Rezim Suriah Kuasai Separuh Ghouta Timur, 850 Sipil Tewas
A
A
A
DAMASKUS - Pasukan rezim Pemerintah Suriah telah merebut kembali separuh wilayah Ghouta Timur dari pemberontak dalam perang sengit yang dimulai sejak 18 Februari lalu. Hingga kini, jumlah warga sipil yang tewas di wilayah itu mencapai sekitar 850 orang.
Serangan gencar rezim Suriah—didukung sekutunya Rusia dan Iran—di Ghouta Timur telah memicu kecaman sejumlah pihak, terutama dari Amerika Serikat (AS). Dewan Keamanan PBB telah menyetujui resolusi gencatan senjata untuk wilayah tersebut, namun Suriah dan Rusia menegaskan resolusi tak berlaku bagi kelompok ekstremis.
Kelompok pemberontak Jaish al-Islam yang selama ini menguasai sebagian wilayah Ghouta Timur, tidak dianggap rezim Suriah sebagai pemberontak moderat, tapi kelompok ekstremis.
Data korban tewas dari pihak sipil yang mencapai sekitar 850 orang ini diumumkan Observatorium untuk Hak Asasi Manusia Suriah yang berbasis di Inggris.
Pada hari Rabu, pasukan pemerintah Presiden Bashar al-Assad merebut Beit Sawa, Al-Ashaari, dan area pertanian terdekat. Menurut Observatorium, dengan merebut sejumlah wilayah itu dari pemberontak, kubu Assad telah mengendalikan separuh wilayah Ghouta Timur yang pernah dikuasai pemberontak.
Kelompok pemantau krisis Suriah itu mengkritik serangan udara berat yang kebanyakan dilakukan oleh pesawat tempur Rusia. Serangan terbaru dilaporkan menewaskan 45 warga sipil tewas termasuk empat anak.
Lebih dari 50 serangan udara meghujani wilayah Ghouta Timur pada hari Rabu. Seorang wanita yang terluka terlihat terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang roboh.
Kemajuan tersebut terjadi setelah ratusan milisi loyalis Assad dari Afghanistan, Palestina, dan Suriah tiba di Ghouta Timur untuk mendukung serangan darat. Pasukan pemerintah dengan kendaraan militer juga terpantau melakukan patroli di Al-Mohammadiyeh, sebuah zona pertanian di bagian selatan Ghouta yang baru-baru ini direbut kembali oleh rezim Suriah.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB melakukan pertemuan tertutup selama tiga jam pada hari Rabu untuk membahas gencatan senjata yang gagal. Pertemuan digelar atas permintaan Prancis dan Inggris.
Duta Besar Belanda Karel van Oosterom, yang menjabat Dewan Kepresidenan, mengatakan kepada wartawan bahwa para anggota dewan telah menyatakan keprihatinannya atas situasi kemanusiaan dan mengulangi seruan untuk pelaksanaan resolusi gencatan senjata.
Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan bahwa rezim Suriah dan sekutu asingnya sudah merencanakan ”kiamat” berikutnya di wilayah lain setelah Ghouta Timur.
”Bulan ini adalah Ghouta Timur, yang disebut Sekretaris Jenderal (PBB) ‘neraka di bumi’,” katanya.
”Bulan depan atau bulan berikutnya, akan terjadi di tempat lain di mana orang menghadapi kiamat - sebuah kiamat yang dimaksudkan, direncanakan dan dilaksanakan oleh individu-individu di dalam pemerintahan, yang tampaknya dengan dukungan penuh dari beberapa pendukung asing mereka,” ujarnya, seperti dikutip SBS, Kamis (8/3/2018).
Jumlah penduduk Ghouta Timur sekitar 400.000 oran telah terjebak dalam medan perang sejak 2013. Mereka menderita kekurangan pangan dan obat-obatan.
Serangan gencar rezim Suriah—didukung sekutunya Rusia dan Iran—di Ghouta Timur telah memicu kecaman sejumlah pihak, terutama dari Amerika Serikat (AS). Dewan Keamanan PBB telah menyetujui resolusi gencatan senjata untuk wilayah tersebut, namun Suriah dan Rusia menegaskan resolusi tak berlaku bagi kelompok ekstremis.
Kelompok pemberontak Jaish al-Islam yang selama ini menguasai sebagian wilayah Ghouta Timur, tidak dianggap rezim Suriah sebagai pemberontak moderat, tapi kelompok ekstremis.
Data korban tewas dari pihak sipil yang mencapai sekitar 850 orang ini diumumkan Observatorium untuk Hak Asasi Manusia Suriah yang berbasis di Inggris.
Pada hari Rabu, pasukan pemerintah Presiden Bashar al-Assad merebut Beit Sawa, Al-Ashaari, dan area pertanian terdekat. Menurut Observatorium, dengan merebut sejumlah wilayah itu dari pemberontak, kubu Assad telah mengendalikan separuh wilayah Ghouta Timur yang pernah dikuasai pemberontak.
Kelompok pemantau krisis Suriah itu mengkritik serangan udara berat yang kebanyakan dilakukan oleh pesawat tempur Rusia. Serangan terbaru dilaporkan menewaskan 45 warga sipil tewas termasuk empat anak.
Lebih dari 50 serangan udara meghujani wilayah Ghouta Timur pada hari Rabu. Seorang wanita yang terluka terlihat terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang roboh.
Kemajuan tersebut terjadi setelah ratusan milisi loyalis Assad dari Afghanistan, Palestina, dan Suriah tiba di Ghouta Timur untuk mendukung serangan darat. Pasukan pemerintah dengan kendaraan militer juga terpantau melakukan patroli di Al-Mohammadiyeh, sebuah zona pertanian di bagian selatan Ghouta yang baru-baru ini direbut kembali oleh rezim Suriah.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB melakukan pertemuan tertutup selama tiga jam pada hari Rabu untuk membahas gencatan senjata yang gagal. Pertemuan digelar atas permintaan Prancis dan Inggris.
Duta Besar Belanda Karel van Oosterom, yang menjabat Dewan Kepresidenan, mengatakan kepada wartawan bahwa para anggota dewan telah menyatakan keprihatinannya atas situasi kemanusiaan dan mengulangi seruan untuk pelaksanaan resolusi gencatan senjata.
Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan bahwa rezim Suriah dan sekutu asingnya sudah merencanakan ”kiamat” berikutnya di wilayah lain setelah Ghouta Timur.
”Bulan ini adalah Ghouta Timur, yang disebut Sekretaris Jenderal (PBB) ‘neraka di bumi’,” katanya.
”Bulan depan atau bulan berikutnya, akan terjadi di tempat lain di mana orang menghadapi kiamat - sebuah kiamat yang dimaksudkan, direncanakan dan dilaksanakan oleh individu-individu di dalam pemerintahan, yang tampaknya dengan dukungan penuh dari beberapa pendukung asing mereka,” ujarnya, seperti dikutip SBS, Kamis (8/3/2018).
Jumlah penduduk Ghouta Timur sekitar 400.000 oran telah terjebak dalam medan perang sejak 2013. Mereka menderita kekurangan pangan dan obat-obatan.
(mas)