Menyambangi Myanmar, Paus Serukan Perdamaian
A
A
A
YANGON - Paus Fransiskus meminta rakyat Myanmar untuk mendekap perdamaian dan rekonsiliasi. Myanmar baru saja terbebas dari pemerintah junta militer, namun masih terbelah oleh konflik etnis dan perselisahan komunal.
Paus menyampaikan hal itu pada sebuah misa terbuka di Yangon pada hari ketiga kunjungan diplomatiknya yang penuh dengan risiko. Aksi kekerasan yang ditunjukkan militer Myanmar telah memicu eksodus sekitar 625 ribu Muslim Rohingya dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha.
Dalam sebuah pidato, Paus tidak menggunakan istilah 'Rohingya' yang sangat dilarang, mengikuti saran dari orang dalam Vatikan. Dikhawatirkan penyebutan Rohingya dapat memicu insiden diplomatik dan mengubah militer dan pemerintah Myanmar melawan orang Kristen minoritas.
Meski begitu, keadilan, hak asasi manusia dan penghormatan untuk semua dipandang secara luas berlaku untuk Rohingya, yang tidak dianggap sebagai warga negara atau sebagai anggota kelompok etnis yang berbeda seperti dilansir dari Reuters, Rabu (29/11/2017).
Eksodus massal dari negara bagian Rakhine ke ujung selatan Bangladesh dimulai pada akhir Agustus. Kala itu militer melancarkan serangan balik dalam menanggapi serangan militan Rohingya terhadap pangkalan militer dan pos keamanan polisi.
Sejumlah desa Rohingya terbakar habis, dan para pengungsi menceritakan pembunuhan dan pemerkosaan. Amerika Serikat (AS) mengatakan pekan lalu bahwa kampanye militer tersebut mencakup "kekejaman yang mengerikan" ditujukan untuk "pembersihan etnis".
Baca Juga: AS Sebut Myanmar Lakukan Pembersihan Etnis terhadap Rohingya
Militer Myanmar telah menolak semua tuduhan pembunuhan, pemerkosaan dan pemindahan paksa tersebut.
Paus menyampaikan hal itu pada sebuah misa terbuka di Yangon pada hari ketiga kunjungan diplomatiknya yang penuh dengan risiko. Aksi kekerasan yang ditunjukkan militer Myanmar telah memicu eksodus sekitar 625 ribu Muslim Rohingya dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha.
Dalam sebuah pidato, Paus tidak menggunakan istilah 'Rohingya' yang sangat dilarang, mengikuti saran dari orang dalam Vatikan. Dikhawatirkan penyebutan Rohingya dapat memicu insiden diplomatik dan mengubah militer dan pemerintah Myanmar melawan orang Kristen minoritas.
Meski begitu, keadilan, hak asasi manusia dan penghormatan untuk semua dipandang secara luas berlaku untuk Rohingya, yang tidak dianggap sebagai warga negara atau sebagai anggota kelompok etnis yang berbeda seperti dilansir dari Reuters, Rabu (29/11/2017).
Eksodus massal dari negara bagian Rakhine ke ujung selatan Bangladesh dimulai pada akhir Agustus. Kala itu militer melancarkan serangan balik dalam menanggapi serangan militan Rohingya terhadap pangkalan militer dan pos keamanan polisi.
Sejumlah desa Rohingya terbakar habis, dan para pengungsi menceritakan pembunuhan dan pemerkosaan. Amerika Serikat (AS) mengatakan pekan lalu bahwa kampanye militer tersebut mencakup "kekejaman yang mengerikan" ditujukan untuk "pembersihan etnis".
Baca Juga: AS Sebut Myanmar Lakukan Pembersihan Etnis terhadap Rohingya
Militer Myanmar telah menolak semua tuduhan pembunuhan, pemerkosaan dan pemindahan paksa tersebut.
(ian)