Abaikan Keberatan Junta Militer, Prancis Tolak Tarik 1.500 Tentaranya dari Niger
Minggu, 06 Agustus 2023 - 10:06 WIB
PARIS - Prancis menolak menarik sekitar 1.500 tentaranya dari Niger meski perjanjian kerja sama militer kedua negara telah dicabut oleh junta militer setelah kudeta 26 Juli lalu.
Prancis bersikeras akan memenuhi lima perjanjian kerja sama militer dengan Niger, karena perjanjian itu ditandatangani dengan otoritas sah negara Afrika Barat tersebut.
Pernyataan itu mengabaikan kekuasaan junta atas Niger setelah menggulingkan Presiden Mohamed Bazoum.
“Prancis ingat bahwa kerangka hukum untuk kerja samanya dengan Niger di bidang pertahanan didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati dengan otoritas Niger yang sah,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Prancis pada hari Jumat.
"Ini adalah satu-satunya yang diakui Prancis, dan seluruh komunitas internasional," lanjut kementerian tersebut.
Pernyataan itu menyusul deklarasi hari Kamis dari Amadou Abdramane, juru bicara pemimpin kudeta militer yang menggulingkan Presiden Bazoum, bahwa junta secara sepihak memutuskan perjanjian militer dengan mantan penguasa kolonialnya.
Abdourahamane Tchiani, mantan kepala pengawal Presiden Bazoum yang memimpin kudeta, menyatakan dirinya sebagai kepala pemerintahan transisi dua hari setelah pasukannya menggulingkan pemerintahan Bazoum.
Penghentian perjanjian militer akan mengharuskan Prancis untuk menarik 1.000 hingga 1.500 tentara yang telah ditempatkan di negara Afrika itu.
Sejumlah kecil tentara Amerika Serikat juga dikerahkan di Niger, sebuah wilayah yang dipandang signifikan secara geopolitik karena sumber daya mineralnya yang kaya dan berbatasan dengan tujuh negara, termasuk Libya, Chad, dan Nigeria.
Niger, salah satu negara termiskin di dunia, telah menjadi penerima sekitar USD500 juta bantuan militer AS sejak 2012-–angka tertinggi dari negara mana pun di kawasan itu.
Menyusul kudeta 26 Juli lalu, beberapa dermawan Barat telah menangguhkan program bantuan untuk Niger. Bantuan asing menyumbang sekitar setengah dari anggaran tahunan Niger.
Pada hari Jumat, Belanda menjadi negara Barat terbaru yang mundur dari perjanjian yang dibuat dengan pemerintahan Niger sebelumnya, dengan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak ingin memberikan dukungan kepada para pelaku kudeta.
Den Haag mengatakan akan mengalihkan bantuan ke Niger melalui operasi kemanusiaan yang diatur oleh PBB, atau organisasi internasional lainnya.
Paris, sementara itu, mengatakan pada hari Kamis bahwa pihaknya mengutuk "sekeras mungkin" penangguhan Niger atas organisasi berita Prancis; France 24 dan RFI.
Dalam sebuah pernyataan yang diposting di situs kementerian luar negerinya, ditambahkan bahwa langkah junta untuk membatasi media Prancis di negara itu mewakili "penindasan otoriter."
Kementerian Luar Negeri Prancis menambahkan pada hari Sabtu (5/8/2023) bahwa pihaknya akan memberikan dukungan kepada blok Afrika Barat, Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS), untuk memastikan kudeta militer akan gagal.
Menteri Eropa dan Luar Negeri Prancis Catherine Colonna mengatakan para pemimpin kudeta memiliki waktu hingga Minggu untuk menyerahkan kembali kekuasaan, jika tidak, ancaman intervensi militer ECOWAS di Niger harus ditanggapi "dengan sangat serius."
Prancis bersikeras akan memenuhi lima perjanjian kerja sama militer dengan Niger, karena perjanjian itu ditandatangani dengan otoritas sah negara Afrika Barat tersebut.
Pernyataan itu mengabaikan kekuasaan junta atas Niger setelah menggulingkan Presiden Mohamed Bazoum.
“Prancis ingat bahwa kerangka hukum untuk kerja samanya dengan Niger di bidang pertahanan didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati dengan otoritas Niger yang sah,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Prancis pada hari Jumat.
"Ini adalah satu-satunya yang diakui Prancis, dan seluruh komunitas internasional," lanjut kementerian tersebut.
Pernyataan itu menyusul deklarasi hari Kamis dari Amadou Abdramane, juru bicara pemimpin kudeta militer yang menggulingkan Presiden Bazoum, bahwa junta secara sepihak memutuskan perjanjian militer dengan mantan penguasa kolonialnya.
Abdourahamane Tchiani, mantan kepala pengawal Presiden Bazoum yang memimpin kudeta, menyatakan dirinya sebagai kepala pemerintahan transisi dua hari setelah pasukannya menggulingkan pemerintahan Bazoum.
Penghentian perjanjian militer akan mengharuskan Prancis untuk menarik 1.000 hingga 1.500 tentara yang telah ditempatkan di negara Afrika itu.
Sejumlah kecil tentara Amerika Serikat juga dikerahkan di Niger, sebuah wilayah yang dipandang signifikan secara geopolitik karena sumber daya mineralnya yang kaya dan berbatasan dengan tujuh negara, termasuk Libya, Chad, dan Nigeria.
Niger, salah satu negara termiskin di dunia, telah menjadi penerima sekitar USD500 juta bantuan militer AS sejak 2012-–angka tertinggi dari negara mana pun di kawasan itu.
Menyusul kudeta 26 Juli lalu, beberapa dermawan Barat telah menangguhkan program bantuan untuk Niger. Bantuan asing menyumbang sekitar setengah dari anggaran tahunan Niger.
Pada hari Jumat, Belanda menjadi negara Barat terbaru yang mundur dari perjanjian yang dibuat dengan pemerintahan Niger sebelumnya, dengan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak ingin memberikan dukungan kepada para pelaku kudeta.
Den Haag mengatakan akan mengalihkan bantuan ke Niger melalui operasi kemanusiaan yang diatur oleh PBB, atau organisasi internasional lainnya.
Paris, sementara itu, mengatakan pada hari Kamis bahwa pihaknya mengutuk "sekeras mungkin" penangguhan Niger atas organisasi berita Prancis; France 24 dan RFI.
Dalam sebuah pernyataan yang diposting di situs kementerian luar negerinya, ditambahkan bahwa langkah junta untuk membatasi media Prancis di negara itu mewakili "penindasan otoriter."
Kementerian Luar Negeri Prancis menambahkan pada hari Sabtu (5/8/2023) bahwa pihaknya akan memberikan dukungan kepada blok Afrika Barat, Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS), untuk memastikan kudeta militer akan gagal.
Menteri Eropa dan Luar Negeri Prancis Catherine Colonna mengatakan para pemimpin kudeta memiliki waktu hingga Minggu untuk menyerahkan kembali kekuasaan, jika tidak, ancaman intervensi militer ECOWAS di Niger harus ditanggapi "dengan sangat serius."
(mas)
tulis komentar anda