Singapura Bangun Jantung Kota Menuju Bawah Tanah
A
A
A
SINGAPURA - Lahan terbatas dan semakin tingginya kesadaran terhadap kesehatan lingkungan membuat manusia berinovasi tak terbatas. Kini sejumlah negara tengah mengembangkan kota-kota bawah tanah demi menciptakan hidup yang lebih berkualitas.
Di antara negara yang menyiapkan sangat matang rencana kota bawah tanah adalah Singapura. Negara yang sangat berdekatan dengan Indonesia ini kini hanya memiliki seluas 693 kilometer persegi. Sementara itu pada 2030 mendatang, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 6,9 juta jiwa.
Dengan jumlah tersebut, Singapura berpikir keras agar penduduknya bisa hidup lebih nyaman dan sehat. Membuat kota bawah tanah dengan bertingkat-tingkat pun akhirnya menjadi pilihan. Di atas kertas, sebagian fasilitas akan dipindahkan, terutama utilitas, gudang, transportasi, amunisi, dan industri. Singapura pun telah mengadopsi beberapa konsep fasilitas bawah tanah dari negara lain yang dinilai berhasil.
Untuk penataan transportasi kereta bawah tanah misalnya, Singapura mengambil konsep dari Seoul ynag dinilai berjalan baik. Demikina pula penataan jalan raya meniru Tokyo yang mampu mengurangi polusi udaranya.
Adapun konsep penataan infrastruktur transportasi, parkir mobil dan sistem air bawah tanah mengadops Hong Kong dan Helsinki. Dari Montreal Kanada, Singapura meniru konsep pedestriannya di bawah tanah.
Saat ini jumlah penduduk Singapura sekitar 5,6 juta jiwa dan terancam akan mengalami krisis lahan sekalipun sudah diantisipasi melalui gedung vertikal. Selama beberapa dekade terakhir, Singapura juga berupaya mengatasi isu tersebut dengan membangun pulau reklamasi. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil maksimal.
Sebenarnya Singapura juga sudah terlebih dahulu memindahkan beberapa infrastruktur dan utilitas ke bawah tanah. Di antaranya ialah kereta api, ritel, jalan trotoar, jalan raya, dan pipa pendingin air conditioner (AC). Sebagian pipa minyak dan gas serta perlengkapan militer juga sudah ada di bawah tanah. Namun langkah tersebut belum cukup.
Berdasarkan hasil studi, tingkat kepadatan kereta api bawah tanah Singapura berada sedikit di belakang Tokyo. Setengah dari panjang rel kereta api Singapura yang mencapai 180 kilometer juga terletak di bawah tanah. Selain itu, tingkat kepadatan jalan raya bawah tanah Singapura mendekati Hong Kong dan Tokyo.
“Dengan keterbatasan lahan, kami perlu memanfaatkan lahan itu sebaik-baiknya demi kebaikan bersama dan secara sistematis mempertimbangkan bagaimana cara mengolah ruang bawah tanah agar berguna di masa depan,” ujar Direktur Urban Redevelopment Authotiy (URA) Ler Seng Ann, dikutip Reuters.
Para ahli mengatakan, pemindahan itu tidak hanya didorong kekurangan lahan, tapi juga cuaca ekstrem. Beberapa tahun terakhir, tingkat panas, kelembaban, dan curah hujan di Singapura berubah-ubah secara tidak menentu. Dalam kondisi itu, jaringan utilitas rentan mengalami kerusakan sehingga perlu segera direlokasi.
Pemindahan penyimpanan minyak dan gas di bawah tanah juga diperkirakan akan membebaskan lahan seluas 60 hektare atau sebanyak 84 lapangan sepak bola di wilayah permukaan. Dalam banyak kasus, kata Ann, proyek bawah tanah selalu memberikan keuntungan di Singapura, tak terkecuali terhadap lingkungan. “Pembangunan di bawah tanah tidak hanya membebaskan lahan di permukaan, tapi juga meningkatkan kualitas lingkungan dan memperbaiki konektivitas,” ujar Ann.
Dia menambahkan, jaringan mass rapid transit (MRT) dan jalur expressway merupakan dua contoh yang memberikan keuntungan, baik secara biaya ataupun teknis. Singapura merupakan negara dengan ruang penghijauan publik terbaik di dunia. Di bawah Land Use Plan 2030, hanya sekitar sepertiga lahan yang dialokasikan untuk industri, transportasi, dan utilitas. Pada 2015, Singapura juga mengubah aturan yang membatasi kepemilikan tanah hanya 30 meter di bawah tanah.
Sesuai Underground Master Plan 2019, Singapura berkeinginan lebih banyak menggunakan ruang bawah tanah untuk utilitas, gudang, transportasi, dan industri sehingga lahan di permukaan dapat digunakan untuk perumahan, perkantoran, ruang publik, dan penghijauan guna meningkatkan kualitas hidup.
Namun URA menyatakan saat ini kemungkinan besar akan terlebih dahulu mengeksekusi proyek uji coba sebelum rencana utama. Di dalam Underground Master Plan 2019, beberapa proyek uji coba yang dimaksud ialah pembangunan pusat data, utilitas, gudang, halte bus, dan sistem saluran pembuangan air kotor.
Pernyataan URA bukan tanpa alasan. Pembangunan di bawah tanah secara umum memerlukan biaya yang lebih besar dan teknik lebih rumit bila dibandingkan dengan di permukaan tanah. Dengan demikian Singapura hanya membangun ruang yang praktis dan dapat berfungsi secara maksimal, terutama bagi kepentingan rakyat.
Insinyur senior firma konsultan Arup, Peter Stones, mengatakan Singapura merupakan satu dari sedikit kota yang memetakkan ruang sub-terranean sebagai wilayah alternatif. Sejauh ini, ruang bawah tanah bukan ruang utama kehidupan manusia sehingga menjadi proyek liar dan dapat memiliki risiko di luar dugaan.
“Secara global, ruang bawah tanah masih berada di luar pemikiran kita. Ini merupakan pembangunan langka,” ujar Stones yang turut melakukan studi perbandingan ruang bawah tanah di berbagai negara.
Menurut dia, Singapura memiliki rencana baik dan diharapkan dapat mengelola ruang bawah tanpa menimbulkan konflik.
Berdasarkan estimasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 70% penduduk dunia diramalkan tinggal di wilayah perkotaan pada 2050. Di negara berkembang, dampaknya besar. Selain memerlukan infrastruktur dan sumber daya alam (SDA) memadai, konflik perebutan tanah juga disebut akan kian intens.
Hal yang sama juga akan berlaku di negara maju. “Dengan meningkatnya penduduk urban dan tuntutan kualitas hidup yang lebih baik, kita mungkin dapat mengambil opsi integrasi menuju ruang bawah tanah agar kota kita tetap dapat dihuni,” kata Wout Broere, asisten profesor di Universitas Teknologi Holland Delft.
Kota bawah tanah bukanlah fenomena baru. Keberadaannya sudah ada sejak masa lampau, mulai dari katakombe Kerajaan Romawi hingga bunker Perang Dunia II. Helsinki di Finlandia dan Montreal di Kanada merupakan kota terdepan dalam perihal urbanisme bawah tanah. Teknik dan teknologinya dikenal amat inovatif.
Helsinki memiliki kota bawah tanah yang terdiri atas stasiun kereta api, subway, tempat parkir, dan pusat perbelanjaan enam lantai. Stasiun metro Kamppi bahkan terintegrasi dengan Kamppi Center melalui jalur jalan raya sepanjang 55 ribu meter. Tempat itu juga tersambung dengan mal Sokos dan Stockmann.
Sementara itu, di Kanada, sedikitnya terdapat 10 kota yang memiliki kota bawah tanah, mulai dari Edmonton hingga Charlottetown. Namun kota bawah paling terkenal terletak di Montreal karena memiliki terowongan sepanjang 32 kilometer. Di sepanjang terowongan terdapat 2.000 toko dan 40 bioskop. (Muh Shamil)
Di antara negara yang menyiapkan sangat matang rencana kota bawah tanah adalah Singapura. Negara yang sangat berdekatan dengan Indonesia ini kini hanya memiliki seluas 693 kilometer persegi. Sementara itu pada 2030 mendatang, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 6,9 juta jiwa.
Dengan jumlah tersebut, Singapura berpikir keras agar penduduknya bisa hidup lebih nyaman dan sehat. Membuat kota bawah tanah dengan bertingkat-tingkat pun akhirnya menjadi pilihan. Di atas kertas, sebagian fasilitas akan dipindahkan, terutama utilitas, gudang, transportasi, amunisi, dan industri. Singapura pun telah mengadopsi beberapa konsep fasilitas bawah tanah dari negara lain yang dinilai berhasil.
Untuk penataan transportasi kereta bawah tanah misalnya, Singapura mengambil konsep dari Seoul ynag dinilai berjalan baik. Demikina pula penataan jalan raya meniru Tokyo yang mampu mengurangi polusi udaranya.
Adapun konsep penataan infrastruktur transportasi, parkir mobil dan sistem air bawah tanah mengadops Hong Kong dan Helsinki. Dari Montreal Kanada, Singapura meniru konsep pedestriannya di bawah tanah.
Saat ini jumlah penduduk Singapura sekitar 5,6 juta jiwa dan terancam akan mengalami krisis lahan sekalipun sudah diantisipasi melalui gedung vertikal. Selama beberapa dekade terakhir, Singapura juga berupaya mengatasi isu tersebut dengan membangun pulau reklamasi. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil maksimal.
Sebenarnya Singapura juga sudah terlebih dahulu memindahkan beberapa infrastruktur dan utilitas ke bawah tanah. Di antaranya ialah kereta api, ritel, jalan trotoar, jalan raya, dan pipa pendingin air conditioner (AC). Sebagian pipa minyak dan gas serta perlengkapan militer juga sudah ada di bawah tanah. Namun langkah tersebut belum cukup.
Berdasarkan hasil studi, tingkat kepadatan kereta api bawah tanah Singapura berada sedikit di belakang Tokyo. Setengah dari panjang rel kereta api Singapura yang mencapai 180 kilometer juga terletak di bawah tanah. Selain itu, tingkat kepadatan jalan raya bawah tanah Singapura mendekati Hong Kong dan Tokyo.
“Dengan keterbatasan lahan, kami perlu memanfaatkan lahan itu sebaik-baiknya demi kebaikan bersama dan secara sistematis mempertimbangkan bagaimana cara mengolah ruang bawah tanah agar berguna di masa depan,” ujar Direktur Urban Redevelopment Authotiy (URA) Ler Seng Ann, dikutip Reuters.
Para ahli mengatakan, pemindahan itu tidak hanya didorong kekurangan lahan, tapi juga cuaca ekstrem. Beberapa tahun terakhir, tingkat panas, kelembaban, dan curah hujan di Singapura berubah-ubah secara tidak menentu. Dalam kondisi itu, jaringan utilitas rentan mengalami kerusakan sehingga perlu segera direlokasi.
Pemindahan penyimpanan minyak dan gas di bawah tanah juga diperkirakan akan membebaskan lahan seluas 60 hektare atau sebanyak 84 lapangan sepak bola di wilayah permukaan. Dalam banyak kasus, kata Ann, proyek bawah tanah selalu memberikan keuntungan di Singapura, tak terkecuali terhadap lingkungan. “Pembangunan di bawah tanah tidak hanya membebaskan lahan di permukaan, tapi juga meningkatkan kualitas lingkungan dan memperbaiki konektivitas,” ujar Ann.
Dia menambahkan, jaringan mass rapid transit (MRT) dan jalur expressway merupakan dua contoh yang memberikan keuntungan, baik secara biaya ataupun teknis. Singapura merupakan negara dengan ruang penghijauan publik terbaik di dunia. Di bawah Land Use Plan 2030, hanya sekitar sepertiga lahan yang dialokasikan untuk industri, transportasi, dan utilitas. Pada 2015, Singapura juga mengubah aturan yang membatasi kepemilikan tanah hanya 30 meter di bawah tanah.
Sesuai Underground Master Plan 2019, Singapura berkeinginan lebih banyak menggunakan ruang bawah tanah untuk utilitas, gudang, transportasi, dan industri sehingga lahan di permukaan dapat digunakan untuk perumahan, perkantoran, ruang publik, dan penghijauan guna meningkatkan kualitas hidup.
Namun URA menyatakan saat ini kemungkinan besar akan terlebih dahulu mengeksekusi proyek uji coba sebelum rencana utama. Di dalam Underground Master Plan 2019, beberapa proyek uji coba yang dimaksud ialah pembangunan pusat data, utilitas, gudang, halte bus, dan sistem saluran pembuangan air kotor.
Pernyataan URA bukan tanpa alasan. Pembangunan di bawah tanah secara umum memerlukan biaya yang lebih besar dan teknik lebih rumit bila dibandingkan dengan di permukaan tanah. Dengan demikian Singapura hanya membangun ruang yang praktis dan dapat berfungsi secara maksimal, terutama bagi kepentingan rakyat.
Insinyur senior firma konsultan Arup, Peter Stones, mengatakan Singapura merupakan satu dari sedikit kota yang memetakkan ruang sub-terranean sebagai wilayah alternatif. Sejauh ini, ruang bawah tanah bukan ruang utama kehidupan manusia sehingga menjadi proyek liar dan dapat memiliki risiko di luar dugaan.
“Secara global, ruang bawah tanah masih berada di luar pemikiran kita. Ini merupakan pembangunan langka,” ujar Stones yang turut melakukan studi perbandingan ruang bawah tanah di berbagai negara.
Menurut dia, Singapura memiliki rencana baik dan diharapkan dapat mengelola ruang bawah tanpa menimbulkan konflik.
Berdasarkan estimasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 70% penduduk dunia diramalkan tinggal di wilayah perkotaan pada 2050. Di negara berkembang, dampaknya besar. Selain memerlukan infrastruktur dan sumber daya alam (SDA) memadai, konflik perebutan tanah juga disebut akan kian intens.
Hal yang sama juga akan berlaku di negara maju. “Dengan meningkatnya penduduk urban dan tuntutan kualitas hidup yang lebih baik, kita mungkin dapat mengambil opsi integrasi menuju ruang bawah tanah agar kota kita tetap dapat dihuni,” kata Wout Broere, asisten profesor di Universitas Teknologi Holland Delft.
Kota bawah tanah bukanlah fenomena baru. Keberadaannya sudah ada sejak masa lampau, mulai dari katakombe Kerajaan Romawi hingga bunker Perang Dunia II. Helsinki di Finlandia dan Montreal di Kanada merupakan kota terdepan dalam perihal urbanisme bawah tanah. Teknik dan teknologinya dikenal amat inovatif.
Helsinki memiliki kota bawah tanah yang terdiri atas stasiun kereta api, subway, tempat parkir, dan pusat perbelanjaan enam lantai. Stasiun metro Kamppi bahkan terintegrasi dengan Kamppi Center melalui jalur jalan raya sepanjang 55 ribu meter. Tempat itu juga tersambung dengan mal Sokos dan Stockmann.
Sementara itu, di Kanada, sedikitnya terdapat 10 kota yang memiliki kota bawah tanah, mulai dari Edmonton hingga Charlottetown. Namun kota bawah paling terkenal terletak di Montreal karena memiliki terowongan sepanjang 32 kilometer. Di sepanjang terowongan terdapat 2.000 toko dan 40 bioskop. (Muh Shamil)
(nfl)