Dijual seperti Ternak, Ini Kesaksian Wanita Yazidi Budak Nafsu ISIS

Sabtu, 27 Februari 2016 - 17:58 WIB
Dijual seperti Ternak, Ini Kesaksian Wanita Yazidi Budak Nafsu ISIS
Dijual seperti Ternak, Ini Kesaksian Wanita Yazidi Budak Nafsu ISIS
A A A
BERLIN - Seorang wanita Yazidi yang berhasil melarikan diri setelah menjadi budak pelampiasan nafsu militan ISIS memberikan kesaksian. Selama diperbudak, dia disandera di gudang dan dijual seperti hewan ternak.

Wanita yang kini tinggal bersama keluarganya di Jerman itu diidentifikasi dengan nama samaran Shirin. Dia berusia 17 tahun ketika diculik kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dari desanya, Hardan, di Irak utara pada Agustus 2014.

Shirin yang diperkosa berulang kali oleh militan ISIS itu menulis pengalaman pahitnya dalam buku berjudul “I remain a daughter of the light” yang berarti; ”Saya tetap seorang putri cahaya”.

Shirin disandera oleh militan ISIS selama sembilan bulan. Dia ingat militan ISIS yang berulang kali memperkosanya bermata “hijau rawa”.

Ketika diculik, Shirin dibawa ke sebuah gedung sekolah yang kosong dengan sekitar 3 ribu wanita Yazidi lainnya, termasuk ibunya dan adik-adiknya. Di gedung sekolah itu, para sandera diseleksi layaknya memilih hewan ternak.

Shirin, yang pernah bermimpi menjadi seorang pengacara mengatakan, segala sesuatu yang terjadi di dalam gudang sekolah itu adalah ”kekacauan yang lengkap”.

Ibu saya, saudara saya, saudara saya Kemal harus melangkah hati-hati di atas orang-orang berbaring, ketika kami dibeli,” katanya mengenang pengalaman pahit itu, seperti dilansir Daily Mail, Sabtu (27/2/2016).

Kami menemukan ruang kelas dan duduk di samping satu sama lain, berhimpitan erat bersama-sama,” lanjut Shirin. ”Ada penjaga di mana-mana, mereka anak laki-laki berusia antara 15 dan 18 tahun, dan siapa saja yang sedikit lebih tua, otomatis mereka yang menang,” imbuh dia.

Mereka muncul dua kali selama tiga hari pertama saya berada di sana. Pertama kali adalah untuk menyeleksi perempuan yang muda, yang belum menikah seperti saya.”

Menurutnya, perempuan Muslim yang ikut diculik tubuhnya harus benar-benar tertutup. Jika tidak, mereka terancam dicambuk.

Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Shirin. Para militan ISIS justru menatap matanya secara langsung.

Dia masih ingat percakapan para militan ISIS ketika memandang para wanita Yazidi. ”Salah satu berkata ‘Dia memiliki mata biru, saya suka itu. Yang lain berkomentar; 'Saya ingin yang satu dengan mata coklat’,” kata Shirin menirukan percakapan itu.


Jika mereka menyukai tampilan seorang gadis, mereka hanya akan menulis nama pada dirinya,” sambung Shirin.

Pada hari kedua, seorang pria bertopeng datang ke aula dan mulai memanggil nama-nama yang telah terdata sebelumnya. Nama pertama yang disebut adalah Malik.


Malik adalah tetangga saya dan teman saya,” ucap Shirin. ”Dia itu kecil tapi benar-benar seorang gadis manis dan cantik. Dia adalah seorang petani ulet untuk gadis seusianya. Dia tampak lebih tua meskipun baru berusia 12 tahun,” katanya.

Dia memanggil lagi, Malik, dan teman saya tidak bereaksi. Dia menyembunyikan matanya yang besar berwarna coklat di belakang rambut hitam keriting, seolah-olah dia sedang berusaha menyembunyikan dirinya,” tutur Shirin.

Malik, kata Shirin, berpura-pura tidak mengerti bahasa Arab yang digunakan para militan ISIS. Malik mengangkat bahunya seakan-akan tidak tidak mengerti bahasa itu.

Tapi orang itu (militan ISIS) salah satu tetangga kami dan dia hanya menertawakannya. Dia mengatakan; ‘Tentu saja Anda berbicara bahasa Arab, setelah Anda semua pergi ke sekolah kami kan? Dan kita semua tahu bahwa Anda adalah seorang gadis yang sangat cerdas’,” kata Shirin menirukan ucapan tetangganya yang jadi militan ISIS.

Shirin mengaku diberi obat untuk makan tanpa diberitahu fungsi obat itu.”Mereka tidak membuat saya mengantuk, saya hanya pingsan,” katanya.

Selama beberapa bulan, dia diperkosa berulang kali. Suatu malam ia terbangun dan para militan ISIS itu meninggalkannya.

Pada kesempatan itu, dia dibantu orang lain melarikan diri. Dia menempuh perjalanan jauh tanpa alas kaki. Dia akhirnya bertemu kembali dengan ayahnya di sebuah kamp pengungsi. Saya sangat senang melihat dia, tapi karena kita harus selalu menghormati orang tua, saya meraih tangannya dan menciumnya," ujarnya.


Shirin dengan keluarganya yang tersisa kemudian pergi ke Jerman. Mereka kini menetap di sana.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4424 seconds (0.1#10.140)