Maduro Anggap Dirinya seperti Yesus, Peringatkan Trump Berlumur Darah
A
A
A
CARACAS - Presiden Venezuela Nicolas Maduro Moros menganggap dirinya seperti Yesus Kristus ketika berbicara dengan pejabat militer pada hari Minggu waktu Caracas. Dia memperingatkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang akan berlumuran darah jika nekat menginvasi Caracas.
"Saya seorang pekerja seperti Yesus Kristus sang Juru Selamat dan saya adalah seorang Kristen yang berbakti dari hati seorang Kristen kepada Tuhan kita," kata Maduro.
Dia menyerukan kepada militer untuk cinta Tanah Air dengan menjamin persatuan dan kedaulatan negara. Seruan itu dia lontarkan dengan mengutip kata-kata William Shakespeare.
"Menjadi atau tidak menjadi, kata Shakespeare yang agung. Menjadi atau tidak menjadi, ini adalah dilema hari ini. Menjadi tanah air atau menjadi koloni. Menjadi Venezuela atau tidak menjadi apa-apa. Menjadi rakyat yang bersatu dan kekuatan bersenjata atau disintegrasi, untuk menjadi masa depan atau mimpi yang hilang yang berusia lebih dari 200 tahun," kata Maduro.
Presiden penerus Hugo Chavez ini kemudian memperingatkan siapa pun yang mencoba untuk melemahkan Venezuela karena bisa memicu perang saudara. Dia mengendaki perdamaian, bukan intervensi militer di negaranya.
Pernyataan itu muncul setelah wawancara Maduro dengan program berita Spanyol, Salvados, di mana dia secara khusus memperingatkan Donald Trump tentang konsekuensi yang jauh lebih parah jika Presiden AS itu nekat menginvasi Venezuela untuk menggulingkannya.
"Stop. Stop, Trump! Tahan di sana! Anda membuat kesalahan yang akan membuat tangan Anda berlumuran darah dan Anda akan meninggalkan kepresidenan yang berlumuran darah. Mengapa Anda ingin mengulang (perang) Vietnam?," kata Maduro, dikutip Sputnik, Senin (4/2/2019).
Pada hari Minggu, Trump mengatakan dalam sebuah wawancara dengan CBS bahwa intervensi militer AS di Venezuela tetap menjadi opsi. Menteri Luar Negeri Venezuela Jorge Arreaza menggambarkan pernyataan Trump itu sebagai bukti bahwa Washington berada di belakang upaya untuk melakukan kudeta di negara Amerika Latin tersebut.
"(Presiden AS) Donald Trump menegaskan bahwa ia memimpin kudeta negara ketika ia mengancam akan menggunakan kekuatan militer lagi, melanggar Piagam PBB. Oposisi Venezuela dikendalikan oleh Trump," kata Arreaza.
Wakil Presiden Venezuela Delcy Rodriguez juga mengutuk pernyataan Trump. Dia menekankan bahwa rakyat Venezuela tidak akan mengizinkan campur tangan asing dalam krisis politik di negaranya.
Krisis politik di Venezuela semakin parah ketika Juan Guaido, pemimpin oposisi yang menjadi Ketua Majelis Nasional, menyatakan dirinya sebagai presiden sementara negara itu pada 23 Januari.
Deklarasi itu didukung oleh Amerika Serikat, sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan beberapa negara Uni Eropa. Sedangkan Rusia, China, Meksiko, Turki, Iran dan beberapa negara lainnya mendukung Presiden Nicolas Maduro yang terpilih secara konstitusional dalam pemilu 2018.
"Saya seorang pekerja seperti Yesus Kristus sang Juru Selamat dan saya adalah seorang Kristen yang berbakti dari hati seorang Kristen kepada Tuhan kita," kata Maduro.
Dia menyerukan kepada militer untuk cinta Tanah Air dengan menjamin persatuan dan kedaulatan negara. Seruan itu dia lontarkan dengan mengutip kata-kata William Shakespeare.
"Menjadi atau tidak menjadi, kata Shakespeare yang agung. Menjadi atau tidak menjadi, ini adalah dilema hari ini. Menjadi tanah air atau menjadi koloni. Menjadi Venezuela atau tidak menjadi apa-apa. Menjadi rakyat yang bersatu dan kekuatan bersenjata atau disintegrasi, untuk menjadi masa depan atau mimpi yang hilang yang berusia lebih dari 200 tahun," kata Maduro.
Presiden penerus Hugo Chavez ini kemudian memperingatkan siapa pun yang mencoba untuk melemahkan Venezuela karena bisa memicu perang saudara. Dia mengendaki perdamaian, bukan intervensi militer di negaranya.
Pernyataan itu muncul setelah wawancara Maduro dengan program berita Spanyol, Salvados, di mana dia secara khusus memperingatkan Donald Trump tentang konsekuensi yang jauh lebih parah jika Presiden AS itu nekat menginvasi Venezuela untuk menggulingkannya.
"Stop. Stop, Trump! Tahan di sana! Anda membuat kesalahan yang akan membuat tangan Anda berlumuran darah dan Anda akan meninggalkan kepresidenan yang berlumuran darah. Mengapa Anda ingin mengulang (perang) Vietnam?," kata Maduro, dikutip Sputnik, Senin (4/2/2019).
Pada hari Minggu, Trump mengatakan dalam sebuah wawancara dengan CBS bahwa intervensi militer AS di Venezuela tetap menjadi opsi. Menteri Luar Negeri Venezuela Jorge Arreaza menggambarkan pernyataan Trump itu sebagai bukti bahwa Washington berada di belakang upaya untuk melakukan kudeta di negara Amerika Latin tersebut.
"(Presiden AS) Donald Trump menegaskan bahwa ia memimpin kudeta negara ketika ia mengancam akan menggunakan kekuatan militer lagi, melanggar Piagam PBB. Oposisi Venezuela dikendalikan oleh Trump," kata Arreaza.
Wakil Presiden Venezuela Delcy Rodriguez juga mengutuk pernyataan Trump. Dia menekankan bahwa rakyat Venezuela tidak akan mengizinkan campur tangan asing dalam krisis politik di negaranya.
Krisis politik di Venezuela semakin parah ketika Juan Guaido, pemimpin oposisi yang menjadi Ketua Majelis Nasional, menyatakan dirinya sebagai presiden sementara negara itu pada 23 Januari.
Deklarasi itu didukung oleh Amerika Serikat, sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan beberapa negara Uni Eropa. Sedangkan Rusia, China, Meksiko, Turki, Iran dan beberapa negara lainnya mendukung Presiden Nicolas Maduro yang terpilih secara konstitusional dalam pemilu 2018.
(mas)