Momen 20 Tahun AS Invasi Irak: Hoaks Senjata Pemusnah Massal dan Amerika Kebal Hukum
Minggu, 05 Februari 2023 - 21:14 WIB
BAGHDAD - Tahun 2003 atau 20 tahun silam, Amerika Serikat (AS), menginvasi Irak dan menggulingkan Presiden Saddam Hussein. Washington menuduh Baghdad memiliki senjata pemusnah massal, yang ternyata klaim bohong alias hoaks yang dibuat Amerika, sebagai dalih meluncurkan perang.
Tepat pada 5 Februari 2003, Menteri Luar Negeri AS saat itu Colin Powell berpidato di Dewan Keamanan PBB, di mana dia menunjukkan apa yang dia klaim sebagai bukti senjata pemusnah massal Irak, termasuk senjata biologis.
Untuk mendukung klaim palsunya itu, Powell memamerkan sebotol kecil bubuk putih, yang dianggap mewakili antraks. Dia lantas memberi tahu Dewan Keamanan (DK) PBB bahwa AS tidak punya pilihan lain selain berperang.
Inggris, Australia, dan Polandia sebagai sekutu utama AS, ikut ambil bagian dalam invasi tersebut. Saddam Hussein digulingkan dan digantung oleh pengadilan pemerintah baru Irak.
Faktanya, tidak ada senjata pemusnah massal yang pernah ditemukan di Irak.
Ironisnya lagi, para pemimpin negara-negara agresor saat itu termasuk George W Bush dan Tony Blair tidak pernah dituntut secara hukum. Juga tak ada sanksi pada negara-negara penginvasi Irak.
Momen 20 tahun AS menginvasi Irak ini menjadi kesempatan bagi para politisi Rusia untuk mencerca Washington.
Ketua Duma Negara (Parlemen) Rusia Vyacheslav Volodin pada Minggu (5/2/2023) mendesak PBB membuka penyelidikan atas kejahatan Washington terhadap kemanusiaan di Irak.
Menulis di Telegram, Volodin memberikan kritik pedas terhadap apa yang dia gambarkan sebagai "kekaisaran kebohongan" Amerika.
"Tanggal ini menandai salah satu penipuan terbesar komunitas global oleh Amerika Serikat," tulis Volodin.
Dia ingat bahwa selama pertemuan penting Dewan Keamanan PBB 20 tahun lalu, Powell menuduh Irak memproduksi senjata pemusnah massal, memberikan botol berisi bubuk putih sebagai bukti.
Powell, lanjut Volodin, saat itu mengatakan bahwa vial tersebut bisa digunakan untuk menyimpan antraks.
Volodin menggarisbawahi bahwa DK PBB tidak menyetujui invasi terhadap Irak, tapi AS dan sekutunya nekat menyerang negara tersebut.
"Setengah juta warga sipil menjadi korban, presiden dieksekusi, negara hilang,” tulis Volodin.
Dia mengatakan Powell jelas bahwa aksi menunjukkan botol di DK PBB yang terkenal kala itu adalah penipuan. Namun volodin mempertanyakan mengapa Washington tidak pernah dimintai pertanggungjawaban.
“Semua kebijakan Amerika Serikat dan kolektif Barat didasarkan pada kebohongan,” tegas Ketua Parlemen Rusia tersebut.
“PBB harus menyelidiki kejahatan Washington terhadap kemanusiaan. Dan pembuat keputusan harus dihukum atas jutaan korban, pengungsi, takdir yang hancur, negara yang hancur,” imbuh Volodin.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov sebelumnya juga mengatakan AS seharusnya tidak mengharapkan dunia untuk melupakan bahwa Washington menginvasi Irak tahun 2003 dan menggulingkan Presiden Saddam Hussein atas tuduhan palsu.
"Aksi Powell di PBB telah lama menjadi lambang kemunafikan dan keyakinan elite penguasa AS atas impunitasnya sendiri dan haknya yang tak tertandingi untuk secara angkuh mengajar seluruh dunia,” kata Ryabkov, seperti dikutip dari RIA Novosti.
"Itu juga merupakan simbol dari kesediaan Washington untuk menggunakan kekuatan melawan lawan yang jelas lebih lemah untuk mempertahankan hegemoni globalnya sendiri," lanjut Ryabkov.
Namun, diplomat tersebut bersugesti bahwa—tidak seperti di tahun 2000-an dan selama kampanye pengeboman NATO di Yugoslavia tahun 1999—Washington tidak dapat leluasa bertindak sebagai “bandit internasional” dalam kondisi saat ini.
“Dalam lanskap geopolitik yang berubah dengan cepat, AS sekarang secara objektif tidak dapat menggunakan skenario penggunaan kekuatan setiap kali terasa seperti itu, tanpa menghadapi konsekuensi serius,” katanya, menunjuk pada penerbangan yang memalukan pasukan AS dari Afganistan pada tahun 2021.
Namun, lanjut Ryabkov, seperti yang ditunjukkan oleh "campur tangan" Washington dalam konflik Ukraina, kemunduran ini tidak menghentikan AS untuk menganut cara-cara lamanya.
“Orang Amerika harus menyesuaikan diri dengan rel baru dan menyingkirkan sindrom impunitas yang begitu jelas terwujud selama skandal botol [antraks]. Hal yang sama berlaku untuk memperhitungkan Rusia dan China, serta pemain internasional utama lainnya yang membentuk tatanan dunia multilateral yang lebih adil,” kata Ryabkov.
"AS seharusnya tidak menghargai harapan apa pun bahwa kenangan tentang apa yang terjadi 20 tahun lalu akan terkubur dalam pasir sejarah modern yang bergeser,” pungkasnya.
Tepat pada 5 Februari 2003, Menteri Luar Negeri AS saat itu Colin Powell berpidato di Dewan Keamanan PBB, di mana dia menunjukkan apa yang dia klaim sebagai bukti senjata pemusnah massal Irak, termasuk senjata biologis.
Untuk mendukung klaim palsunya itu, Powell memamerkan sebotol kecil bubuk putih, yang dianggap mewakili antraks. Dia lantas memberi tahu Dewan Keamanan (DK) PBB bahwa AS tidak punya pilihan lain selain berperang.
Inggris, Australia, dan Polandia sebagai sekutu utama AS, ikut ambil bagian dalam invasi tersebut. Saddam Hussein digulingkan dan digantung oleh pengadilan pemerintah baru Irak.
Faktanya, tidak ada senjata pemusnah massal yang pernah ditemukan di Irak.
Ironisnya lagi, para pemimpin negara-negara agresor saat itu termasuk George W Bush dan Tony Blair tidak pernah dituntut secara hukum. Juga tak ada sanksi pada negara-negara penginvasi Irak.
Momen 20 tahun AS menginvasi Irak ini menjadi kesempatan bagi para politisi Rusia untuk mencerca Washington.
Ketua Duma Negara (Parlemen) Rusia Vyacheslav Volodin pada Minggu (5/2/2023) mendesak PBB membuka penyelidikan atas kejahatan Washington terhadap kemanusiaan di Irak.
Menulis di Telegram, Volodin memberikan kritik pedas terhadap apa yang dia gambarkan sebagai "kekaisaran kebohongan" Amerika.
"Tanggal ini menandai salah satu penipuan terbesar komunitas global oleh Amerika Serikat," tulis Volodin.
Dia ingat bahwa selama pertemuan penting Dewan Keamanan PBB 20 tahun lalu, Powell menuduh Irak memproduksi senjata pemusnah massal, memberikan botol berisi bubuk putih sebagai bukti.
Powell, lanjut Volodin, saat itu mengatakan bahwa vial tersebut bisa digunakan untuk menyimpan antraks.
Volodin menggarisbawahi bahwa DK PBB tidak menyetujui invasi terhadap Irak, tapi AS dan sekutunya nekat menyerang negara tersebut.
"Setengah juta warga sipil menjadi korban, presiden dieksekusi, negara hilang,” tulis Volodin.
Dia mengatakan Powell jelas bahwa aksi menunjukkan botol di DK PBB yang terkenal kala itu adalah penipuan. Namun volodin mempertanyakan mengapa Washington tidak pernah dimintai pertanggungjawaban.
“Semua kebijakan Amerika Serikat dan kolektif Barat didasarkan pada kebohongan,” tegas Ketua Parlemen Rusia tersebut.
“PBB harus menyelidiki kejahatan Washington terhadap kemanusiaan. Dan pembuat keputusan harus dihukum atas jutaan korban, pengungsi, takdir yang hancur, negara yang hancur,” imbuh Volodin.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov sebelumnya juga mengatakan AS seharusnya tidak mengharapkan dunia untuk melupakan bahwa Washington menginvasi Irak tahun 2003 dan menggulingkan Presiden Saddam Hussein atas tuduhan palsu.
"Aksi Powell di PBB telah lama menjadi lambang kemunafikan dan keyakinan elite penguasa AS atas impunitasnya sendiri dan haknya yang tak tertandingi untuk secara angkuh mengajar seluruh dunia,” kata Ryabkov, seperti dikutip dari RIA Novosti.
"Itu juga merupakan simbol dari kesediaan Washington untuk menggunakan kekuatan melawan lawan yang jelas lebih lemah untuk mempertahankan hegemoni globalnya sendiri," lanjut Ryabkov.
Namun, diplomat tersebut bersugesti bahwa—tidak seperti di tahun 2000-an dan selama kampanye pengeboman NATO di Yugoslavia tahun 1999—Washington tidak dapat leluasa bertindak sebagai “bandit internasional” dalam kondisi saat ini.
“Dalam lanskap geopolitik yang berubah dengan cepat, AS sekarang secara objektif tidak dapat menggunakan skenario penggunaan kekuatan setiap kali terasa seperti itu, tanpa menghadapi konsekuensi serius,” katanya, menunjuk pada penerbangan yang memalukan pasukan AS dari Afganistan pada tahun 2021.
Namun, lanjut Ryabkov, seperti yang ditunjukkan oleh "campur tangan" Washington dalam konflik Ukraina, kemunduran ini tidak menghentikan AS untuk menganut cara-cara lamanya.
“Orang Amerika harus menyesuaikan diri dengan rel baru dan menyingkirkan sindrom impunitas yang begitu jelas terwujud selama skandal botol [antraks]. Hal yang sama berlaku untuk memperhitungkan Rusia dan China, serta pemain internasional utama lainnya yang membentuk tatanan dunia multilateral yang lebih adil,” kata Ryabkov.
"AS seharusnya tidak menghargai harapan apa pun bahwa kenangan tentang apa yang terjadi 20 tahun lalu akan terkubur dalam pasir sejarah modern yang bergeser,” pungkasnya.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda