Redam Sebaran Corona, AS Berharap pada Plasma Pasien yang Sembuh
A
A
A
NEW YORK - Banyak rumah sakit di Amerika Serikat (AS) putus asa menghadapi banyaknya pasien yang terinfeksi virus corona (Covid-19). Sebagai solusi, banyak dokter dan perawat menggunakan model perawatan yang digunakan pada 1890-an, yakni plasma darah yang disumbangkan pasien yang sembuh.
Orang yang berhasil selamat dari penyakit infeksi seperti Covid-19 umumnya memiliki darah yang mengandung antibodi atau protein dengan sistem imunitas yang kuat untuk memerangi virus. Komponen darah itu mengandung antibodi yang dikumpulkan dan diberikan kepada pasien yang terinfeksi. Itu disebut dengan “plasma yang sembuh”.
Untuk membantu donor darah bagi rumah sakit, Association of Blood Banks (AABB) pekan ini mengeluarkan aturan tentang pengumpulan plasma tersebut. Palang Merah AS itu meluncurkan donor potensial secara online.
Badan Admistrasi Obat dan Makanan (FDA) mengumumkan program akses yang diperluas untuk “plasma yang sembuh”. Program itu dikoordinasikan oleh Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, yang mengumumkan plasma tersebut untuk disebar ke seluruh AS. (Baca: Jumlah Infeksi Covid-19 di AS Tembus Angka 300.000)
Apakah plasma dari pasien yang sembuh memang efektif? “Secara sejarah, itu bisa bekerja,” kata Jeffrey Henderson, profesor kesehatan dan mikrobiologi molekuler di Universitas Washington, dilansir Reuters. Dia mengungkapkan, plasma yang sembuh itu sukses digunakan pada pandemi flu pada 1918. “Sebelum kita memiliki vaksin, itu bisa digunakan untuk penyakit infeksi seperti campak dan difteri.”
Para dokter mengungkapkan, protokol dalam penggunaan masih belum jelas untuk pasien korona. Namun, mereka metode tersebut terus dicoba sehingga vaksin dan pengobatan virus korona dikembangkan.
Mayo Clinic dan rumah sakit lain melaksanakan uji klinis. Uji yang sama juga dilakukan di negara lain. Salah satu uji coba dilaksanakan di China, di mana lima pasien corona berhasil sembuh dan dinyatakan sembuh setelah transfusi darah. Hasil uji coba itu dipublikasikan pada The Journal of the American Medical Association pekan lalu.
Proses tersebut membutuhkan sumbangan darah dari orang yang berhasil sembuh dari Covid-19. Namun, darah tersebut harus sehat dan memenuhi kriteria seorang donor. Nantinya, melalui mesin untuk mengekstraksi plasma, darah tersebut ditransfusikan kepada pasien yang sakit corona. Prosesnya hanya memakan waktu 90 menit dan plasma dari donor bisa digunakan untuk tiga hingga empat pasien.
Donor harus memiliki status negatif Covid-19 sebelum mendonorkan plasma. Uji coba juga sedang dikembangkan untuk mengukur volume imunitas. Rumah Sakit Methodist Houston dan beberapa rumah sakit di New York juga menggunakan perawatan eksperimental bagi pasien yang terinfeksi virus corona.
Timothy Byun, dokter di Rumah Sakit St Joseph di Orange, California, memberikan plasma itu pada pasiennya. Dia mengungkapkan, pasiennya menjadi lebih baik. “Tapi, masih terlalu dini untuk mengungkapkan terapi tersebut efektif,” katanya.
St Joseph, rumah sakit dengan 450 kamar, tidak memiliki pusat donasi darah. Mereka mengubah alat cuci darah untuk mengumpulkan plasma dari donor. Sebelum ditransfusi, pasien mendapatkan perawatan obat seperti obat malaria hydroxychloroquine dan obat antiperadagangan Actemra.
Hanya saja, risiko terapi plasma itu berbahaya untuk penderita yang memiliki riwayat alergi. “Saya yakin terapi plasma darah menjadi kesempatan terbaik,” kata Daniel McQuillen, pakar penyakit infeksi di Rumah Sakit Lahey di Burlington, Massachusetts.
Sebelumnya, Badan Sains Nasional Australia mengumumkan proses tahap pertama uji vaksin Covid-19. Langkah itu di tengah perlombaan banyak negara, institusi kesehatan, dan perusahaan farmasi menciptakan vaksin dan obat untuk menangkal pandemi corona. Uji praklinis itu dilaksanakan Organisasi Penelitian Industri dan Sains Persemakmuran (CSIRO) terhadap musang yang disuntik dua vaksin.
Sebelumnya, Moderna Inc dan Johnson & Johnson, juga mengungkapkan menguji vaksin untuk virus korona pada manusia. Uji klinis itu dilaksanakan di Seattle pada bulan lalu. Namun, Pemerintah AS telah memutus kesepakatan dengan Moderna dan Johnson & Johnson. Washington kini sedang berunding dengan dua perusahaan lain untuk memproduksi vaksin virus corona dalam jumlah besar.
Penelitian yang didanai National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) bersama dengan Kaiser Permanente Health Research Institute di Seattle menguji vaksin yang aman bagi manusia. Para partisipan menerima dua dosis vaksin dan dimonitor selama satu tahun.
Perusahaan farmasi AS Pfizer sudah menandatangani kerja sama dengan BioNTech di Jerman untuk mengembangkan vaksin virus corona. Dua perusahaan itu berkolaborasi bersama-sama untuk mendistribusikan vaksin di luar China. Mereka juga sudah menyepakati faktor finansial untuk pengembangan dan komersialisasi vaksin tersebut. (Baca juga: Rekor Maut di As Kian Parah, Corona Renggut 1.480 Nyawa Dalam 24 Jam)
Selain vaksin, perusahaan farmasi global berlomba untuk mengembangkan obat untuk menaklukkan virus korona. CEO Novartis Vas Narasimhan mengungkapkan, obat generik malaria dan lupus, Sandoz, serta obat artritis, Hydroxychloroquine, menjadi harapan terbesar dalam menangkal virus korona.
Perusahaan lain, termasuk Bayer dan Teva, juga sepakat untuk meyumbangkan Hydroxychloroquine atau obat sejenis. Adapun Gilead Sciences menguji coba obat eksperimental Remdesivir untuk mengobati virus corona. CEO Gilead Sciences Daniel O’Day mengumumkan bahwa perusahaannya akan memproduksi Remdesivir agar tersedia di pasaran dan melakukan enam uji klinis yang masih berjalan untuk menentukan apakah obat tersebut efektif atau tidak untuk merawat pasien Covid-19.
Banyak Negara Makin Optimistis
Beberapa pejabat kesehatan di sejumlah negara mulai merasa optimistis wabah corona bakal segera mereda. Di Australia, misalnya, kemarin pemerintahnya mengaku terjadi pelambatan penyebaran virus corona di negaranya. Namun, mereka tetap menekankan perlunya jaga jarak harus dilakukan selama beberapa bulan ke depan. Hingga kemarin, 181 kasus dikonfirmasi pada 24 jam terakhir dan menjadi jumlah total warga yang terinfeksi menjadi 5.635 dan 34 orang meninggal dunia.
Direktur Perlindungan Kesehatan Negara Bagian New South Wales (NSW) Jeremy McAnulty mengatakan, ada harapan kurva mendarat kasus infeksi baru. “Kita sangat berharap, tetapi itu bukan berarti selesai,” kata McAnulty, dilansir Reuters.
Menteri Kesehatan Australia Greg Hunt memperingatkan tanda-tanda membaik di mana warga Australia tetap harus menjaga jarak dari orang lain selama setengah tahun mendatang. “Ini merupakan periode enam bulan yang sulit yang harus dilalui,” kata Hunt kepada stasiun televisi Sky News, Australia.
Pada 29 Maret Google Community Mobility Report menunjukkan warga Australia tidak lagi pergi ke restoran dan pusat perbelanjaan hingga 45%. Data itu juga menunjukkan efektivitas orang berkumpul dan banyak orang memilih bertahan di rumah. Apalagi, banyak negara bagian di Australia memberlakukan aturan keras dengan denda dan ancaman penjara. Polisi Victoria telah menjatuhkan denda kepada 142 orang karena melanggar aturan jaga jarak.
Di Selandia Baru, di mana pembatasan telah dilaksanakan dengan cepat tetap meminta warganya tetap berada di rumah. Google mencatat 91% warga Selandia Baru tidak lagi pergi ke restoran, kafe dan pusat perbelanjaan. Selandia Baru menghadapi 48 kasus baru kemarin dengan jumlah total mencapai 872 orang. “Situasi semakin sulit,” kata Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern.
Bukan hanya Australia mulai optimistis. Banyak negara di Eropa, seperti Italia dan Spanyol juga sudah menunjukkan optimisme.
Di Italia, jumlah pasien di unit perawatan khusus telah menunjukkan penurunan sejak pertama kali muncul wabah. "Jumlah kasus baru hanya 4.805 orang pada Sabtu lalu menurun drastis dibandingkan sebelumnya," demikian keterangan Departemen Perlindungan Sipil Italia.
Mereka juga melaporkan, 681 orang meninggal dunia dari total mencapai 15.632 orang sejak wabah epidemi itu muncul pada 21 Februari di Italia utara. Itu menjadi jumlah kematian paling rendah sejak 23 Maret lalu. (Andika H Mustaqim)
Orang yang berhasil selamat dari penyakit infeksi seperti Covid-19 umumnya memiliki darah yang mengandung antibodi atau protein dengan sistem imunitas yang kuat untuk memerangi virus. Komponen darah itu mengandung antibodi yang dikumpulkan dan diberikan kepada pasien yang terinfeksi. Itu disebut dengan “plasma yang sembuh”.
Untuk membantu donor darah bagi rumah sakit, Association of Blood Banks (AABB) pekan ini mengeluarkan aturan tentang pengumpulan plasma tersebut. Palang Merah AS itu meluncurkan donor potensial secara online.
Badan Admistrasi Obat dan Makanan (FDA) mengumumkan program akses yang diperluas untuk “plasma yang sembuh”. Program itu dikoordinasikan oleh Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, yang mengumumkan plasma tersebut untuk disebar ke seluruh AS. (Baca: Jumlah Infeksi Covid-19 di AS Tembus Angka 300.000)
Apakah plasma dari pasien yang sembuh memang efektif? “Secara sejarah, itu bisa bekerja,” kata Jeffrey Henderson, profesor kesehatan dan mikrobiologi molekuler di Universitas Washington, dilansir Reuters. Dia mengungkapkan, plasma yang sembuh itu sukses digunakan pada pandemi flu pada 1918. “Sebelum kita memiliki vaksin, itu bisa digunakan untuk penyakit infeksi seperti campak dan difteri.”
Para dokter mengungkapkan, protokol dalam penggunaan masih belum jelas untuk pasien korona. Namun, mereka metode tersebut terus dicoba sehingga vaksin dan pengobatan virus korona dikembangkan.
Mayo Clinic dan rumah sakit lain melaksanakan uji klinis. Uji yang sama juga dilakukan di negara lain. Salah satu uji coba dilaksanakan di China, di mana lima pasien corona berhasil sembuh dan dinyatakan sembuh setelah transfusi darah. Hasil uji coba itu dipublikasikan pada The Journal of the American Medical Association pekan lalu.
Proses tersebut membutuhkan sumbangan darah dari orang yang berhasil sembuh dari Covid-19. Namun, darah tersebut harus sehat dan memenuhi kriteria seorang donor. Nantinya, melalui mesin untuk mengekstraksi plasma, darah tersebut ditransfusikan kepada pasien yang sakit corona. Prosesnya hanya memakan waktu 90 menit dan plasma dari donor bisa digunakan untuk tiga hingga empat pasien.
Donor harus memiliki status negatif Covid-19 sebelum mendonorkan plasma. Uji coba juga sedang dikembangkan untuk mengukur volume imunitas. Rumah Sakit Methodist Houston dan beberapa rumah sakit di New York juga menggunakan perawatan eksperimental bagi pasien yang terinfeksi virus corona.
Timothy Byun, dokter di Rumah Sakit St Joseph di Orange, California, memberikan plasma itu pada pasiennya. Dia mengungkapkan, pasiennya menjadi lebih baik. “Tapi, masih terlalu dini untuk mengungkapkan terapi tersebut efektif,” katanya.
St Joseph, rumah sakit dengan 450 kamar, tidak memiliki pusat donasi darah. Mereka mengubah alat cuci darah untuk mengumpulkan plasma dari donor. Sebelum ditransfusi, pasien mendapatkan perawatan obat seperti obat malaria hydroxychloroquine dan obat antiperadagangan Actemra.
Hanya saja, risiko terapi plasma itu berbahaya untuk penderita yang memiliki riwayat alergi. “Saya yakin terapi plasma darah menjadi kesempatan terbaik,” kata Daniel McQuillen, pakar penyakit infeksi di Rumah Sakit Lahey di Burlington, Massachusetts.
Sebelumnya, Badan Sains Nasional Australia mengumumkan proses tahap pertama uji vaksin Covid-19. Langkah itu di tengah perlombaan banyak negara, institusi kesehatan, dan perusahaan farmasi menciptakan vaksin dan obat untuk menangkal pandemi corona. Uji praklinis itu dilaksanakan Organisasi Penelitian Industri dan Sains Persemakmuran (CSIRO) terhadap musang yang disuntik dua vaksin.
Sebelumnya, Moderna Inc dan Johnson & Johnson, juga mengungkapkan menguji vaksin untuk virus korona pada manusia. Uji klinis itu dilaksanakan di Seattle pada bulan lalu. Namun, Pemerintah AS telah memutus kesepakatan dengan Moderna dan Johnson & Johnson. Washington kini sedang berunding dengan dua perusahaan lain untuk memproduksi vaksin virus corona dalam jumlah besar.
Penelitian yang didanai National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) bersama dengan Kaiser Permanente Health Research Institute di Seattle menguji vaksin yang aman bagi manusia. Para partisipan menerima dua dosis vaksin dan dimonitor selama satu tahun.
Perusahaan farmasi AS Pfizer sudah menandatangani kerja sama dengan BioNTech di Jerman untuk mengembangkan vaksin virus corona. Dua perusahaan itu berkolaborasi bersama-sama untuk mendistribusikan vaksin di luar China. Mereka juga sudah menyepakati faktor finansial untuk pengembangan dan komersialisasi vaksin tersebut. (Baca juga: Rekor Maut di As Kian Parah, Corona Renggut 1.480 Nyawa Dalam 24 Jam)
Selain vaksin, perusahaan farmasi global berlomba untuk mengembangkan obat untuk menaklukkan virus korona. CEO Novartis Vas Narasimhan mengungkapkan, obat generik malaria dan lupus, Sandoz, serta obat artritis, Hydroxychloroquine, menjadi harapan terbesar dalam menangkal virus korona.
Perusahaan lain, termasuk Bayer dan Teva, juga sepakat untuk meyumbangkan Hydroxychloroquine atau obat sejenis. Adapun Gilead Sciences menguji coba obat eksperimental Remdesivir untuk mengobati virus corona. CEO Gilead Sciences Daniel O’Day mengumumkan bahwa perusahaannya akan memproduksi Remdesivir agar tersedia di pasaran dan melakukan enam uji klinis yang masih berjalan untuk menentukan apakah obat tersebut efektif atau tidak untuk merawat pasien Covid-19.
Banyak Negara Makin Optimistis
Beberapa pejabat kesehatan di sejumlah negara mulai merasa optimistis wabah corona bakal segera mereda. Di Australia, misalnya, kemarin pemerintahnya mengaku terjadi pelambatan penyebaran virus corona di negaranya. Namun, mereka tetap menekankan perlunya jaga jarak harus dilakukan selama beberapa bulan ke depan. Hingga kemarin, 181 kasus dikonfirmasi pada 24 jam terakhir dan menjadi jumlah total warga yang terinfeksi menjadi 5.635 dan 34 orang meninggal dunia.
Direktur Perlindungan Kesehatan Negara Bagian New South Wales (NSW) Jeremy McAnulty mengatakan, ada harapan kurva mendarat kasus infeksi baru. “Kita sangat berharap, tetapi itu bukan berarti selesai,” kata McAnulty, dilansir Reuters.
Menteri Kesehatan Australia Greg Hunt memperingatkan tanda-tanda membaik di mana warga Australia tetap harus menjaga jarak dari orang lain selama setengah tahun mendatang. “Ini merupakan periode enam bulan yang sulit yang harus dilalui,” kata Hunt kepada stasiun televisi Sky News, Australia.
Pada 29 Maret Google Community Mobility Report menunjukkan warga Australia tidak lagi pergi ke restoran dan pusat perbelanjaan hingga 45%. Data itu juga menunjukkan efektivitas orang berkumpul dan banyak orang memilih bertahan di rumah. Apalagi, banyak negara bagian di Australia memberlakukan aturan keras dengan denda dan ancaman penjara. Polisi Victoria telah menjatuhkan denda kepada 142 orang karena melanggar aturan jaga jarak.
Di Selandia Baru, di mana pembatasan telah dilaksanakan dengan cepat tetap meminta warganya tetap berada di rumah. Google mencatat 91% warga Selandia Baru tidak lagi pergi ke restoran, kafe dan pusat perbelanjaan. Selandia Baru menghadapi 48 kasus baru kemarin dengan jumlah total mencapai 872 orang. “Situasi semakin sulit,” kata Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern.
Bukan hanya Australia mulai optimistis. Banyak negara di Eropa, seperti Italia dan Spanyol juga sudah menunjukkan optimisme.
Di Italia, jumlah pasien di unit perawatan khusus telah menunjukkan penurunan sejak pertama kali muncul wabah. "Jumlah kasus baru hanya 4.805 orang pada Sabtu lalu menurun drastis dibandingkan sebelumnya," demikian keterangan Departemen Perlindungan Sipil Italia.
Mereka juga melaporkan, 681 orang meninggal dunia dari total mencapai 15.632 orang sejak wabah epidemi itu muncul pada 21 Februari di Italia utara. Itu menjadi jumlah kematian paling rendah sejak 23 Maret lalu. (Andika H Mustaqim)
(ysw)