Pembantaian Rohingya dan Jejak Senjata Israel di Myanmar
A
A
A
TEL AVIV - Israel ikut dikritik karena diketahui terus mengekspor senjatanya Myanmar di saat junta militer negara itu membantai kelompok minoritas Muslim Rohingya di Rakhine. Meski belum ada kepastian senjata Israel digunakan dalam kekerasan di Rakhine, tapi parlemen Tel Aviv melawan untuk menghentikan ekspor senjata tersebut.
Kekerasan terbaru pecah di Rakhine pada Kamis malam atau Jumat, 25 Agustus dini hari lalu ketika sebuah kelompok gerilyawan menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas. Kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu dengan dalih sebagai sikap pembelaan terhadap warga Rohingya.
Sebagai respons, militer Myanmar menggelar operasi yang menewaskan ratusan orang, termasuk warga sipil Rohingya. Data resmi yang diakui militer dan pemerintah Myanmar menyatakan, ada 399 orang yang tewas dalam seminggu ini. Mereka adalah 370 gerilyawan Rohingya, 13 aparat keamanan, dua pejabat pemerintah dan 14 warga sipil.
Tapi, data dari para aktivis di Rakhine menyebutkan, sekitar 130 orang, termasuk wanita dan anak-anak Rohingya dibunuh dalam operasi militer. Pembantaian massal dilaporkan terjadi di Desa Chut Pyin, dekat Kota Rathedaung, Myanmar barat.
Pelapor khusus PBB masih menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di Rakhine, termasuk asal-usul senjata junta militer yang digunakan untuk menindas kelompok minoritas Rohingya. Tapi, para periset Universitas Harvard mengatakan bahwa kejahatan terus berlanjut karena pemerintah Israel tetap menyediakan senjata ke rezim Myanmar.
Melansir laporan Haaretz, Senin (4/9/2017), salah satu petinggi junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing, diketahui mengunjungi Israel pada bulan September 2015 dalam sebuah ”perjalanan belanja” dari produsen militer Israel. Delegasinya bertemu dengan Presiden Reuven Rivlin serta pejabat militer termasuk kepala staf tentara Israel. Dia mengunjungi pangkalan militer dan kontraktor pertahanan Elbit Systems dan Elta Systems.
Kepala Direktorat Kerja Sama Pertahanan Internasional Kementerian Pertahanan Israel—yang lebih dikenal dengan akronim berbahasa Ibrani SIBAT—Michel Ben-Baruch juga berkunjung ke Myanmar pada musim panas 2015. Dalam kunjungan yang nyaris tak terendus media itu, pihak junta militer Myanmar mengaku membeli kapal patroli Super Dvora dari Israel dan ada pembicaraan tentang pembelian senjata tambahan.
Pada bulan Agustus 2016, foto dipublikasikan di situs TAR Ideal Concepts, sebuah perusahaan Israel yang mengkhususkan diri dalam memberikan pelatihan dan peralatan militer, menunjukkan pelatihan dengan senapan Corner Shot buatan Israel. Bersamaan dengan itu, muncul pernyataan bahwa Myanmar telah mulai menggunakan senjata tersebut untuk operasional.
Situs tersebut mengatakan bahwa perusahaan tersebut dipimpin oleh mantan Komisaris Polisi Israel Shlomo Aharonishki. Saat ini situs tersebut tidak membuat referensi khusus ke Myanmar, namun yang hanya merujuk secara umum ke Asia.
Pengadilan Tinggi Israel dijadwalkan untuk mendengar tuntutan pada akhir September dari sebuah petisi para aktivis hak asasi manusia yang melawan penjualan senjata lanjutan ke Myanmar.
Dalam tanggapan awal Maret lalu, Kementerian Pertahanan Israel berpendapat bahwa pengadilan tersebut tidak memiliki hak terkait masalah yang menurut kementerian itu “jelas-jelas urusan diplomatis”.
Pada tanggal 5 Juni, anggota Knesset (parlemen Israel) Tamar Zandberg menanyakan ekspor senjata ke Myanmar. Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman menjawab bahwa Israel merupakan negara yang tunduk pada negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat terkait sebagai eksportir senjata terbesar di dunia. ”Kami tunduk pada mereka dan mempertahankan kebijakan yang sama,” katanya.
Tapi, pernyataan Lieberman salah. AS dan Uni Eropa sejatinya telah memberlakukan embargo senjata ke Myanmar. Tidak jelas apakah hal itu sebagai ketidaktahuan Lieberman atau upayanya untuk membela diri dalam kebijakan ekspor senjata ke Myanmar.
Kekerasan terbaru pecah di Rakhine pada Kamis malam atau Jumat, 25 Agustus dini hari lalu ketika sebuah kelompok gerilyawan menyerang pos-pos polisi yang menewaskan 12 petugas. Kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu dengan dalih sebagai sikap pembelaan terhadap warga Rohingya.
Sebagai respons, militer Myanmar menggelar operasi yang menewaskan ratusan orang, termasuk warga sipil Rohingya. Data resmi yang diakui militer dan pemerintah Myanmar menyatakan, ada 399 orang yang tewas dalam seminggu ini. Mereka adalah 370 gerilyawan Rohingya, 13 aparat keamanan, dua pejabat pemerintah dan 14 warga sipil.
Tapi, data dari para aktivis di Rakhine menyebutkan, sekitar 130 orang, termasuk wanita dan anak-anak Rohingya dibunuh dalam operasi militer. Pembantaian massal dilaporkan terjadi di Desa Chut Pyin, dekat Kota Rathedaung, Myanmar barat.
Pelapor khusus PBB masih menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di Rakhine, termasuk asal-usul senjata junta militer yang digunakan untuk menindas kelompok minoritas Rohingya. Tapi, para periset Universitas Harvard mengatakan bahwa kejahatan terus berlanjut karena pemerintah Israel tetap menyediakan senjata ke rezim Myanmar.
Melansir laporan Haaretz, Senin (4/9/2017), salah satu petinggi junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing, diketahui mengunjungi Israel pada bulan September 2015 dalam sebuah ”perjalanan belanja” dari produsen militer Israel. Delegasinya bertemu dengan Presiden Reuven Rivlin serta pejabat militer termasuk kepala staf tentara Israel. Dia mengunjungi pangkalan militer dan kontraktor pertahanan Elbit Systems dan Elta Systems.
Kepala Direktorat Kerja Sama Pertahanan Internasional Kementerian Pertahanan Israel—yang lebih dikenal dengan akronim berbahasa Ibrani SIBAT—Michel Ben-Baruch juga berkunjung ke Myanmar pada musim panas 2015. Dalam kunjungan yang nyaris tak terendus media itu, pihak junta militer Myanmar mengaku membeli kapal patroli Super Dvora dari Israel dan ada pembicaraan tentang pembelian senjata tambahan.
Pada bulan Agustus 2016, foto dipublikasikan di situs TAR Ideal Concepts, sebuah perusahaan Israel yang mengkhususkan diri dalam memberikan pelatihan dan peralatan militer, menunjukkan pelatihan dengan senapan Corner Shot buatan Israel. Bersamaan dengan itu, muncul pernyataan bahwa Myanmar telah mulai menggunakan senjata tersebut untuk operasional.
Situs tersebut mengatakan bahwa perusahaan tersebut dipimpin oleh mantan Komisaris Polisi Israel Shlomo Aharonishki. Saat ini situs tersebut tidak membuat referensi khusus ke Myanmar, namun yang hanya merujuk secara umum ke Asia.
Pengadilan Tinggi Israel dijadwalkan untuk mendengar tuntutan pada akhir September dari sebuah petisi para aktivis hak asasi manusia yang melawan penjualan senjata lanjutan ke Myanmar.
Dalam tanggapan awal Maret lalu, Kementerian Pertahanan Israel berpendapat bahwa pengadilan tersebut tidak memiliki hak terkait masalah yang menurut kementerian itu “jelas-jelas urusan diplomatis”.
Pada tanggal 5 Juni, anggota Knesset (parlemen Israel) Tamar Zandberg menanyakan ekspor senjata ke Myanmar. Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman menjawab bahwa Israel merupakan negara yang tunduk pada negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat terkait sebagai eksportir senjata terbesar di dunia. ”Kami tunduk pada mereka dan mempertahankan kebijakan yang sama,” katanya.
Tapi, pernyataan Lieberman salah. AS dan Uni Eropa sejatinya telah memberlakukan embargo senjata ke Myanmar. Tidak jelas apakah hal itu sebagai ketidaktahuan Lieberman atau upayanya untuk membela diri dalam kebijakan ekspor senjata ke Myanmar.
(mas)