Pentagon: Turki Telah Mulai Uji Sistem Rudal S-400 Rusia
A
A
A
WASHINGTON - Pentagon atau Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengatakan Turki telah memulai uji coba sistem pertahanan rudal S-400 yang dibeli dari Rusia. AS tetap menuntut Ankara menyingkirkan senjata pertahanan canggih itu sebagai syarat awal meningkatkan hubungan kedua negara.
"Kami sadar bahwa ada beberapa pengujian sedang berlangsung," kata Wakil Direktur Staf Gabungan Militer Amerika, Laksamana Muda William D Byrne Jr dalam sebuah briefing dengan juru bicara Pentagon Jonathan Hoffman. "Tetapi kami tidak memiliki indikasi bahwa itu digunakan di lapangan," lanjut Byrne, seperti dikutip dari Military.com, Sabtu (14/12/2019).
Hoffman mengatakan Turki harus membuang sistem pertahanan udara canggih S-400 yang dibeli dari Rusia senilai USD2,5 miliar sebagai langkah pertama dalam meningkatkan hubungan dengan AS dan NATO.
"Jika Turki ingin kembali dalam barisan, jalan ke depan adalah menyingkirkan S-400," kata Hoffman.
"Turki tidak bisa hanya menyimpannya di gudang dan menguncinya. Mereka perlu melepaskan diri dari sistem senjata itu," ujar Hoffman. "Kami tidak menerima indikasi bahwa mereka telah berbalik arah dan berusaha untuk pergi ke arah yang berbeda."
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melanjutkan pembelian armada kedua S-400 Rusia meskipun telah berulang kali diperingatkan oleh AS bahwa senjata pertahanan itu tidak kompatibel dengan sistem NATO dan dapat menimbulkan ancaman bagi jet tempur siluman F-35.
Perselisihan dengan Washington meningkat pada Oktober, ketika Turki menginvasi pasukan Kurdi di Suriah dengan dalih untuk menciptakan zona aman di sepanjang perbatasannya.
Invasi Ankara itu membahayakan sekitar 25 anggota pasukan khusus AS yang telah menjalankan patroli bersama dengan Turki di timur laut Suriah. Pasukan Rusia dan Suriah juga bergegas maju untuk mengisi kekosongan wilayah yang ditinggalkan pasukan Amerika.
Hoffman mendesak Turki untuk mengubah arah. "Turki akan lebih baik bekerja dengan AS dan NATO daripada pergi ke arah yang berbeda," ujarnya.
Menanggapi pembelian S-400 Rusia, AS telah melarang Turki membeli jet tempur siluman F-35. Turki juga akan kehilangan pekerjaan sebagai produsen beberapa suku cadang F-35 karena dikeluarkan dari program konsorsium bersama F-35 oleh Washington.
Tak hanya itu, Washington juga mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap sekutu NATO-nya tersebut. Kendati demikian, pemerintahan Donald Trump telah menunda menjatuhkan sanksi kepada Ankara. Sanksi-sanksi yang akan dijatuhkan berdasarkan Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi atau CAATSA. UU itu ditujukan untuk negara-negara yang melakukan bisnis dengan sektor pertahanan Rusia.
Pada hari Rabu, Kongres Amerika mendesak pemberlakuan CAATSA terhadap Turki ketika Komite Hubungan Luar Negeri Senat secara mayoritas setuju untuk menjatuhkan sanksi kepada Ankara.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu merespons dengan mengancam akan membalas AS. Menurutnya, pasukan AS akan diusir dari Pangkalan Udara Incirlik dan Stasiun Radar Kurecik di Turki jika sanksi benar-benar dijatuhkan pemerintah Trump.
"Baik Incirlik dan Kurecik mungkin datang ke agenda kami... (tetapi) kami tidak ingin berbicara tentang skenario buruk atas asumsi," kata Cavusoglu, yang dilansir Anadolu.
"Kami sadar bahwa ada beberapa pengujian sedang berlangsung," kata Wakil Direktur Staf Gabungan Militer Amerika, Laksamana Muda William D Byrne Jr dalam sebuah briefing dengan juru bicara Pentagon Jonathan Hoffman. "Tetapi kami tidak memiliki indikasi bahwa itu digunakan di lapangan," lanjut Byrne, seperti dikutip dari Military.com, Sabtu (14/12/2019).
Hoffman mengatakan Turki harus membuang sistem pertahanan udara canggih S-400 yang dibeli dari Rusia senilai USD2,5 miliar sebagai langkah pertama dalam meningkatkan hubungan dengan AS dan NATO.
"Jika Turki ingin kembali dalam barisan, jalan ke depan adalah menyingkirkan S-400," kata Hoffman.
"Turki tidak bisa hanya menyimpannya di gudang dan menguncinya. Mereka perlu melepaskan diri dari sistem senjata itu," ujar Hoffman. "Kami tidak menerima indikasi bahwa mereka telah berbalik arah dan berusaha untuk pergi ke arah yang berbeda."
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melanjutkan pembelian armada kedua S-400 Rusia meskipun telah berulang kali diperingatkan oleh AS bahwa senjata pertahanan itu tidak kompatibel dengan sistem NATO dan dapat menimbulkan ancaman bagi jet tempur siluman F-35.
Perselisihan dengan Washington meningkat pada Oktober, ketika Turki menginvasi pasukan Kurdi di Suriah dengan dalih untuk menciptakan zona aman di sepanjang perbatasannya.
Invasi Ankara itu membahayakan sekitar 25 anggota pasukan khusus AS yang telah menjalankan patroli bersama dengan Turki di timur laut Suriah. Pasukan Rusia dan Suriah juga bergegas maju untuk mengisi kekosongan wilayah yang ditinggalkan pasukan Amerika.
Hoffman mendesak Turki untuk mengubah arah. "Turki akan lebih baik bekerja dengan AS dan NATO daripada pergi ke arah yang berbeda," ujarnya.
Menanggapi pembelian S-400 Rusia, AS telah melarang Turki membeli jet tempur siluman F-35. Turki juga akan kehilangan pekerjaan sebagai produsen beberapa suku cadang F-35 karena dikeluarkan dari program konsorsium bersama F-35 oleh Washington.
Tak hanya itu, Washington juga mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap sekutu NATO-nya tersebut. Kendati demikian, pemerintahan Donald Trump telah menunda menjatuhkan sanksi kepada Ankara. Sanksi-sanksi yang akan dijatuhkan berdasarkan Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi atau CAATSA. UU itu ditujukan untuk negara-negara yang melakukan bisnis dengan sektor pertahanan Rusia.
Pada hari Rabu, Kongres Amerika mendesak pemberlakuan CAATSA terhadap Turki ketika Komite Hubungan Luar Negeri Senat secara mayoritas setuju untuk menjatuhkan sanksi kepada Ankara.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu merespons dengan mengancam akan membalas AS. Menurutnya, pasukan AS akan diusir dari Pangkalan Udara Incirlik dan Stasiun Radar Kurecik di Turki jika sanksi benar-benar dijatuhkan pemerintah Trump.
"Baik Incirlik dan Kurecik mungkin datang ke agenda kami... (tetapi) kami tidak ingin berbicara tentang skenario buruk atas asumsi," kata Cavusoglu, yang dilansir Anadolu.
(mas)