Pengadilan Internasional: Pemerintah Myanmar Bersalah Lakukan Genosida
A
A
A
KUALA LUMPUR - Pengadilan Internasional memutuskan pemerintah Myanmar bersalah karena telah melakukan genosida terhadap etnis Rohingya dan minoritas muslim lainnya. Tujuh anggota panel pengadilan meminta otoritas Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap minoritas Muslim.
"Pengadilan memutuskan bahwa Myanmar bersalah melakukan genosida terhadap orang-orang Kachin dan kelompok-kelompok Muslim di sana," kata ketua Pengadilan Rakyat Permanen atau Permanent Peoples Tribunal, Daniel Feierstein, seperti dikutip dari Anadolu, Sabtu (23/9/2017).
Pengadilan Rakyat Permanen didirikan di Italia pada tahun 1979 dan terdiri dari 66 anggota internasional. Sejak berdirinya, pengadilan tersebut telah menyelenggarakan 43 sesi mengenai berbagai kasus yang melibatkan hak asasi manusia dan genosida.
Pengadilan tersebut, yang diadakan di ibukota Malaysia, Kuala Lampur selama lima hari, mempertimbangkan berbagai dokumenter, bukti ahli dan kesaksian dari sekitar 200 korban kekejaman yang dilakukan terhadap kelompok minoritas Rohingya, Kachin dan kelompok minoritas Muslim lainnya.
Pengadilan meminta pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap minoritas Muslim.
"Visa dan akses gratis harus diberikan kepada tim pencari fakta PBB untuk menyelidiki kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya, Kachin dan kelompok lainnya di Myanmar," kata pengadilan tersebut dalam sebuah pernyataan.
Dikatakan pemerintah harus mengubah konstitusi dan menghapuskan undang-undang yang diskriminatif untuk memberikan hak dan kewarganegaraan kepada minoritas yang tertindas.
Sejak 25 Agustus, sekitar 429 ribu Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut PBB.
Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi keamanan baru di mana pasukan keamanan dan gerombolan Buddha membunuh pria, wanita dan anak-anak, menjarah rumah dan membakar desa Rohingya. Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dalam tindakan kekerasan tersebut.
Pengadilan tersebut juga meminta masyarakat internasional untuk memberikan bantuan keuangan ke negara-negara seperti Bangladesh dan Malaysia yang menjadi tuan rumah masuknya pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan tersebut.
Malaysia saat ini menjadi tuan rumah salah satu populasi pengungsi perkotaan terbesar di dunia. Pada tahun 2014, sekitar 146.020 pengungsi dan pencari suaka telah terdaftar di UNHCR di Malaysia, dimana sebagian besar atau sekitar 135.000 berasal dari Myanmar.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat atas serangan tersebut sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Oktober lalu, setelah serangan terhadap pos-pos perbatasan di distrik Maungdaw Rakhine, pasukan keamanan melancarkan tindakan kekerasan selama lima bulan di mana, menurut kelompok Rohingya, sekitar 400 orang terbunuh.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh petugas keamanan. Dalam sebuah laporan, penyidik
"Pengadilan memutuskan bahwa Myanmar bersalah melakukan genosida terhadap orang-orang Kachin dan kelompok-kelompok Muslim di sana," kata ketua Pengadilan Rakyat Permanen atau Permanent Peoples Tribunal, Daniel Feierstein, seperti dikutip dari Anadolu, Sabtu (23/9/2017).
Pengadilan Rakyat Permanen didirikan di Italia pada tahun 1979 dan terdiri dari 66 anggota internasional. Sejak berdirinya, pengadilan tersebut telah menyelenggarakan 43 sesi mengenai berbagai kasus yang melibatkan hak asasi manusia dan genosida.
Pengadilan tersebut, yang diadakan di ibukota Malaysia, Kuala Lampur selama lima hari, mempertimbangkan berbagai dokumenter, bukti ahli dan kesaksian dari sekitar 200 korban kekejaman yang dilakukan terhadap kelompok minoritas Rohingya, Kachin dan kelompok minoritas Muslim lainnya.
Pengadilan meminta pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap minoritas Muslim.
"Visa dan akses gratis harus diberikan kepada tim pencari fakta PBB untuk menyelidiki kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya, Kachin dan kelompok lainnya di Myanmar," kata pengadilan tersebut dalam sebuah pernyataan.
Dikatakan pemerintah harus mengubah konstitusi dan menghapuskan undang-undang yang diskriminatif untuk memberikan hak dan kewarganegaraan kepada minoritas yang tertindas.
Sejak 25 Agustus, sekitar 429 ribu Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut PBB.
Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi keamanan baru di mana pasukan keamanan dan gerombolan Buddha membunuh pria, wanita dan anak-anak, menjarah rumah dan membakar desa Rohingya. Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dalam tindakan kekerasan tersebut.
Pengadilan tersebut juga meminta masyarakat internasional untuk memberikan bantuan keuangan ke negara-negara seperti Bangladesh dan Malaysia yang menjadi tuan rumah masuknya pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan tersebut.
Malaysia saat ini menjadi tuan rumah salah satu populasi pengungsi perkotaan terbesar di dunia. Pada tahun 2014, sekitar 146.020 pengungsi dan pencari suaka telah terdaftar di UNHCR di Malaysia, dimana sebagian besar atau sekitar 135.000 berasal dari Myanmar.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat atas serangan tersebut sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Oktober lalu, setelah serangan terhadap pos-pos perbatasan di distrik Maungdaw Rakhine, pasukan keamanan melancarkan tindakan kekerasan selama lima bulan di mana, menurut kelompok Rohingya, sekitar 400 orang terbunuh.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh petugas keamanan. Dalam sebuah laporan, penyidik
(ian)