Negara yang Pernah Mengklaim Laut Natuna Sebagai Wilayahnya, Siapa Saja?

Minggu, 02 Oktober 2022 - 06:00 WIB
loading...
Negara yang Pernah Mengklaim Laut Natuna Sebagai Wilayahnya, Siapa Saja?
Jet tempur F-16 TNI Angkatan Udara terbang di atas kapal perang TNI Angkatan Laut dalam operasi di Natuna, dekat Laut China Selatan, Indonesia, 10 Januari 2020. Foto/Antara/M Risyal Hidayat/REUTERS
A A A
NATUNA - Wilayah Kepulauan Natuna yang merupakan bagian dari negara Indonesia memiliki luas wilayah daratan dan lautan mencapai 264.198,37 kilometer persegi.

Terletak tak jauh dari Malaysia, yakni di antara 1° 16’ – 7° 19’ Lintang Utara dan 105° 00’ – 110°00’ Bujur Timur, Natuna memiliki luas laut mencapai 99 persen dari total luas wilayahnya.

Presiden Joko Widodo menegaskan wilayah Kepulauan Natuna merupakan teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kepulauan tersebut beserta perairannya secara administratif termasuk dalam Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang menjadi kabupaten terluar di sebelah utara.

Sesuai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982, Indonesia memiliki hak kedaulatan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berada di bawah ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara, tanpa boleh diganggu negara lain.

Meski begitu, ada beberapa negara yang pernah mengeklaim bahwa Laut Natuna Utara (atau Laut China Selatan) adalah miliknya. Berikut daftar negara tersebut.

1. China

Pemerintah China meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas (migas) serta pelatihan militer di Laut Natuna, pada tahun lalu, karena China mengeklaim wilayah tersebut adalah teritori mereka.

Kejadian ini bukan kali pertama. Riak konflik terjadi pada tahun 2016 silam antara Indonesia dengan China atas Natuna. Hal serupa juga terjadi tahun 2020.

China begitu agresif mengklaim Natuna sebagai wilayahnya karena potensi ikan laut Natuna mencapai 500 ton per tahun.

Natuna juga mempunyai kandungan volume gas di tempat sebanyak 222 triliun kaki kubik, ditambah lagi posisi Laut Natuna yang strategis sehingga digunakan sebagai jalur perdagangan.

Meski Mahkamah Arbitrase Internasional telah memutuskan bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk mengeklaim wilayah perairan di Laut Natuna (atau Laut China Selatan), pemerintah China tidak menerima putusan itu.

Menurut China, kawasan yang dilewati nelayan dan kapal Coast Guard miliknya di ZEE Indonesia adalah wilayah negara China berdasarkan konsep Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) yang ditetapkan sepihak oleh China (tanpa melalui UNCLOS).

Itulah yang menjadi dasar China mengklaim perairan Laut Natuna Utara.

2. Malaysia

Malaysia mengklaim sejumlah fitur maritim tertentu di Laut Cina Selatan atau Laut Natuna Utara.

Negara ini mendasarkan pada klaim terkait landas kontinen, sebagaimana didefinisikan oleh undang-undang tahun 1966, peta 1979, dan penyerahan bersama tahun 2009 dengan Vietnam kepada Komisi Batas Landas Kontinen.

Malaysia juga telah melakukan kontrol yang efektif atas fitur-fitur yang telah dipertahankan keberadaannya tersebut.

Menurut Malaysia, dilihat pada peta Asia Tenggara, terlihat jelas bahwa Kepulauan Natuna secara alami berada sejajar dengan letak negara bagian Terengganu, jika ditarik garis lurus dari pantai negara bagian ke arah timur.

Kepulauan Natuna, yang dulunya berada di bawah pengaruh Kesultanan Melayu melalui kekuasaan Yang Mulia Wan Muhammad al-Fathani, masuk dalam wilayah hukum pemerintahan Johor.

Karena itu, dikatakan Kepulauan Natuna seharusnya bersama Malaysia ketika Kesultanan Johor merdeka dalam Federasi Malaya pada tahun 1957.

Klaim Malaysia mencakup laut teritorial dua belas mil laut di sekitar dua fitur, yakni Swallow Reef yang dikendalikannya dan Amboyna Cay yang dikendalikan oleh Vietnam.

Swallow Reef, satu-satunya pulau yang jelas di antara klaim Malaysia, diduduki pada tahun 1983.

3. Vietnam

Pemerintah Vietnam menyatakan bahwa dua kepulauan, yakni Paracel dan Spratly di Laut China Selatan masuk ke wilayah mereka, bukan wilayah RRC, sejak abad ke-17.

Vietnam mengatakan memiliki dokumen sebagai bukti. Klaim Vietnam atas Laut Natuna Utara ini didasarkan pada latar belakang sejarah sewaktu Vietnam dijajah Prancis pada 1930-an.

Spratly dan Paracel pada saat itu berada di bawah kontrol Prancis. Oleh karena, setelah memperoleh kemerdekaannya, Vietnam mengeklaim kedua pulau tersebut dengan menggunakan argumen dasar landasan kontinen.

Setelah Laut China Selatan berganti nama menjadi Laut Natuna, Indonesia kedapatan menangkap dua kapal penangkap ikan berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara yang tidak dilengkapi dokumen atau izin secara resmi.

Kapal yang diisi ABK dan berkewarganegaraan Vietnam memasuki wilayah Indonesia. Mereka telah mencuri ikan sekitar 40 mile dari Pulau Laut, Kabupaten Natuna atau di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Vietnam pun mencuri ikan sebanyak 10 ton yang berada di Laut Natuna.

4. Filipina

Filipina juga memiliki klaim kedaulatan yang sama atas wilayah di Laut Natuna Utara. Klaim Filipina atas bagian timur laut Kepulauan Spratly, yang mereka sebut dengan Kelompok Pulau Kalayaan.

Klaim itu berangkat dari asumsi daerah tersebut merupakan wilayah tak bertuan setelah Jepang melepas kepemilikannya atas kepulauan tersebut dalam Perjanjian Perdamaian San Francisco tahun 1951.

Menurut Filipina, tidak ada keterangan secara eksplisit kepemilikan tersebut diberikan kepada negara bagian lain.

Ditambah lagi, ketika penjelajah Filipina bernama Tomas Cloma menyatakan kepemilikan atas 33 fitur maritim di Kepulauan Spratly pada tahun 1956, tidak ada negara lain yang memiliki klaim sah atas mereka.

Secara resmi, Filipina mengklaim 8 pulau di Spratly sebagai bagian dari provinsi Palawan. Demi menjaga wilayah teritorinya, pada 1986, Filipina mengirimkan pasukannya untuk menjaga wilayah di Spratly.

5. Brunei Darussalam

Tidak lama setelah merdeka dari Inggris pada 1984, Brunei memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut China Selatan (LCS).

Menurut Brunei, perairan LCS masih dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negaranya, seperti yang ditetapkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982.

Mereka mengeklaim struktur-struktur laut, seperti Bombay Castle, Louisa Reef, Owen Shoal. Brunei juga mengeklaim bagian dari wilayah yang dikenal sebagai Rifleman Bank, yang sepenuhnya tenggelam, sebagai bagian dari landas kontinennya yang diperpanjang.

Meski demikian, Brunei hanya resmi mengatasnamakan Louisa Reef. Pada 1992, Brunei mengatakan hanya mengklaim perairan di sekitar Louisa Reef, bukan terumbu itu sendiri.
(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1717 seconds (0.1#10.140)