin antara kedua negara adidaya tersebut. Blinken akhirnya melakukan perjalanan ke Beijing pada bulan Juni untuk menghadiri apa yang disebut oleh pejabat Departemen Luar Negeri sebagai pembicaraan “konstruktif”.

Percakapan tersebut tidak menghentikan Washington untuk menerapkan pembatasan tambahan terhadap perdagangan dengan China atau membujuk Beijing untuk mengurangi gangguannya terhadap Taiwan, Filipina, atau pasukan militer A.S. di Asia. Biden dan Xi bertemu pada bulan November di sela-sela Forum Pemimpin APEC 2023 di San Francisco. Pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan kecil namun tidak ada terobosan besar. Kesepakatan mengenai modus vivendi masih belum tercapai oleh dua negara paling kuat di dunia.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More