Sistem Rudal S-400 Rusia Ganggu Dominasi Penjualan Senjata AS
A
A
A
WASHINGTON - Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) untuk Urusan Militer Politik Clarke Cooper mencibir pemasaran sistem pertahanan rudal S-400 Rusia ke negara-negara mitra Washington. Dia mengindikasikan bahwa penjualan senjata pertahanan canggih Moskow itu telah mengganggu dominasi global penjualan senjata Washington.
Komentar Cooper disampaikan saat dia berbicara di Meridian International Center, sebuah kelompok think-tank yang berbasis di Washington pada hari Kamis.
"Melalui pemasaran sistem yang ditargetkan seperti S-400, Rusia berupaya untuk mengeksploitasi persyaratan keamanan asli dari (negara) mitra untuk menciptakan tantangan dalam kemampuan kami— hukum dan teknologi—untuk memberi mereka kemampuan pertahanan paling canggih," katanya.
Cooper mengidentifikasi China dan Rusia sebagai pesaing strategis yang upayanya mengarah pada proliferasi senjata di seluruh dunia.
"Kami telah menempuh perjalanan panjang sejak AK-47 menjadi simbol di mana-mana pemberontakan yang didukung Soviet dari Asia Tenggara hingga Afrika," ujar Cooper, seperti dikutip Sputniknews, Jumat (1/11/2019).
"Hari ini, Rusia bekerja keras untuk memasarkan varian dari sistem pertahanan udara S-400 di seluruh dunia, sementara China memasok segala sesuatu dari pengangkut personel lapis baja hingga drone bersenjata," lanjut Cooper.
"Saya berdiri di hadapan Anda pada saat yang sangat sulit untuk kemitraan Amerika," kata Cooper. "Untuk pertama kalinya, mungkin sejak akhir Perang Dingin, banyak negara memandang bermitra dengan Amerika dalam masalah pertahanan dan keamanan bukan sebagai keharusan, tetapi sebagai salah satu dari beberapa opsi," imbuh dia.
Beberapa negara termasuk sekutu AS memang membeli sistem pertahanan S-400 meski Washington telah mengancam akan menjatuhkan sanksi melalui undang-undang yang bernama Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).
Turki, yang merupakan sekutu AS di keanggotaan NATO, telah menerima pasokan S-400 dari Moskow. Sedangkan India yang dianggap Washington sebagai negara mitra, telah membayar uang muka dan saat ini sedang menanti pengiriman senjata pertahanan tersebut. Sekutu AS lainnya, seperti Arab Saudi dan Qatar juga masih dalam penjajakan untuk membeli senjata tersebut.
Komentar Cooper disampaikan saat dia berbicara di Meridian International Center, sebuah kelompok think-tank yang berbasis di Washington pada hari Kamis.
"Melalui pemasaran sistem yang ditargetkan seperti S-400, Rusia berupaya untuk mengeksploitasi persyaratan keamanan asli dari (negara) mitra untuk menciptakan tantangan dalam kemampuan kami— hukum dan teknologi—untuk memberi mereka kemampuan pertahanan paling canggih," katanya.
Cooper mengidentifikasi China dan Rusia sebagai pesaing strategis yang upayanya mengarah pada proliferasi senjata di seluruh dunia.
"Kami telah menempuh perjalanan panjang sejak AK-47 menjadi simbol di mana-mana pemberontakan yang didukung Soviet dari Asia Tenggara hingga Afrika," ujar Cooper, seperti dikutip Sputniknews, Jumat (1/11/2019).
"Hari ini, Rusia bekerja keras untuk memasarkan varian dari sistem pertahanan udara S-400 di seluruh dunia, sementara China memasok segala sesuatu dari pengangkut personel lapis baja hingga drone bersenjata," lanjut Cooper.
"Saya berdiri di hadapan Anda pada saat yang sangat sulit untuk kemitraan Amerika," kata Cooper. "Untuk pertama kalinya, mungkin sejak akhir Perang Dingin, banyak negara memandang bermitra dengan Amerika dalam masalah pertahanan dan keamanan bukan sebagai keharusan, tetapi sebagai salah satu dari beberapa opsi," imbuh dia.
Beberapa negara termasuk sekutu AS memang membeli sistem pertahanan S-400 meski Washington telah mengancam akan menjatuhkan sanksi melalui undang-undang yang bernama Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).
Turki, yang merupakan sekutu AS di keanggotaan NATO, telah menerima pasokan S-400 dari Moskow. Sedangkan India yang dianggap Washington sebagai negara mitra, telah membayar uang muka dan saat ini sedang menanti pengiriman senjata pertahanan tersebut. Sekutu AS lainnya, seperti Arab Saudi dan Qatar juga masih dalam penjajakan untuk membeli senjata tersebut.
(mas)