Diam-diam, Para Pakar Teknologi Israel Kunjungi Indonesia dan Bangun Relasi
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Para profesional teknologi dan pejabat perdagangan Israel dilaporkan mengunjungi Indonesia bulan Juli lalu untuk mengeksplorasi investasi, usaha teknologi, dan inisiatif dampak sosial.
Diselenggarakan Israel-Asia Centre (IAC), program online selama tiga bulan juga diselenggarakan dan dihadiri hampir 100 orang Israel dan Indonesia.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Israel-Asia Center Rebecca Zeffert mencatat meskipun kurangnya hubungan diplomatik, masih ada "potensi luar biasa yang belum dimanfaatkan dalam pendidikan, fintech, keamanan siber, kecerdasan buatan (AI), mobilitas, perawatan kesehatan, agritech, dan teknologi air."
"Program online adalah kesempatan bagi peserta dari kedua belah pihak untuk menceburkan diri ke dalam air, tetapi perjalanan tersebut, secara langsung, membawa hubungan ini ke tingkat yang sama sekali baru," ujar dia.
"Ini adalah pertama kalinya sebagian besar dari kami bertemu langsung setelah berbulan-bulan, dan dalam beberapa kasus, bertahun-tahun, bekerja sama sepenuhnya secara online, dan energinya benar-benar elektrik! Semua orang sangat senang akhirnya bisa bertemu langsung," papar dia kepada Times of Israel.
Sebagai bagian dari perjalanan, delegasi Israel bertemu dengan para pemimpin bisnis lokal, rektor universitas, pengusaha dan investor, serta mengunjungi pusat-pusat startup dan akselerator di ibukota Indonesia, Jakarta.
Menurut Israel-Asia Center, perdagangan Israel-Indonesia mencapai sekitar USD500 juta per tahun.
Pada tahun 2030, Indonesia diharapkan memiliki ekonomi terbesar kelima di dunia. Selain itu, ekonomi internet Indonesia tumbuh sebesar 49% per tahun dan akan mencapai USD330 miliar dalam delapan tahun ke depan.
“Jika semua ini dicermati, maka tidak heran jika ekonomi digital Indonesia mengalami pertumbuhan yang masif, terutama pasca-COVID,” tambah Rebecca.
Perjalanan itu dilakukan di tengah spekulasi bahwa negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini mungkin ingin menormalkan hubungan dengan Israel, menyusul Kesepakatan Abraham yang ditengahi Amerika Serikat (AS) yang melihat Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Sudan dan Maroko membangun hubungan dengan Israel pada 2020.
Namun, seorang anggota parlemen senior Indonesia menekankan awal tahun ini bahwa RI tidak akan pernah menormalkan hubungan dengan Israel dan menegaskan klaim bahwa AS menawarkan Jakarta USD2 miliar untuk melakukannya.
Diselenggarakan Israel-Asia Centre (IAC), program online selama tiga bulan juga diselenggarakan dan dihadiri hampir 100 orang Israel dan Indonesia.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Israel-Asia Center Rebecca Zeffert mencatat meskipun kurangnya hubungan diplomatik, masih ada "potensi luar biasa yang belum dimanfaatkan dalam pendidikan, fintech, keamanan siber, kecerdasan buatan (AI), mobilitas, perawatan kesehatan, agritech, dan teknologi air."
"Program online adalah kesempatan bagi peserta dari kedua belah pihak untuk menceburkan diri ke dalam air, tetapi perjalanan tersebut, secara langsung, membawa hubungan ini ke tingkat yang sama sekali baru," ujar dia.
"Ini adalah pertama kalinya sebagian besar dari kami bertemu langsung setelah berbulan-bulan, dan dalam beberapa kasus, bertahun-tahun, bekerja sama sepenuhnya secara online, dan energinya benar-benar elektrik! Semua orang sangat senang akhirnya bisa bertemu langsung," papar dia kepada Times of Israel.
Sebagai bagian dari perjalanan, delegasi Israel bertemu dengan para pemimpin bisnis lokal, rektor universitas, pengusaha dan investor, serta mengunjungi pusat-pusat startup dan akselerator di ibukota Indonesia, Jakarta.
Menurut Israel-Asia Center, perdagangan Israel-Indonesia mencapai sekitar USD500 juta per tahun.
Pada tahun 2030, Indonesia diharapkan memiliki ekonomi terbesar kelima di dunia. Selain itu, ekonomi internet Indonesia tumbuh sebesar 49% per tahun dan akan mencapai USD330 miliar dalam delapan tahun ke depan.
“Jika semua ini dicermati, maka tidak heran jika ekonomi digital Indonesia mengalami pertumbuhan yang masif, terutama pasca-COVID,” tambah Rebecca.
Perjalanan itu dilakukan di tengah spekulasi bahwa negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini mungkin ingin menormalkan hubungan dengan Israel, menyusul Kesepakatan Abraham yang ditengahi Amerika Serikat (AS) yang melihat Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Sudan dan Maroko membangun hubungan dengan Israel pada 2020.
Namun, seorang anggota parlemen senior Indonesia menekankan awal tahun ini bahwa RI tidak akan pernah menormalkan hubungan dengan Israel dan menegaskan klaim bahwa AS menawarkan Jakarta USD2 miliar untuk melakukannya.
(sya)