Aktivis Sebut 1.000 Warga Rohingya Dibantai, Suu Kyi Kian Tersudut
A
A
A
YANGON - Aktivis HAM Rohingya mengungkap bahwa sekitar 1.000 warga Rohingya, terutama warga sipil, telah dibantai tentara Myanmar. Sementara itu, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi semakin tersudut, di mana para pemimpin sejumlah negara menekannya untuk menghentikan kekerasan di negara bagian Rakhine.
Pengungkapan data baru oleh aktivis untuk menyangkal klaim militer yang hanya mengakui bahwa 399 orang tewas dalam konflik terbaru di Rakhine.
”Ada 1.000 orang Rohingya yang dikonfirmasi yang telah dibunuh oleh tentara Burma (Myanmar) dan jumlah korban tewas tersebut mungkin jauh lebih tinggi,” kata Tun Khin, Presiden Organisasi Rohingya Burma.
”Militer membakar banyak desa. Mereka melempar anak-anak ke dalam api,” katanya lagi kepada The Telegraph.
Laporan korban sipil didukung oleh petugas bantuan di Bangladesh yang mengatakan kepada AP bahwa lebih dari 50 pengungsi telah tiba dengan luka tembak. Banyak juga yang menderita penyakit pernafasan dan kekurangan gizi.
Baca Juga: Pembantaian Rohingya dan Jejak Senjata Israel di Myanmar
Seorang pengungsi yang sampai di Desa Shah Porir Dwip, Bangladesh, menceritakan ada warga Rohingya yang dibakar hidup-hidup dan bom diledakkan di dekat rumah warga.
”Militer Rakhine dan ekstremis membakar kami, membakar kami, membuat desa kami terbakar,” kata pengungsi yang hanya memberi nama depannya, Karim, yang dilansir Senin (4/9/2017).
Surat kabar Global New Light Myanmar yang dikelola negara tersebut mengakui bahwa total 2.625 rumah warga Rohingya di Desa Kotankauk, Myinlut dan Kyikanpyin dan dua bangsal di Maungdaw dibakar habis. Tapi, media pemerintah itu menyalahkan kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) sebagai pelakunya.
Baca Juga: Jokowi Utus Menlu Retno Temui Aung San Suu Kyi Bahas Rohingya
Tekanan terhadap Suu Kyi salah satunya muncul dari Indonesia. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi telah tiba di Myanmar untuk melakukan pembicaraan darurat terkait krisis Rohingya yang terus berlanjut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Christiawan Nasir mengatakan, Menlu Retno sudah berada di Yangon dan pagi ini dijadwalkan ke Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar.
"Dubes (duta besar) RI Yangon, Ito Sumardi beserta dua pejabat tinggi Myanmar yaitu Deputi Direktur Jenderal Protokol, U Zaw Thomas O serta Dirjen Strategic Study Kemlu Myanmar, Daw Khay Thi menjemput ketibaan Menlu Retno," kata Arrmanatha dalam keterangan persnya.
Suu Kyi, sang peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991, juga mendapat tekanan dari Turki dan Eropa. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa kekerasan terhadap Muslim Rohingya adalah genosida. Erdogan juga aktif menghubungi para pemimpin dunia untuk membahas krisis Rohingya di forum PBB.
Selanjutnya, Inggris melalui Menteri Luar Negeri Boris Johnson memperingatkan Aung San Suu Kyi bahwa penindasan terhadap minoritas Rohingya telah “mencengangkan” reputasinya di negara tersebut.
Human Rights Watch mendesak dilakukan penyelidikan independen atas apa yang terjadi di Rakhine.
“Citra satelit baru menunjukkan kehancuran total sebuah desa Muslim, dan menimbulkan kekhawatiran serius bahwa tingkat kehancuran di negara bagian Rakhine utara mungkin jauh lebih buruk daripada yang diperkirakan semula,” kata Deputi Direktur Human Rights Watch untuk Asia, Phil Robertson.
Sebaliknya, Kepala Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, menyalahkan urusan yang belum selesai dari Perang Dunia II atas krisis terbaru di Rakhine. ”Orang-orang Bengali menyerang, membunuh dan memaksa orang-orang etnis di negara Rakhine dari rumah mereka,” katanya.
”Kami tidak akan pernah membiarkan kejadian mengerikan tersebut terjadi lagi,” ujarnya. Dia berjanji akan melindungi Myanmar dari kelompok yang dia sebut sebagai teroris Bengali.
Pengungkapan data baru oleh aktivis untuk menyangkal klaim militer yang hanya mengakui bahwa 399 orang tewas dalam konflik terbaru di Rakhine.
”Ada 1.000 orang Rohingya yang dikonfirmasi yang telah dibunuh oleh tentara Burma (Myanmar) dan jumlah korban tewas tersebut mungkin jauh lebih tinggi,” kata Tun Khin, Presiden Organisasi Rohingya Burma.
”Militer membakar banyak desa. Mereka melempar anak-anak ke dalam api,” katanya lagi kepada The Telegraph.
Laporan korban sipil didukung oleh petugas bantuan di Bangladesh yang mengatakan kepada AP bahwa lebih dari 50 pengungsi telah tiba dengan luka tembak. Banyak juga yang menderita penyakit pernafasan dan kekurangan gizi.
Baca Juga: Pembantaian Rohingya dan Jejak Senjata Israel di Myanmar
Seorang pengungsi yang sampai di Desa Shah Porir Dwip, Bangladesh, menceritakan ada warga Rohingya yang dibakar hidup-hidup dan bom diledakkan di dekat rumah warga.
”Militer Rakhine dan ekstremis membakar kami, membakar kami, membuat desa kami terbakar,” kata pengungsi yang hanya memberi nama depannya, Karim, yang dilansir Senin (4/9/2017).
Surat kabar Global New Light Myanmar yang dikelola negara tersebut mengakui bahwa total 2.625 rumah warga Rohingya di Desa Kotankauk, Myinlut dan Kyikanpyin dan dua bangsal di Maungdaw dibakar habis. Tapi, media pemerintah itu menyalahkan kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) sebagai pelakunya.
Baca Juga: Jokowi Utus Menlu Retno Temui Aung San Suu Kyi Bahas Rohingya
Tekanan terhadap Suu Kyi salah satunya muncul dari Indonesia. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi telah tiba di Myanmar untuk melakukan pembicaraan darurat terkait krisis Rohingya yang terus berlanjut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Christiawan Nasir mengatakan, Menlu Retno sudah berada di Yangon dan pagi ini dijadwalkan ke Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar.
"Dubes (duta besar) RI Yangon, Ito Sumardi beserta dua pejabat tinggi Myanmar yaitu Deputi Direktur Jenderal Protokol, U Zaw Thomas O serta Dirjen Strategic Study Kemlu Myanmar, Daw Khay Thi menjemput ketibaan Menlu Retno," kata Arrmanatha dalam keterangan persnya.
Suu Kyi, sang peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991, juga mendapat tekanan dari Turki dan Eropa. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa kekerasan terhadap Muslim Rohingya adalah genosida. Erdogan juga aktif menghubungi para pemimpin dunia untuk membahas krisis Rohingya di forum PBB.
Selanjutnya, Inggris melalui Menteri Luar Negeri Boris Johnson memperingatkan Aung San Suu Kyi bahwa penindasan terhadap minoritas Rohingya telah “mencengangkan” reputasinya di negara tersebut.
Human Rights Watch mendesak dilakukan penyelidikan independen atas apa yang terjadi di Rakhine.
“Citra satelit baru menunjukkan kehancuran total sebuah desa Muslim, dan menimbulkan kekhawatiran serius bahwa tingkat kehancuran di negara bagian Rakhine utara mungkin jauh lebih buruk daripada yang diperkirakan semula,” kata Deputi Direktur Human Rights Watch untuk Asia, Phil Robertson.
Sebaliknya, Kepala Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, menyalahkan urusan yang belum selesai dari Perang Dunia II atas krisis terbaru di Rakhine. ”Orang-orang Bengali menyerang, membunuh dan memaksa orang-orang etnis di negara Rakhine dari rumah mereka,” katanya.
”Kami tidak akan pernah membiarkan kejadian mengerikan tersebut terjadi lagi,” ujarnya. Dia berjanji akan melindungi Myanmar dari kelompok yang dia sebut sebagai teroris Bengali.
(mas)