Prediksi Mengerikan Perang Nuklir AS dan Rusia, 5 Miliar Orang akan Mati Kelaparan

Selasa, 16 Agustus 2022 - 11:17 WIB
loading...
Prediksi Mengerikan Perang Nuklir AS dan Rusia, 5 Miliar Orang akan Mati Kelaparan
Efek musim dingin nuklir mengakibatkan krisis pangan dan kelaparan bisa membunuh 5 miliar orang di dunia. Foto/unrevealedfiles.com
A A A
WASHINGTON - Setelah perang nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia, lebih dari 5 miliar orang bisa mati kelaparan karena abu dan jelaga dari kota-kota yang terbakar memasuki atmosfer dan menghalangi sinar matahari.

Prediksi mengerikan itu diungkapkan dalam penelitian yang diterbitkan pada Senin (15/8/2022) di jurnal Nature Food.

Banyak spekulasi saat ini tentang perang nuklir berfokus pada kengerian saat pengeboman itu sendiri.



Namun penelitian ini, yang dilakukan para pakar di Universitas Rutgers di AS, menunjukkan penderitaan yang sebenarnya akan datang pada tahun-tahun setelah konflik.

Setelah perang dahsyat, ketika terputusnya rantai pasokan rantai dan kehancuran infrastruktur lokal akan diperparah efek musim dingin nuklir pada tanaman pangan.

Efek pendinginan yang akan tercipta ketika abu dari bom nuklir memasuki atmosfer akan mencapai puncaknya dalam satu atau dua tahun, tetapi penurunan suhu akan berlangsung selama lebih dari satu dekade dan juga akan melibatkan pengurangan curah hujan, menurut model yang digunakan oleh peneliti.



Fluktuasi sumber makanan utama, termasuk jagung, beras, gandum musim semi, dan kedelai, serta padang rumput ternak dan perikanan, semuanya diperhitungkan dalam model tersebut.

Sementara distribusi makanan di antara negara-negara yang tidak langsung terlibat dalam perang nuklir akan bergantung sebagian pada aliansi politik yang ada, rute perdagangan, dan faktor manusia lainnya yang tidak dapat dimasukkan ke dalam model iklim yang digunakan dalam penelitian ini.

Pola cuaca dalam model menunjukkan angin menggerakkan awan asap dan abu ke langit di atas negara produsen makanan utama seperti AS, China, Jerman, dan Inggris, hingga akhirnya mengakibatkan penurunan 90% pasokan pangan dunia.

AS dan Rusia, keduanya pengekspor makanan utama, akan melihat kapasitas produksi pangan mereka terganggu jika tidak sepenuhnya dihancurkan oleh perang nuklir itu sendiri.

Dampaknya akan sangat menghancurkan bagi negara-negara yang bergantung pada impor pangan untuk bertahan hidup.

"Data memberitahu kita satu hal: Kita harus mencegah perang nuklir terjadi," ujar profesor ilmu iklim dan rekan penulis studi Alan Robock.

Memusnahkan umat manusia sepenuhnya akan membutuhkan persenjataan seukuran negara adidaya.

“Meski demikian, perang nuklir antara negara-negara yang tidak terlalu bersenjata, seperti India dan Pakistan, akan membuat wilayah pertanian utama tidak dapat digunakan selama bertahun-tahun, memicu krisis pengungsi besar, serta efek musim dingin nuklir, bisa membuat sebanyak 2 miliar orang kelaparan,” ungkap para peneliti.

Dampak seperti itu akan mewakili “hanya” penurunan global 7% dalam hasil panen, tetapi masih jauh lebih buruk daripada gangguan apa pun terhadap pasokan pangan dunia yang pernah dimodelkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Efek pendinginan abu yang memasuki atmosfer bumi sebelumnya telah tercatat setelah letusan gunung berapi besar seperti Gunung Tambora di Indonesia pada tahun 1815 dan Laki di Islandia pada tahun 1783, yang keduanya mengakibatkan kelaparan dan pergolakan politik.

Memang, para pendukung perubahan iklim sebenarnya telah mengusulkan menggunakan taktik seperti itu untuk mendinginkan planet secara artifisial.

Eksperimen oleh para ilmuwan Universitas Harvard saat ini sedang dilakukan untuk menguji apakah penyuntikan kalsium karbonat ke atmosfer dapat memantulkan cukup banyak sinar matahari dari bumi untuk mendinginkan planet ini.

Hal ini mengkhawatirkan para ahli yang memperingatkan mengisi atmosfer dengan materi partikulat mungkin memiliki hasil yang tidak terduga dan kemungkinan besar akan melontarkan Bumi ke dalam ketidakstabilan klimatologis lebih lanjut.

(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1234 seconds (0.1#10.140)