Mengenang 16 Tahun Rachel Corrie Dibuldoser Israel
A
A
A
GAZA - Hari ini (16/3/2019) adalah tepat 16 tahun aktivis cantik Amerika Serikat (AS), Rachel Alience Corrie, meninggal setelah tubuhnya digilas buldoser lapis baja Israel. Pada 16 Maret 2003 silam, dia begitu heroik mengadang buldoser rezim Zionis ketika menghancurkan rumah-rumah warga Rafah, Jalur Gaza, Palestina.
Dia bukan pejuang Fattah, Hamas, Sunni, juga bukan Syiah. Dia bahkan gadis keturunan Yahudi, asal Olympia, Washington, Amerika Serikat (AS). Tapi, namanya abadi sebagai pahlawan rakyat Palestina.
Setelah 16 tahun berlalu, pemerintah AS tetap diam tanpa memperjuangkan keadilan bagi warganya tersebut. Perjuangan keluarga Corrie untuk menuntut rezim Israel di berbagai pengadilan selalu kandas.
Aktivis muda dan mahasiswi Amerika ini meninggal di tangan pasukan pertahanan Israel (IDF) yang kejam. Usianya saat itu baru 23 tahun. Tapi, di usia sangat muda itu, dia sudah berani berhadapan dengan pasukan Israel demi orang-orang Palestina yang ditindas.
Orang pertama Palestina yang menyematkan gelar pahlawan untuk Corrie adalah almarhum Yasser Arafat, mantan pemimpin Palestina. Saat Corrie mengembuskan napas terakhir, Arafat mengontak orangtuanya di Washington, Craig dan Cindy Corrie, untuk memberitahu bahwa putri mereka menjadi martir sekaligus pahlawan Palestina.
Corrie sejak masih kecil sudah menonjol. Videonya yang pidato tanpa naskah di depan para siswa cukup mencengangkan. Isi pidatonya bukan tentang imajinasi anak-anak, tapi berisi pesan-pesan moral dan sosial.
Dia menjadi aktivis muda di kelompok International Solidarity Movement (ISM) atau Gerakan Solodaritas Internasional. Berkat Corrie, kelompok ini menginsipirasi anak-anak muda dari berbagai negara di dunia untuk bergerak menolong Palestina. Salah satunya adalah anak-anak muda yang tewas dalam tragedi kapal Mavi Marmara, beberapa tahun lalu.
Saban 16 Maret, para aktivis dan seniman rutin menggelar pentas teater tentang detik-detik kematian Corrie. Selain abadi sebagai nama pahlawan Palestina, nama Corrie juga sudah lama diabadikan sebagai yayasan sosial yang digerakkan orangtuanya untuk menolong orang-orang tertindas.
Kematian Corrie adalah “tamparan” bagi AS yang selama ini sesumbar memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Alih-alih memperjuangkan HAM, AS selama 16 tahun terakhir ini bungkam untuk membela warganya sendiri yang tewas dibuldoser Israel. Gagal di negaranya sendiri, orangtua Corrie menggugat pembunuh putrinya ke pengadilan di Israel. Tapi, hasilnya jauh dari memuaskan.
Corrie datang ke Gaza, selain menjalankan misinya sebagai aktivis ISM, juga mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Sejak tiba di Rafah, Corrie kerap mengontak ibunya untuk menceritakan penderitaan bocah-bocah Palestina yang ketakutan mendengar tembakan hingga penggusuran. Bagi Corrie, itu pengalaman nyata yang menyayat hatinya.
Nasibnya tragis. Kurang dari dua bulan setelah kedatangannya di Gaza, aktivis cantik itu meninggal dibunuh pasukan IDF dengan buldoser.
Pasukan rezim Israel kala itu berdalih tidak melihat Corrie karena pandangan terganggu. Tapi, dalih itu janggal, sebab Corrie sudah melambaikan tangan dan berteriak memohon untuk menghentikan laju buldoser. Penyelidikan militer Israel juga menyimpulkan kematian Corrie sebagai kecelakaan. Kesimpulan ini yang menyedihkan orangtuanya dan para aktivis pro-Palestina.
Kelompok-kelompok HAM, seperti Amnesty International, Human Right Watch, B’Tselem dan Yesh Din, mengecam penyelidikan militer Israel atas kematian Corrie.
Pada tahun 2005, Craig dan Cindy Corrie mengajukan gugatan perdata terhadap negara Israel. Gugatan diajukan karena Israel tidak melakukan penyelidikan penuh dan kredibel dalam kasus kematian putri mereka. Orangtua Corrie meyakini putri mereka sengaja dibunuh oleh tentara Israel yang sembrono.
Pada bulan Agustus 2012, sebuah pengadilan Israel menolak gugatan orangtua Corrie. Pengadilan Israel justru menjunjung tinggi hasil investigasi militer tahun 2003. Ironisnya, pengadilan memutuskan bahwa Pemerintah Israel tidak bertanggung jawab atas kematian Corrie.
Keputusan pengadilan itu dikecam kelompok-kelompok HAM dunia. Namun, pemerintah AS tidak bersuara. Orangtua Corrie mengajukan banding terhadap putusan pengadilan Israel bulan Agustus 2012. Lagi-lagi, Mahkamah Agung Israel pada 14 Februari 2015 menolak banding mereka.
Pada tahun 2005 drama perempuan bertajuk “My Name Is Rachel Corrie” dipentaskan di Royal Court Theater London. Sambutannya luar biasa. Pada bulan April 2015, drama ini dipentaskan Off Broadway di East Village, New York, yang juga disambut antusias.
Sebuah kota di Ramallah, Tepi Barat, secara khusus menjadikan nama Rachel Corrie sebagai nama jalan. Nama aktivis ini juga abadi di sebuah batu nisan simbolik di pemakaman Teheran, Iran.
Biografi
Rachel Aliene Corrie
Lahir: 10 April 1979, di Olympia, Washington, AS.
Aktivitas: Mahasiswi The Evergreen State College dan aktivis ISM.
Meninggal: 16 Maret 2003, di usia 23 tahun di Rafah, Jalur Gaza.
Penyebab: Dihantam buldoser lapis baja Israel saat mencegah penggusuran rumah penduduk Palestina.
Sumber: Diolah SINDOnews.com dari biografi Corrie dan sumber lainnya.
Dia bukan pejuang Fattah, Hamas, Sunni, juga bukan Syiah. Dia bahkan gadis keturunan Yahudi, asal Olympia, Washington, Amerika Serikat (AS). Tapi, namanya abadi sebagai pahlawan rakyat Palestina.
Setelah 16 tahun berlalu, pemerintah AS tetap diam tanpa memperjuangkan keadilan bagi warganya tersebut. Perjuangan keluarga Corrie untuk menuntut rezim Israel di berbagai pengadilan selalu kandas.
Aktivis muda dan mahasiswi Amerika ini meninggal di tangan pasukan pertahanan Israel (IDF) yang kejam. Usianya saat itu baru 23 tahun. Tapi, di usia sangat muda itu, dia sudah berani berhadapan dengan pasukan Israel demi orang-orang Palestina yang ditindas.
Orang pertama Palestina yang menyematkan gelar pahlawan untuk Corrie adalah almarhum Yasser Arafat, mantan pemimpin Palestina. Saat Corrie mengembuskan napas terakhir, Arafat mengontak orangtuanya di Washington, Craig dan Cindy Corrie, untuk memberitahu bahwa putri mereka menjadi martir sekaligus pahlawan Palestina.
Corrie sejak masih kecil sudah menonjol. Videonya yang pidato tanpa naskah di depan para siswa cukup mencengangkan. Isi pidatonya bukan tentang imajinasi anak-anak, tapi berisi pesan-pesan moral dan sosial.
Dia menjadi aktivis muda di kelompok International Solidarity Movement (ISM) atau Gerakan Solodaritas Internasional. Berkat Corrie, kelompok ini menginsipirasi anak-anak muda dari berbagai negara di dunia untuk bergerak menolong Palestina. Salah satunya adalah anak-anak muda yang tewas dalam tragedi kapal Mavi Marmara, beberapa tahun lalu.
Saban 16 Maret, para aktivis dan seniman rutin menggelar pentas teater tentang detik-detik kematian Corrie. Selain abadi sebagai nama pahlawan Palestina, nama Corrie juga sudah lama diabadikan sebagai yayasan sosial yang digerakkan orangtuanya untuk menolong orang-orang tertindas.
Kematian Corrie adalah “tamparan” bagi AS yang selama ini sesumbar memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Alih-alih memperjuangkan HAM, AS selama 16 tahun terakhir ini bungkam untuk membela warganya sendiri yang tewas dibuldoser Israel. Gagal di negaranya sendiri, orangtua Corrie menggugat pembunuh putrinya ke pengadilan di Israel. Tapi, hasilnya jauh dari memuaskan.
Corrie datang ke Gaza, selain menjalankan misinya sebagai aktivis ISM, juga mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Sejak tiba di Rafah, Corrie kerap mengontak ibunya untuk menceritakan penderitaan bocah-bocah Palestina yang ketakutan mendengar tembakan hingga penggusuran. Bagi Corrie, itu pengalaman nyata yang menyayat hatinya.
Nasibnya tragis. Kurang dari dua bulan setelah kedatangannya di Gaza, aktivis cantik itu meninggal dibunuh pasukan IDF dengan buldoser.
Pasukan rezim Israel kala itu berdalih tidak melihat Corrie karena pandangan terganggu. Tapi, dalih itu janggal, sebab Corrie sudah melambaikan tangan dan berteriak memohon untuk menghentikan laju buldoser. Penyelidikan militer Israel juga menyimpulkan kematian Corrie sebagai kecelakaan. Kesimpulan ini yang menyedihkan orangtuanya dan para aktivis pro-Palestina.
Kelompok-kelompok HAM, seperti Amnesty International, Human Right Watch, B’Tselem dan Yesh Din, mengecam penyelidikan militer Israel atas kematian Corrie.
Pada tahun 2005, Craig dan Cindy Corrie mengajukan gugatan perdata terhadap negara Israel. Gugatan diajukan karena Israel tidak melakukan penyelidikan penuh dan kredibel dalam kasus kematian putri mereka. Orangtua Corrie meyakini putri mereka sengaja dibunuh oleh tentara Israel yang sembrono.
Pada bulan Agustus 2012, sebuah pengadilan Israel menolak gugatan orangtua Corrie. Pengadilan Israel justru menjunjung tinggi hasil investigasi militer tahun 2003. Ironisnya, pengadilan memutuskan bahwa Pemerintah Israel tidak bertanggung jawab atas kematian Corrie.
Keputusan pengadilan itu dikecam kelompok-kelompok HAM dunia. Namun, pemerintah AS tidak bersuara. Orangtua Corrie mengajukan banding terhadap putusan pengadilan Israel bulan Agustus 2012. Lagi-lagi, Mahkamah Agung Israel pada 14 Februari 2015 menolak banding mereka.
Pada tahun 2005 drama perempuan bertajuk “My Name Is Rachel Corrie” dipentaskan di Royal Court Theater London. Sambutannya luar biasa. Pada bulan April 2015, drama ini dipentaskan Off Broadway di East Village, New York, yang juga disambut antusias.
Sebuah kota di Ramallah, Tepi Barat, secara khusus menjadikan nama Rachel Corrie sebagai nama jalan. Nama aktivis ini juga abadi di sebuah batu nisan simbolik di pemakaman Teheran, Iran.
Biografi
Rachel Aliene Corrie
Lahir: 10 April 1979, di Olympia, Washington, AS.
Aktivitas: Mahasiswi The Evergreen State College dan aktivis ISM.
Meninggal: 16 Maret 2003, di usia 23 tahun di Rafah, Jalur Gaza.
Penyebab: Dihantam buldoser lapis baja Israel saat mencegah penggusuran rumah penduduk Palestina.
Sumber: Diolah SINDOnews.com dari biografi Corrie dan sumber lainnya.
(mas)