Xi Jinping Temui Raja Salman, Muslim Uighur Kecewa

Jum'at, 09 Desember 2022 - 09:47 WIB
loading...
Xi Jinping Temui Raja...
Presiden China Xi Jinping bertemu Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud di istana Kerajaan Arab Saudi. Pertemuan mereka membuat kelompok Muslim Uighur kecewa. Foto/SPA
A A A
RIYADH - Presiden China Xi Jinping telah bertemu Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dalam kunjungan tiga hari ke Arab Saudi. Kedekatan para pemimpin itu membuat kelompok Muslim Uighur kecewa.

Selain bertemu Raja Salman, Xi Jinping—yang juga menjabat pemimpin Partai Komunis China—juga akan bertemu para pemimpin negara-negara Teluk dalam pertemuan puncak (KTT) China-Negara Arab.

Lebih dari 50 kelompok Uighur pada hari Kamis mendesak kepala negara dan pemimpin organisasi internasional yang akan bertemu dengan Xi Jinping untuk mengecam kejahatan dan kekejaman China terhadap minoritas Uighur.

Mereka juga mendesak para pemimpin Teluk untuk bersuara kepada Beijing agar mengakhiri genosida di wilayah Xinjiang.



Dalam kunjungannya, Xi Jinping menandatangani perjanjian kemitraan strategis komprehensif dengan Raja Salman, setuju untuk mengadakan pertemuan antara kedua kepala negara secara bergiliran setiap dua tahun.

Selama awal kunjungan, perusahaan China dan Saudi menandatangani lebih dari 30 perjanjian investasi.

Xi Jinping terakhir kali mengunjungi negara Timur Tengah itu pada 2016.

“Dalam berbagai kesempatan, organisasi Uighur telah menyatakan kekecewaan besar atas sikap diam negara-negara mayoritas Muslim atas genosida Uighur, yang melibatkan penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan orang Uighur di kamp-kamp konsentrasi, di mana mereka dipaksa untuk meninggalkan keyakinan dan praktik keagamaan mereka," bunyi pernyataan lebih dari 50 kelompok Uighur.

Lebih lanjut disebutkan bahwa pihak berwenang China telah menghancurkan atau merusak ribuan masjid dan kuburan di Xinjiang, yang oleh orang Uighur disebut sebagai Turkistan Timur, sambil melarang praktik keagamaan seperti memberi nama Islami kepada anak-anak, berpuasa selama bulan suci Ramadhan, dan memaksa umat Islam untuk makan daging babi dan minum alkohol.



Pada bulan Oktober, banyak negara mayoritas Muslim memberikan suara menentang atau abstain pada resolusi PBB yang berusaha untuk meningkatkan perdebatan di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) atas laporan mantan kepala HAM PBB tentang pelanggaran HAM di Xinjiang.

Laporan tersebut mendokumentasikan pelanggaran yang meluas termasuk penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, aborsi paksa, dan pelanggaran kebebasan beragama, dan menyimpulkan bahwa represi di sana mungkin merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Kegagalan negara-negara ini untuk memberikan ruang debat di Dewan Hak Asasi Manusia, sebuah badan yang dibentuk untuk melakukan hal itu, bertentangan dengan nilai-nilai inti dan prinsip-prinsip Islam,” lanjut pernyataan kelompok Uighur, seperti dikutip Eurasia Review, Jumat (9/12/2022).

Arab Saudi adalah rumah bagi dua tempat paling suci Islam, Makkah dan Madinah, dan keluarga Kerajaan Arab Saudi bertanggung jawab atas perwalian mereka dan memfasilitasi ziarah keagamaan di sana.

Dolkun Isa, presiden Kongres Uighur Sedunia atau WUC yang berbasis di Munich, Jerman, mengatakan China tidak hanya melakukan genosida terhadap Muslim Uighur, tetapi juga telah menyatakan perang terhadap Islam.

“Benar-benar tidak dapat diterima bahwa para pemimpin dunia Muslim akan duduk dengan diktator China di panggung yang sama dan hanya berbicara tentang bisnis dan kerja sama dengan menutup mata terhadap serangan China terhadap Islam,” katanya kepada Radio Free Asia (RFA).

Gheyyur Qurban, direktur kantor WUC di Berlin mengatakan negara-negara seperti Arab Saudi dan Iran tidak hanya tetap diam atas genosida Uighur, tetapi juga mendukung posisi pemerintah China, bahkan di PBB dengan mengorbankan sesama Muslim Uighur.

“Sangat mengecewakan melihat para pemimpin Saudi yang mengaku sebagai Pelindung Dua Kota Suci [Islam] menerima Xi Jinping, pelaku utama genosida Uighur, dengan upacara sombong dan mengizinkannya mengadakan pertemuan puncak dengan para pemimpin Timur Tengah untuk memperluas infiltrasi dan pengaruh China di jantung dunia Islam,” katanya kepada RFA.

China adalah mitra dagang utama Arab Saudi, dan kerajaan itu berfungsi sebagai sumber penting minyak mentah bagi China.

WUC, salah satu penandatangan pernyataan lebih dari 50 kelompok Uighur, juga meminta otoritas Saudi untuk tidak memulangkan empat warga Uighur yang ditahan di sana kembali ke China, dengan mengatakan ekstradisi mereka akan melanggar prinsip internasional non-refoulement.

Praktik tersebut melarang negara yang menerima pengungsi atau pencari suaka untuk mengembalikan mereka ke negara di mana mereka kemungkinan besar akan menghadapi penganiayaan.

Polisi Arab Saudi menangkap dua pria Uighur yang berasal dari Xinjiang pada November 2020 saat mereka berada di negara tersebut karena alasan agama. Penangkapan diduga dilakukan setelah Kedutaan Besar China di Arab Saudi meminta ekstradisi mereka.

Otoritas Saudi juga menangkap Abula Buheliqiemu dan putri remajanya di dekat Makkah Maret lalu.

Pihak berwenang memberi tahu keempatnya bahwa mereka menghadapi deportasi ke China.
(min)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1206 seconds (0.1#10.140)