Inggris Hentikan Buruh Murah dari Eropa Pasca-Brexit

Rabu, 19 Februari 2020 - 23:01 WIB
Inggris Hentikan Buruh Murah dari Eropa Pasca-Brexit
Inggris Hentikan Buruh Murah dari Eropa Pasca-Brexit
A A A
LONDON - Inggris akan memprioritaskan para pekerja dengan skill tinggi dari penjuru dunia dalam sistem imigrasi pasca-Brexit yang berbasis poin.

Langkah tersebut diumumkan pemerintah Inggris untuk mengakhiri ketergantungan pada buruh murah dari Eropa. Kekhawatiran atas dampak imigrasi level tinggi dari Uni Eropa (UE) menjadi salah satu kunci penggerak di balik referendum Inggris 2016 untuk meninggalkan blok UE.

Pemerintah Inggris juga berencana mengurangi jumlah seluruh migrasi. Sistem baru yang akan dimulai pada 1 Januari 2021 itu akan memberikan poin untuk skill khusus, kualifikasi, gaji atau profesi dan hanya memberi visa pada mereka yang memiliki cukup poin.

Kebijakan itu akan memperlakukan sama antara warga UE dan non-UE. Ini akan menandai perubahan besar bagi bisnis yang selama ini memanfaatkan para pekerja UE, terutama sejak 2004 saat aksesi beberapa bekas negara komunis di Eropa tengah dan timur yang memicu gelombang masuk migran ke Inggris untuk bekerja.

"Kita memiliki sejumlah rute melalui skema imigrasi berbasis poin yang akan memungkinkan orang datang ke sini dengan jenis skill yang tepat yang dapat mendukung negara kita dan ekonomi kita," ungkap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Inggris Priti Patel.

Tidak akan ada rute masuk khusus untuk para pekerja skill rendah, dengan harapan akan membantu mengurangi jumlah migran.

"Kita perlu mengubah fokus ekonomi kita menjauh dari ketergantungan pada buruh murah dari Eropa dan lebih konsentrasi pada investasi untuk teknologi dan otomatisasi. Para pekerja perlu menyesuaikan," papar pemerintah dalam dokumen kebijakan.

Meski demikian beberapa kelompok bisnis menyatakan banyak perusahana tergantung pada buruh asing dan memperingatkan kemungkinan tidak cukup pekerja domestik untuk merawat tanaman, merawat pasien dan menyajikan makanan. Kekurangan tenaga di bidang itu dapat merusak ekonomi terbesar kelima di dunia tersebut.
(sfn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3672 seconds (0.1#10.140)