Afrika, benua panas yang kian begerjolak
A
A
A
Sindonews.com – Krisis politik yang berujung pada pembantaian massal “mewabah” di sebagian wilayah benua Afrika. Setidaknya, krisis di dua negara, dari beberapa di benua itu belum mereda. Keduanya adalah Sudan Selatan dan Mesir.
Di Sudan Selatan, krisis bermula dari pemecatan Wakil Presiden Riek Machar oleh Presiden Salva Kiir, beberapa bulan lalu. Tidak terima, dengan pemecatan itu, Machar dengan sejumlah pasukan Sudan Selatan yang membelot melakukan kudeta. Tapi, hasilnya nihil.
Gagalnya kudeta, justru menjadi “bencana” kemanusiaan baru di negara itu. Di mana, pembantaian etnis terjadi besar-besaran. Banyak warga etnis Nuer (pro Machar) dibantai oleh orang-orang bersenjata dari etnis Dinka Were (pro Presiden Kiir).
PBB menyebut sekitar 500 orang tewas. Rata-rata dari etnis Nuer. Sejumlah saksi mata juga membenarkannya. Wartawan di Sudan Selatan, Hannah McNeish, mewawancarai seorang warga bernama Simon, yang ditembak empat kali. Namun, pria itu berhasil bertahan hidup dalam aksi pembantaian massal.
”Dia (Simon) bercerita, bahwa 250 laki-laki dibawa ke sebuah kantor polisi, di salah satu pinggiran kota tersibuk Juba. Mereka mengalami siksaan selama dua hari, kemudian ditembak. Semua dibunuh, kecuali 12 orang laki-laki,” ujar Neish, kepada BBC.
Cara para pembantai membedakan dua etnis pun gampang. Mereka mendatangi rumah setiap warga. Setiap orang ditanya dengan bahasa Dinka Were. Siapa yang tidak bisa menjawab dengan bahasa itu, dibawa ke sebuah markas, dan ditembak.
Kendati demikian, Pihak militer Sudan Selatan tetap membantah terjadi pembantaian etnis. ”Ini bukan masalah etnis,” kata Juru Bicara Militer Sudan Selatan, Phillip Aguer. Menurutnya, setiap prajurit berseragam tidak melakukan kekejaman. ”Itu tidak benar. Ada penjahat di Juba yang telah membunuh orang-orang, dan mereka ada di sana sebelumnya.”
Morsi dan cap teroris
Selanjutnya, krisis politik di Mesir tidak kalah memprihatinkan. Presiden yang terpilih lewat pemilu tahun 2012, Mohamed Morsi, dikudeta militer pada 3 Juli 2013. Tak cukup dikudeta, Morsi menjalani “pesakitan”.
Dia dijebloskan ke penjara dan didakwa dengan berbagai tuduhan. Mulai dari tuduhan pembunuhan, pengkhianatan, dan terakhir tuduhan sebagai teroris.
Kelompok pendukung Morsi, Ikhwanul Muslimin Mesir tidak terima. Demonstrasi nyaris terjadi saban hari, bahkan sampai pemerintahan sementara Mesir terbentuk.
Pada puncaknya, militer Mesir melakukan pembantaian terhadap massa kelompok itu di wilayah Rabia al-Adawiya. Ratusan massa pro-Morsi tewas, sedangkan para pimpinan Ikhwanul Muslimin ditangkap dan diadili.
Demonstrasi yang nyaris tanpa henti, membuat Pemerintah Mesir membuat UU yang kontroversial. Isinya, setiap warga yang berdemo atau menghasut demo akan ditangkap dan dipenjara. Tidak pandang bulu, beberapa gadis di bawah umur pernah dijebloskan ke penjara, sebelum dibebaskan beberapa waktu lalu.
Pemerintah Mesir yang telah membekukan kelompok Ikhwanul Muslimin, kemarin, secara resmi melabeli kelompok itu sebagai organisasi teroris. Imbasnya, kelompok itu dilarang beraktivitas, termasuk berdemo sekalipun.
”Ikhwanul Muslimin telah dinyatakan sebagai kelompok teroris,” kata Wakil Perdana Menteri Mesir, Hossam Eissa, seperti dikutip dari AFP.
”Pemerintah memutuskan untuk menghukum siapa pun yang menjadi pemimpin kelompok ini atau tetap menjadi anggotanya, setelah keputusan itu diambil. Mesir akan memberitahu negara-negara Arab yang menandatangani perjanjian anti terorisme 1998 soal keputusan ini,” lanjut Eissa.
Lebel teroris dilekatkan ke Ikhwanul Muslimin, setelah terjadi pemboman di kantor polisi Mousura, Kairo, di mana 15 orang yang sebagian besar polisi tewas. Meski, kelompok Sinai mengklaim atas pemboman itu, namun, Ikhwanul Muslimin Mesir tetap kena getahnya.
Di Sudan Selatan, krisis bermula dari pemecatan Wakil Presiden Riek Machar oleh Presiden Salva Kiir, beberapa bulan lalu. Tidak terima, dengan pemecatan itu, Machar dengan sejumlah pasukan Sudan Selatan yang membelot melakukan kudeta. Tapi, hasilnya nihil.
Gagalnya kudeta, justru menjadi “bencana” kemanusiaan baru di negara itu. Di mana, pembantaian etnis terjadi besar-besaran. Banyak warga etnis Nuer (pro Machar) dibantai oleh orang-orang bersenjata dari etnis Dinka Were (pro Presiden Kiir).
PBB menyebut sekitar 500 orang tewas. Rata-rata dari etnis Nuer. Sejumlah saksi mata juga membenarkannya. Wartawan di Sudan Selatan, Hannah McNeish, mewawancarai seorang warga bernama Simon, yang ditembak empat kali. Namun, pria itu berhasil bertahan hidup dalam aksi pembantaian massal.
”Dia (Simon) bercerita, bahwa 250 laki-laki dibawa ke sebuah kantor polisi, di salah satu pinggiran kota tersibuk Juba. Mereka mengalami siksaan selama dua hari, kemudian ditembak. Semua dibunuh, kecuali 12 orang laki-laki,” ujar Neish, kepada BBC.
Cara para pembantai membedakan dua etnis pun gampang. Mereka mendatangi rumah setiap warga. Setiap orang ditanya dengan bahasa Dinka Were. Siapa yang tidak bisa menjawab dengan bahasa itu, dibawa ke sebuah markas, dan ditembak.
Kendati demikian, Pihak militer Sudan Selatan tetap membantah terjadi pembantaian etnis. ”Ini bukan masalah etnis,” kata Juru Bicara Militer Sudan Selatan, Phillip Aguer. Menurutnya, setiap prajurit berseragam tidak melakukan kekejaman. ”Itu tidak benar. Ada penjahat di Juba yang telah membunuh orang-orang, dan mereka ada di sana sebelumnya.”
Morsi dan cap teroris
Selanjutnya, krisis politik di Mesir tidak kalah memprihatinkan. Presiden yang terpilih lewat pemilu tahun 2012, Mohamed Morsi, dikudeta militer pada 3 Juli 2013. Tak cukup dikudeta, Morsi menjalani “pesakitan”.
Dia dijebloskan ke penjara dan didakwa dengan berbagai tuduhan. Mulai dari tuduhan pembunuhan, pengkhianatan, dan terakhir tuduhan sebagai teroris.
Kelompok pendukung Morsi, Ikhwanul Muslimin Mesir tidak terima. Demonstrasi nyaris terjadi saban hari, bahkan sampai pemerintahan sementara Mesir terbentuk.
Pada puncaknya, militer Mesir melakukan pembantaian terhadap massa kelompok itu di wilayah Rabia al-Adawiya. Ratusan massa pro-Morsi tewas, sedangkan para pimpinan Ikhwanul Muslimin ditangkap dan diadili.
Demonstrasi yang nyaris tanpa henti, membuat Pemerintah Mesir membuat UU yang kontroversial. Isinya, setiap warga yang berdemo atau menghasut demo akan ditangkap dan dipenjara. Tidak pandang bulu, beberapa gadis di bawah umur pernah dijebloskan ke penjara, sebelum dibebaskan beberapa waktu lalu.
Pemerintah Mesir yang telah membekukan kelompok Ikhwanul Muslimin, kemarin, secara resmi melabeli kelompok itu sebagai organisasi teroris. Imbasnya, kelompok itu dilarang beraktivitas, termasuk berdemo sekalipun.
”Ikhwanul Muslimin telah dinyatakan sebagai kelompok teroris,” kata Wakil Perdana Menteri Mesir, Hossam Eissa, seperti dikutip dari AFP.
”Pemerintah memutuskan untuk menghukum siapa pun yang menjadi pemimpin kelompok ini atau tetap menjadi anggotanya, setelah keputusan itu diambil. Mesir akan memberitahu negara-negara Arab yang menandatangani perjanjian anti terorisme 1998 soal keputusan ini,” lanjut Eissa.
Lebel teroris dilekatkan ke Ikhwanul Muslimin, setelah terjadi pemboman di kantor polisi Mousura, Kairo, di mana 15 orang yang sebagian besar polisi tewas. Meski, kelompok Sinai mengklaim atas pemboman itu, namun, Ikhwanul Muslimin Mesir tetap kena getahnya.
(mas)