Indonesia Desak Status Kewarganegaraan Rohingya di IPU
A
A
A
JENEWA - Isu pengungsi masih menjadi salah satu bahasan utama yang dibicarakan dalam Sidang Parlemen Sedunia (Inter-Parliamentary Union/IPU) ke-139 yang tengah berlangsung di Jenewa. Anggota Delegasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Rofi Munawar secara tegas mendesak negara-negara yang menjadi pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 agar segera menuntaskan persoalan pengungsi, terutama terkait isu Rohingya.
“Indonesia bukan merupakan negara pihak dalam Konvensi 1951. Namun kita telah melaksanakan prinsip-prinsip yang terdapat dalam konvensi tersebut. Indonesia atas dasar kemanusiaan membuka akses bagi para pengungsi Rohingya, sementara Australia yang jelas-jelas merupakan negara pihak, malah mengesampingkan tanggung jawabnya dan menolak kedatangan pengungsi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena Indonesia mulai kewalahan dan terkena dampak dari arus pengungsi Rohingya,” jelas Rofi dalam rilisnya yang diterima Sindonews, Selasa (16/10/2018).
Wakil Ketua Badan Kerja Sama antar Parlemen (BKSP) ini menambahkan, sebagai negara penampung, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan pengungsi Rohingya, termasuk dalam hal kesehatan, pendidikan, dan aspek-aspek sosial-ekonomi lainnya.
“Penanganan pungungsi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan terus terang Indonesia mulai kewalahan karena kita juga memiliki prioritas dalam penggunaan anggaran negara. Krisis pengungsi ini merupakan hal yang tidak terduga sebelumnya,” kata Rofi.
Dalam pertemuan Komisi Demokrasi dan HAM yang berlangsung pada 15 Oktober lalu, Rofi menyerukan agar Pemerintah Myanmar memberikan status kewarganegaraan bagi etnis Rohingya.
“Satus kewarganegaraan ini merupakan hak mendasar bagi setiap individu. Tanpa status kewarganegaran yang jelas, etnis Rohingya akan terus menghadapi kekerasan, tekanan dan diskriminasi sistemik dari pemerintah Myanmar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rofi mengkritisi ASEAN yang dinilai tidak mampu mendesak Myanmar untuk menuntaskan persoalan Rohingya.
“Sangat disayangkan ketika ASEAN, atas dasar prinsip non-intervensi, seolah-olah menutup mata terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayahnya,” kritik Rofi.
“Melalui forum multilateral seperti IPU, DPR RI berupaya untuk menyuarakan hal tersebut. Apa yang kita sampaikan di IPU dapat mendorong negara-negara lain untuk menekan pemerintah Myanmar agar menataati hukum humaniter internasional,” tutupnya.
Sebagai informasi, Konvensi Terkait Status Pengungsi, yang juga dikenal sebagai Konvensi Pengungsi 1951, adalah sebuah traktat multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendefinisikan status pengungsi, dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Konvensi tersebut juga menetapkan orang-orang yang tidak memenuhi kriteria pengungsi, seperti penjahat perang. Selain itu, konvensi tersebut menyediakan hak perjalanan bebas visa untuk pemenang dokumen perjalanan yang dikeluarkan berdasarkan konvensi tersebut.
“Indonesia bukan merupakan negara pihak dalam Konvensi 1951. Namun kita telah melaksanakan prinsip-prinsip yang terdapat dalam konvensi tersebut. Indonesia atas dasar kemanusiaan membuka akses bagi para pengungsi Rohingya, sementara Australia yang jelas-jelas merupakan negara pihak, malah mengesampingkan tanggung jawabnya dan menolak kedatangan pengungsi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena Indonesia mulai kewalahan dan terkena dampak dari arus pengungsi Rohingya,” jelas Rofi dalam rilisnya yang diterima Sindonews, Selasa (16/10/2018).
Wakil Ketua Badan Kerja Sama antar Parlemen (BKSP) ini menambahkan, sebagai negara penampung, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan pengungsi Rohingya, termasuk dalam hal kesehatan, pendidikan, dan aspek-aspek sosial-ekonomi lainnya.
“Penanganan pungungsi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan terus terang Indonesia mulai kewalahan karena kita juga memiliki prioritas dalam penggunaan anggaran negara. Krisis pengungsi ini merupakan hal yang tidak terduga sebelumnya,” kata Rofi.
Dalam pertemuan Komisi Demokrasi dan HAM yang berlangsung pada 15 Oktober lalu, Rofi menyerukan agar Pemerintah Myanmar memberikan status kewarganegaraan bagi etnis Rohingya.
“Satus kewarganegaraan ini merupakan hak mendasar bagi setiap individu. Tanpa status kewarganegaran yang jelas, etnis Rohingya akan terus menghadapi kekerasan, tekanan dan diskriminasi sistemik dari pemerintah Myanmar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rofi mengkritisi ASEAN yang dinilai tidak mampu mendesak Myanmar untuk menuntaskan persoalan Rohingya.
“Sangat disayangkan ketika ASEAN, atas dasar prinsip non-intervensi, seolah-olah menutup mata terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayahnya,” kritik Rofi.
“Melalui forum multilateral seperti IPU, DPR RI berupaya untuk menyuarakan hal tersebut. Apa yang kita sampaikan di IPU dapat mendorong negara-negara lain untuk menekan pemerintah Myanmar agar menataati hukum humaniter internasional,” tutupnya.
Sebagai informasi, Konvensi Terkait Status Pengungsi, yang juga dikenal sebagai Konvensi Pengungsi 1951, adalah sebuah traktat multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendefinisikan status pengungsi, dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Konvensi tersebut juga menetapkan orang-orang yang tidak memenuhi kriteria pengungsi, seperti penjahat perang. Selain itu, konvensi tersebut menyediakan hak perjalanan bebas visa untuk pemenang dokumen perjalanan yang dikeluarkan berdasarkan konvensi tersebut.
(ian)