Ribut soal Yerusalem, antara Saudi dan 'Nyanyian' dari Yordania....

Selasa, 19 Desember 2017 - 13:47 WIB
Ribut soal Yerusalem,...
Ribut soal Yerusalem, antara Saudi dan 'Nyanyian' dari Yordania....
A A A
AMMAN - Arab Saudi jadi sorotan setelah anggota parlemen Yordania, Wafa Bani Mustafa, “bernyanyi” tentang tindakan Riyadh yang menekan Amman agar menerima pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Saudi sejak awal tegaskan sikapnya yang membela Palestina dan mengutuk keputusan AS. Lalu siapa yang benar di antara klaim kedua pihak?

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengutuk keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Menurutnya, rakyat Palestina memiliki hak mendirikan negara merdeka dengan ibu kota di Yerusalem Timur.

Pernyataan Raja Salman ini disampaikan dalam pidato di hadapan Dewan Syura Kerajaan Saudi di Riyadh pada hari Rabu yang disiarkan stasiun televisi pemerintah. Sikap resmi Raja Salman ini muncul di saat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menggelar KTT Luar Biasa di Istanbul, Turki.

Arab Saudi, yang menjadi tuan rumah sekretariat OKI, saat itu memang hanya mengirim seorang pejabat senior kementerian luar negeri dalam KTT tersebut.

”Kerajaan telah menyerukan sebuah solusi politik untuk menyelesaikan krisis regional, yang terpenting adalah masalah Palestina dan pemulihan hak-hak sah rakyat Palestina, termasuk hak untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” kata Raja Salman.

Keputusan Presiden AS Donald Trump, lanjut Raja Salman, mewakili bias ekstrem terhadap hak-hak rakyat Palestina di Yerusalem yang telah dijamin oleh resolusi internasional.

“Saya mengulangi penghukuman Kerajaan dan penyesalan yang kuat atas keputusan AS mengenai Yerusalem, karena menghapus hak-hak bersejarah rakyat Palestina di Yerusalem,” lanjut Raja Salman, yang dikutip Al Jazeera.

Pidato pemimpin Saudi ini muncul sehari setelah menyambut Raja Yordania Abdullah II ke istananya. Kunjungan Raja Abdullah untuk membahas perkembangan regional terakhir, terutama yang berkaitan dengan Yerusalem dan dampak bahaya dari rencana pemindahan Kedutaan AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Sikap Riyadh ini juga disuarakan duta besarnya di Washington yang telah memberikan nota peringatan ke AS mengenai rencana Trump yang akan memindahkan Ibu Kota di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Arab Saudi menegaskan bahwa keinginan Trump itu akan meningkatkan ketegangan konflik di wilayah tersebut.

“Setiap keputusan Amerika Serikat yang ingin mengubah status Kota Yerusalem akan membahayakan proses perdamaian dan akan meningkatkan ketegangan baru di antara Israel-Palestina,” kata Pangeran Khalid bin Salman bin Abdulaziz, Duta Besar Arab Saudi untuk AS.

“Kebijakan Kerajaan Arab Saudi telah dan terus mendukung rakyat Palestina, dan ini kami peringatkan kepada pemerintah AS,” tegas Pangeran Khalid.

"Nyanyian" dari Yordania

Analis dan politisi terkemuka Yordania, Wafa Bani Mustafa, mengungkap bahwa negaranya ditekan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, untuk menerima pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Yordania yang selama ini membela Palestina, kata dia, diancam Saudi bahwa ekonominya akan dicekik. Wafa Bani Mustafa yang merupakan anggota parlemen Yordania itu mengungkap intimidasi tetangga-tetangga Arabnya kepada Al Jazeera.

Motif Riyadh ini belum jelas. Namun, dia menduga Yerusalem menjadi alat negosiasi Saudi dengan Israel untuk menghadapi Iran.

Mustafa mengatakan, selain Saudi, negara antagonis utama dalam kasus ini adalah Uni Emirat Arab. Dia menyebut, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman telah mengambil peran yang dominan dalam melancarkan tekanan tersebut.

Yordania komitmen berpihak pada Palestina dan menolak keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada 6 Desember lalu. Trump, dalam pengumumannya juga memerintahkan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem segera.

”Bin Salman dan Uni Emirat Arab berusaha untuk mencekik ekonomi Yordania sampai menyetujui persyaratan mereka, tunduk pada kepemimpinan mereka di wilayah tersebut, dan menyetujui apa yang disebut 'kesepakatan akhir' Trump,” kata Mustafa, merujuk pada rencana baru Presiden AS untuk wujudkan perdamaian Israel dan Palestina yang belum dapat dijelaskan.

Saudi sejak awal menjadi pusat kecurigaan terkait langkah nekat Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Pemerintah Saudi dalam pernyataan resmi memang mengutuk keputusan Trump yang menggambarkannya sebagai “langkah yang tidak dapat dibenarkan dan tidak bertanggung jawab".

Namun, sebuah laporan yang dilansir kantor berita Reuters, mengungkap bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman disebut telah bertindak atas nama penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner dan telah mempresentasikan rencana perdamaian Timur Tengah kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Skema AS yang dipaparkan itu mencakup pembentukan sebuah negara Palestina yang terdiri dari Jalur Gaza dan bagian-bagian yang terputus dari Tepi Barat tanpa Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Skema ini juga menyelesaikan hak pengembalian pengungsi Palestina yang mengungsi ketika Israel didirikan pada tahun 1948.

Al Jazeera mengonfirmasi laporan itu kepada tiga pejabat yang dekat dengan pimpinan Otoritas Palestina. Mereka membenarkan bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman menekan Abbas untuk menerima status negara versi yang dia paparkan tanpa Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Mustafa mengatakan AS dan mitra regionalnya tidak memasukkan Yordania dari kesepakatan mengenai sebuah negara Palestina versi baru itu. Dia juga mengungkap bahwa Yordania tidak diundang oleh Mesir untuk berpartisipasi dalam perundingan rekonsiliasi Palestina antara Fatah dan Hamas Oktober lalu.

Diplomasi Ekonomi


Yordania adalah satu-satunya negara Arab yang terkena dampak langsung kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Namun, kata Mustafa, baik negara-negara Arab maupun AS tak mengundang negaranya ke meja perundingan.

Yordania sendiri menjadi rumah bagi beberapa juta pengungsi Palestina. Raja Yordania Abdullah II yang berpredikat sebagai penjaga tempat suci Yerusalem selama ini membayar gaji pegawai Palestina.

Mustafa melanjutkan, sekutu paling dekat Yordania di Gulf Cooperation Council (GCC/Dewan Kerja Sama Teluk), yakni Arab Saudi, UEA, dan Kuwait tidak memperpanjang program bantuan keuangan lima tahun dengan Amman senilai USD3,6 miliar yang berakhir pada 2017.

Bantuan AS ke Yordania berjumlah sekitar USD1,6 miliar per tahun; sekitar USD800 juta untuk bantuan militer dan USD800 juta untuk bantuan ekonomi. Bagian dari bantuan ekonomi tiba sebagai transfer moneter langsung, sedangkan sisanya datang dalam bentuk proyek USAID di negara tersebut. Anggaran Yordania 2018 mencakup hibah langsung USD400 juta dari Amerika Serikat.

Raja Abdullah II telah bertemu dengan Raja Salman di Arab Saudi pada hari Selasa pekan lalu dan diskusi terfokus pada implikasi bahaya dari keputusan AS soal Yerusalem.

Pada hari Rabu, Raja Abdullah II berada di Istanbul untuk pertemuan darurat 57 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menentang keputusan Trump.

Raja Abdullah II bergabung dengan pemimpin lain, termasuk Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Iran Hassan Rouhani, dan Presiden Lebanon Michel Aoun. Sedangkan kepala negara Arab Saudi dan UEA tidak hadir dan hanya mewakilkan utusan.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9084 seconds (0.1#10.140)