Akademisi China & Jepang cari solusi soal sengketa pulau
A
A
A
Sindonews.com – Ketegangan antara China dan Jepang akibat sengketa kepulauan Senkaku/Daioyu menimbulkan kekhawatiran pada banyak kalangan. Salah satunya adalah para akademisi dari kedua negara.
Untuk itu, sejumlah akademisi China dan Jepang mengadakan pertemuan di Washington, Amerika Serikat (AS) guna mencari solusi atas sengketa ini. Pembicaraan yang berlangsung pada Senin (28/1/2013) ini tidak melibatkan perwakilan pemerintah. Beberapa peserta membuat saran dalam kapasitas pribadi.
Para akademisi mengakui, bahwa Tokyo dan Beijing memiliki perbedaan pandangan besar atas wilayah di Laut China Timur. Tetapi, mereka melihat satu titik mendasar yang sama, yakni tidak ada pihak yang menginginkan konflik meningkat menjadi perang.
Zheng Wang, seorang sarjana kebijakan publik di Woodrow Wilson International Center for Scholars, menemukan sebuah "kesenjangan persepsi yang besar" antara kedua belah pihak.
“Bahwa rasa nasionalisme yang meningkat dalam dua perekonomian Asia terbesar itu, membuat sulit para pemimpin kedua negara untuk mengambil tindakan apapun yang dapat dianggap lemah,” tuturnya.
"Masing-masing pihak melihat diri mereka sebagai korban dan lainnya sebagai agresor. Mereka mengambil perilaku agresif untuk mengubah status quo dan kami cinta damai negara,” lanjut Wang.
Tatsushi Arai, seorang akademisi Jepang yang menggelar sesi bersama Wang, menyatakan Jepang bisa menegaskan kedaulatan, tetapi tetap mengakui posisi China. “Sebaliknya, China bisa mengajukan klaim, tetapi tetap mengakui posisi Jepang. Atau, kedua belah pihak bisa sama-sama mengakui perbedaan. Kedua negara kemudian dapat bekerja pada kode etik untuk perairan,” jelasnya.
Untuk itu, sejumlah akademisi China dan Jepang mengadakan pertemuan di Washington, Amerika Serikat (AS) guna mencari solusi atas sengketa ini. Pembicaraan yang berlangsung pada Senin (28/1/2013) ini tidak melibatkan perwakilan pemerintah. Beberapa peserta membuat saran dalam kapasitas pribadi.
Para akademisi mengakui, bahwa Tokyo dan Beijing memiliki perbedaan pandangan besar atas wilayah di Laut China Timur. Tetapi, mereka melihat satu titik mendasar yang sama, yakni tidak ada pihak yang menginginkan konflik meningkat menjadi perang.
Zheng Wang, seorang sarjana kebijakan publik di Woodrow Wilson International Center for Scholars, menemukan sebuah "kesenjangan persepsi yang besar" antara kedua belah pihak.
“Bahwa rasa nasionalisme yang meningkat dalam dua perekonomian Asia terbesar itu, membuat sulit para pemimpin kedua negara untuk mengambil tindakan apapun yang dapat dianggap lemah,” tuturnya.
"Masing-masing pihak melihat diri mereka sebagai korban dan lainnya sebagai agresor. Mereka mengambil perilaku agresif untuk mengubah status quo dan kami cinta damai negara,” lanjut Wang.
Tatsushi Arai, seorang akademisi Jepang yang menggelar sesi bersama Wang, menyatakan Jepang bisa menegaskan kedaulatan, tetapi tetap mengakui posisi China. “Sebaliknya, China bisa mengajukan klaim, tetapi tetap mengakui posisi Jepang. Atau, kedua belah pihak bisa sama-sama mengakui perbedaan. Kedua negara kemudian dapat bekerja pada kode etik untuk perairan,” jelasnya.
(esn)