Ironi Penghancuran Desa Rohingya dan Nobel Perdamaian Suu Kyi

Selasa, 22 November 2016 - 11:50 WIB
Ironi Penghancuran Desa...
Ironi Penghancuran Desa Rohingya dan Nobel Perdamaian Suu Kyi
A A A
NAYPYIDAW - Sebuah operasi keamanan militer di desa-desa kaum Muslim Rohingya di Maungdaw, negara bagian Rakhine, yang diluncurkan pada awal Oktober ternyata berlanjut hingga beberapa hari lalu. Sebuah citra satelit yang dipublikasikan Human Rights Watch (HRW) menunjukkan, 820 bangunan di desa-desa itu hancur antara 10 hingga 18 November 2016.

Menurut data HRW, lebih dari 1.200 rumah telah diratakan di desa-desa yang dihuni kaum Muslim Rohingya dalam enam minggu terakhir. Militer merupakan aktor operasi keamanan di Rakhine, namun pemerintah Myanmar menyangkal telah meratakan rumah-rumah warga Rohingya.

Myanmar saat ini diperintah faksi politik Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) yang dipimpin Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi peraih Nobel Perdamaian yang pernah ditindas junta militer. Penghancuran desa-desa komunitas Rohingya itu menjadi ironi dengan sosok Suu Kyi, yang diharapkan dunia bisa mencegah kekerasan tersebut.

PBB telah menyatakan bahwa komunitas Rohingya merupakan salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.

Media tidak dapat memverifikasi tingkat kerusakan di desa-desa Rohingya secara independen, karena pemerintah Myanmar telah memblokir wartawan internasional untuk mengunjungi lokasi, di mana puluhan ribu orang telah melarikan diri.

Seorang koresponden BBC di perbatasan Bangladesh-Myanmar telah berbicara dengan salah satu keluarga dari komunitas Rohingya yang melarikan diri. Mereka menggambarkan apa yang terjadi di Rakhine utara sebagai ”neraka di bumi”.

Pemerintah Myanmar—yang juga dikenal sebagai Burma—mengatakan bahwa warga Rohingya membakar rumah mereka sendiri untuk menarik perhatian internasional.

HRW sebelumnya merilis citra satelit pada 13 November 2016 yang menunjukkan 430 bangunan hancur di tiga desa di Rakhine. Presiden Myanmar, Ktin Hyaw, melalui juru bicaranya, Zaw Htay, menuduh kelompok HAM itu sudah berlebihan.

Apa yang Terjadi di Rakhine?

Ironi Penghancuran Desa Rohingya dan Nobel Perdamaian Suu Kyi


Sebuah operasi keamanan besar-besaran diluncurkan bulan lalu setelah sembilan polisi tewas dalam serangan terkoordinasi di pos perbatasan di Maungdaw, Rakhine, Myanmar.

Beberapa pejabat pemerintah menyalahkan kelompok militan Rohingya sebagai pelaku serangan. Pasukan keamanan kemudian menutup akses ke distrik Maungdaw dan meluncurkan operasi kontra-pemberontakan.

Para aktivis Rohingya mengatakan lebih dari 100 orang telah tewas dan ratusan lainnya ditangkap di tengah tindakan keras militer Myanmar.

Tentara juga telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk penyiksaan, pemerkosaan dan eksekusi. Namun, pemerintah Myanmar lagi-lagi menyangkalnya.

Siapa Rohingya?

Warga komunitas Rohingya dengan populasi sekitar 1 juta jiwa mendiami wilayah negara bagian Rakhine. Mereka tercatat sebagai kelompok minoritas Muslim, namun oleh kelompok mayoritas Buddha Rakhine, mereka dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Status kewarganegaraan warga komunitas Rohingya juga tidak diakui pemerintah Myanmar meskipun mereka sudah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.

Komunitas Rohingya pernah disorot dunia ketika kekerasan komunal pecah di Rakhine pada tahun 2012. Dalam kekerasan pada saat itu, banyak warga Rohinya tewas dan lebih dari 100 ribu lainnya telantar.

Ironi Suu Kyi dan Nobel Perdamaiannya

Myanmar sukses mengadakan pemilu pertama secara terbuka dalam 25 tahun terakhir pada November tahun lalu. Faksi LND yang dipimpin Aung San Suu Kyi menang telak.

Konstitusi memang melarang Suu Kyi menjadi presiden. Tapi, dia tetap dipandang sebagai pemimpin de-facto di Myanmar.

Suu Kyi mantan ikon pejuang hak asasi manusia (HAM) yang meraih Nobel Perdamaian, telah menghadapi kecaman internasional atas situasi di negara bagian Rakhine. Mantan tokoh oposisi yang pernah ditindas junta militer ini bungkam di saat warga Rohingya teraniaya.

“Alih-alih menanggapi dengan tuduhan tindakan militer dan penolakan (kekerasan terhadap komunitas Rohingya), pemerintah harusnya cukup melihat fakta-fakta dan mengambil tindakan untuk melindungi semua orang di Burma (Myanmar), apa pun agama atau etnis mereka,” ujar Direktur HRW Asia, Brad Adams, saat merilis citra satelit terkait penghancuran desa-desa Muslim Rohinya terbaru oleh militer Myanmar, pada hari Senin kemarin, seperti dikutip BBC.

”Sebuah pemerintahan dengan tidak menyembunyikannya, seharusnya tidak memiliki masalah untuk memberikan akses ke wartawan dan peneliti hak asasi manusia,” lanjut Adams.

Juru bicara kepresidenan Myanmar, Zaw Htay, mengatakan bahwa media internasional salah melaporkan apa yang sedang terjadi di Rakhine. Namun, pernyataan itu jadi ironi, karena Myanmar membatasi ketat ruang gerak media untuk mengetahui apa yang terjadi di Rakhine.

Pelapor khusus PBB tentang Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan bahwa delegasi internasional pernah diizinkan untuk mengunjungi kawasan Rakhine awal bulan ini, tetapi tetap saja aksesnya terbatas.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1960 seconds (0.1#10.140)