79 Murid Sekolah Kamerun yang Diculik Dibebaskan
A
A
A
YAOUNDE - Sebanyak 79 murid sekolah yang diculik oleh kelompok bersenjata pekan ini di sebuah wilayah Kamerun telah dibebaskan. Hal itu dikatakan oleh menteri komunikasi negara itu.
Penculikan yang terjadi pada awal pekan ini itu adalah penculikan massal pertama yang terjadi di Kamerun. Peristiwa itu bertepatan dengan meningkatnya ketegangan politik di negara yang mayoritas berbahasa Perancis.
"Semua 79 siswa telah dibebaskan," kata Menteri Komunikasi Kamerun, Issa Bakary Tchiroma, tanpa memberikan rincian tentang keadaan di mana mereka dibebaskan seperti dikutip dari AFP, Kamis (8/11/2018).
Para siswa itu berasal dari Sekolah Menengah Presbiterian di Bamenda, Ibu Kota daerah Barat Laut Kamerun. Daerah itu adalah salah satu dari dua daerah di mana gelombang militan separatis berbahasa Inggris berhadapan dengan tindakan keras pihak berwenang.
Para siswa itu diculik dengan tiga anggota staf sekolah, tetapi Tchiroma mengatakan nasib mereka belum jelas.
Para siswa itu dibebaskan sehari setelah Presiden Paul Biya disumpah untuk masa jabatan ketujuhnya.
Sebelumnya, sebuah video berdurasi enam menit menunjukkan 11 anak laki-laki yang tampaknya berusia 15 tahun memberitahu identitas dan nama sekolah mereka dalam bahasa Inggris. Mereka menambahkan telah diculik oleh Amba Boys. Namun, video tersebut tidak dapat dikonfirmasi secara independen.
Biya telah berjanji untuk melanjutkan kebijakan desentralisasi untuk mengatasi frustrasi dan aspirasi di wilayah berbahasa Inggris, pengakuan publik pertamanya tentang kebencian yang telah tumpah di wilayah berbahasa Inggris di negara-negara Barat Laut dan Wilayah Barat Daya Kamerun yang berdekatan.
Pada 2016, kemarahan pada diskriminasi yang dirasakan dalam pendidikan, peradilan dan ekonomi memicu tuntutan untuk otonomi di wilayah yang berbahasa Inggris.
Namun, Biya menolak konsesi dan setahun kemudian, kaum radikal mengumumkan negara merdeka - "Republik Ambazonia" - mengangkat senjata segera setelahnya.
Pasukan separatis sejak itu menyerang pasukan dan polisi, memboikot dan membakar sekolah-sekolah dan menyerang simbol-simbol negara lainnya, yang memicu penumpasan resmi yang brutal.
Pada awal tahun sekolah bulan September, beberapa sekolah menengah diserang, seorang kepala sekolah tewas dan seorang guru dimutilasi.
Setidaknya 400 warga sipil dan lebih dari 175 anggota pasukan keamanan telah tewas dalam tahun ini hingga September, menurut jumlah korban yang dikumpulkan oleh organisasi non-pemerintah.
Lebih dari 300 ribu lainnya telah melarikan diri dari tindakan kekerasan, beberapa menyeberang ke Nigeria yang berdekatan.
Sekitar seperlima dari 22 juta penduduk Kamerun berbahasa Inggris - minoritas yang kehadirannya berasal dari masa kolonial.
Penculikan yang terjadi pada awal pekan ini itu adalah penculikan massal pertama yang terjadi di Kamerun. Peristiwa itu bertepatan dengan meningkatnya ketegangan politik di negara yang mayoritas berbahasa Perancis.
"Semua 79 siswa telah dibebaskan," kata Menteri Komunikasi Kamerun, Issa Bakary Tchiroma, tanpa memberikan rincian tentang keadaan di mana mereka dibebaskan seperti dikutip dari AFP, Kamis (8/11/2018).
Para siswa itu berasal dari Sekolah Menengah Presbiterian di Bamenda, Ibu Kota daerah Barat Laut Kamerun. Daerah itu adalah salah satu dari dua daerah di mana gelombang militan separatis berbahasa Inggris berhadapan dengan tindakan keras pihak berwenang.
Para siswa itu diculik dengan tiga anggota staf sekolah, tetapi Tchiroma mengatakan nasib mereka belum jelas.
Para siswa itu dibebaskan sehari setelah Presiden Paul Biya disumpah untuk masa jabatan ketujuhnya.
Sebelumnya, sebuah video berdurasi enam menit menunjukkan 11 anak laki-laki yang tampaknya berusia 15 tahun memberitahu identitas dan nama sekolah mereka dalam bahasa Inggris. Mereka menambahkan telah diculik oleh Amba Boys. Namun, video tersebut tidak dapat dikonfirmasi secara independen.
Biya telah berjanji untuk melanjutkan kebijakan desentralisasi untuk mengatasi frustrasi dan aspirasi di wilayah berbahasa Inggris, pengakuan publik pertamanya tentang kebencian yang telah tumpah di wilayah berbahasa Inggris di negara-negara Barat Laut dan Wilayah Barat Daya Kamerun yang berdekatan.
Pada 2016, kemarahan pada diskriminasi yang dirasakan dalam pendidikan, peradilan dan ekonomi memicu tuntutan untuk otonomi di wilayah yang berbahasa Inggris.
Namun, Biya menolak konsesi dan setahun kemudian, kaum radikal mengumumkan negara merdeka - "Republik Ambazonia" - mengangkat senjata segera setelahnya.
Pasukan separatis sejak itu menyerang pasukan dan polisi, memboikot dan membakar sekolah-sekolah dan menyerang simbol-simbol negara lainnya, yang memicu penumpasan resmi yang brutal.
Pada awal tahun sekolah bulan September, beberapa sekolah menengah diserang, seorang kepala sekolah tewas dan seorang guru dimutilasi.
Setidaknya 400 warga sipil dan lebih dari 175 anggota pasukan keamanan telah tewas dalam tahun ini hingga September, menurut jumlah korban yang dikumpulkan oleh organisasi non-pemerintah.
Lebih dari 300 ribu lainnya telah melarikan diri dari tindakan kekerasan, beberapa menyeberang ke Nigeria yang berdekatan.
Sekitar seperlima dari 22 juta penduduk Kamerun berbahasa Inggris - minoritas yang kehadirannya berasal dari masa kolonial.
(ian)