Jirga, komunitas pencari keadilan bagi perempuan Pakistan

Kamis, 11 Juli 2013 - 15:20 WIB
Jirga, komunitas pencari keadilan bagi perempuan Pakistan
Jirga, komunitas pencari keadilan bagi perempuan Pakistan
A A A
Sindonews.com – Tahira nama gadis Pakistan itu. Usianya sebelum meninggal dengan cara mengerikan pada tahun lalu, adalah 16 tahun. Dia meninggal akibat serangan senyawa asam yang ia tuangkan sendiri ke wajahnya, karena tak berdaya melawan kekasaran sang suami.

Suami Tahira yang masih bebas, membuat orangtua Tahira yang hidup serba miskin terus mencari keadilan. Tapi, para pejabat Pakistan membanting pintu di wajah orang tua pencari keadilan itu. Begitu juga dengan polisi Pakistan yang menolak mendengarkan laporan orang tua Tahira.

Kasus Tahira, akhirnya diambil Jirga, komunitas pertama yang dibentuk untuk memenangkan keadilan bagi perempuan Pakistan dalam menghadapi diskriminasi besar. Komunitas itu dibentuk di lembah Swat, Pakistan barat laut. Lembah Swat selama ini identik dengan perjuangan para perempuan Pakistan dalam mencari keadilan. Di kawasan itu pula Taliban menembak kepala siswi yang jadi aktivis perempuan, Malala Yousafzai, tahun lalu.

Dikutip Time Of India, Kamis (11/7/2013), ketika Taliban menguasai lembah Swat 2007-2009, gadis di Pakistan dilarang pergi ke sekolah. Kelas mereka dibakar dan wanita dicegah untuk meninggalkan rumah tanpa saudara laki-laki. Tradisi konservatif itu membuat wanita Pakistan menjadi warga kelas dua yang harus tunduk pada laki-laki.

Kembali ke kisah Tahira, sang Ibu, Jan Bano kerap menapaki bukit curam untuk mengunjungi makam Tahira. Setiap kali berziarah ke makam putrinya, Bano merasa pusing dan lemah, karena stres tidak pernah mendapatkan keadilan untuk putri yang ia cintai.

Tahira dipaksa menikah saat usianya 12 tahun. Meski perempuan yang belum pubertas dinikahkan paksa menjadi tradisi lumrah di desa-desa di Pakistan, tapi Bano sejatinya tidak rela. Ia sudah merasa Tahira akan disiksa menantunya, Subha Khan. ”Dialah (Tahira) yang menuangkan asam pada dirinya, di sebuah ruangan untuk mati,” kata Bano.

Wajah Tahira hancur. Begitu pula tubuh bagian atas. Kata Bano, Tahira menjerit kesakitan selama 14 hari sebelum ia meninggal. Tapi ketika mereka pergi ke polisi, petugas tidak melakukan apa pun.

Ketika anak sulungnya mendekati pejabat pemerintah untuk mengeluh, Khan dan ayahnya mengancamnya dengan konsekuensi yang mengerikan. Kasus itu lantas diadukan ke Jirga. ”Kami muak dengan keputusan yang mendukung laki-laki,” kata Kepala Jirga, Tabbassum Adnan. ” Kita tidak bisa meninggalkan perempuan pada belas kasihan dari laki-laki,” katanya kepada AFP.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6167 seconds (0.1#10.140)