Cegah ISIS, Tunisia Bangun Penghalang Anti-Teror
A
A
A
TUNIS - Tunisia mengaku telah menyelesaikan bagian pertama dari penghalang anti teror sepanjang 200 km yang dibangun di sepanjang perbatasan dengan Libya. Penghalang yang terbuat dari bak pasir dan parit air ini dibangun dan dirancang untuk mencegah terorisme.
Menteri Pertahanan Tunisia mengatakan tahap kedua proyek ini akan melibatkan pemasangan peralatan elektronik dengan bantuan Jerman dan Amerika Serikat.
"Hari ini kami selesaikan penutup dan ini akan membantu kami melindungi perbatasan kita, dan menghentikan ancaman itu," kata Menteri Pertahanan Farhat Horchani, seperti dikutip dari laman BBC, Minggu (7/2/2016).
Tunisia membangun penghalang anti teror ini setelah 38 orang tewas di pantai. Puluhan orang itu tewas dibantai oleh seorang pria bersenjata yang dilaporkan telah dilatih di Libya. Pihak keamanan menyatakan bahwa penghalang anti teror ini berguna untuk mengghentikan penyelundupan.
Lebih dari 3.000 warga Tunisia telah meninggalkan negara itu untuk bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak Suriah (ISIS) dan militan Islam di Suriah dan Irak. Namun, Horchani mengatakan, banyak dari mereka telah kembali dan bergabung dengan kelompok militan di Libya.
Menteri Pertahanan Tunisia mengatakan tahap kedua proyek ini akan melibatkan pemasangan peralatan elektronik dengan bantuan Jerman dan Amerika Serikat.
"Hari ini kami selesaikan penutup dan ini akan membantu kami melindungi perbatasan kita, dan menghentikan ancaman itu," kata Menteri Pertahanan Farhat Horchani, seperti dikutip dari laman BBC, Minggu (7/2/2016).
Tunisia membangun penghalang anti teror ini setelah 38 orang tewas di pantai. Puluhan orang itu tewas dibantai oleh seorang pria bersenjata yang dilaporkan telah dilatih di Libya. Pihak keamanan menyatakan bahwa penghalang anti teror ini berguna untuk mengghentikan penyelundupan.
Lebih dari 3.000 warga Tunisia telah meninggalkan negara itu untuk bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak Suriah (ISIS) dan militan Islam di Suriah dan Irak. Namun, Horchani mengatakan, banyak dari mereka telah kembali dan bergabung dengan kelompok militan di Libya.
(ian)