Iran dan Rusia Bekerja Sama Lebih Erat Melawan Sanksi Barat

Sabtu, 25 Juni 2022 - 01:11 WIB
loading...
Iran dan Rusia Bekerja Sama Lebih Erat Melawan Sanksi Barat
Menlu Rusia Sergey Lavrov dan Menlu Iran Hossein Amir-Abdollahian. Foto/Kemlu Rusia
A A A
TEHERAN - Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov mengunjungi Teheran, Iran, pada Jumat (24/6/2022). Rusia dan Iran membahas prospek memperkuat kemitraan mereka di tengah sanksi Barat terhadap kedua negara.

Pertanyaan sulit tentang negosiasi yang hampir beku tentang kesepakatan nuklir Iran juga diangkat.

“Moskow dan Teheran juga sepakat menyalahkan Amerika Serikat (AS) atas turbulensi saat ini dan untuk semua konflik regional dari Ukraina hingga Timur Tengah,” tulis laporan Kommersant.



Teheran, yang telah berada di bawah sanksi selama lebih dari 40 tahun, memahami realitas baru, yang harus diadaptasi mitra Rusianya lebih dari di tempat lain.

Menlu Iran berjanji selama konferensi pers setelah pembicaraannya dengan Lavrov bahwa Rusia dan Iran akan mengambil tindakan bersama untuk menetralisir sanksi Barat.



Negara-negara tersebut membahas prospek mengembangkan kerja sama ekonomi antara Moskow dan Teheran, serta kemitraan regional.

Misalnya, dalam kerangka Uni Ekonomi Eurasia, perjanjian perdagangan bebas sedang dikerjakan.



Organisasi Kerjasama Shanghai juga merupakan kelompok, yang rencananya akan diikuti Iran. Menurut Lavrov, proses ini "tidak boleh terlalu lama".

“Meskipun berada di bawah sanksi, Iran telah berhasil mengembangkan sejumlah industri, memastikan ketahanan pangannya, dan tidak menjauhkan diri dari prioritas politik luar dan dalam negerinya. Artinya, memiliki sumber daya yang lebih sederhana daripada Rusia, Teheran berhasil menahan sanksi serius," ungkap Direktur Program di Dewan Urusan Internasional Rusia Ivan Timofeev mengatakan kepada Kommersant.

"Tetapi pelajaran utama yang dapat dipetik dari pengalaman Iran adalah semua perjanjian untuk mencabut atau melonggarkan sanksi tidak dapat dipertahankan," ujar pakar itu.

Sementara itu, Menlu Rusia Sergey Lavrov menegaskan tindakan yang diambil Uni Eropa (UE) dan NATO pada dasarnya sama dengan pembentukan "koalisi baru" yang menargetkan Moskow.

Pernyataan Lavrov pada Jumat (24/6/2022) itu membandingkan langkah-langkah yang diambil Brussels dengan tindakan diktator Nazi Jerman Adolf Hilter sebelum menyerang Uni Soviet.

Menurut Lavrov, Moskow “tidak memiliki ilusi” tentang prospek “sentimen Russophobic” di UE menghilang dalam waktu dekat.

“Rusia akan dengan cermat mengikuti semua langkah nyata yang diambil blok itu dan negara-negara kandidatnya,” papar dia, menyebut kemungkinan referensi ke Ukraina, yang diberikan status pencalonan anggota Uni Eropa pada Kamis.

“Hitler mengumpulkan bagian penting, jika bukan sebagian besar, dari negara-negara Eropa di bawah panjinya untuk perang melawan Uni Soviet,” ujar menteri luar negeri Rusia.

Dia menambahkan, “Sekarang, UE bersama NATO membentuk koalisi lain, modern, untuk kebuntuan dan, pada akhirnya, perang dengan Federasi Rusia.”

Pernyataan Lavrov datang hanya satu hari setelah dia mencap proposal untuk membentuk koalisi angkatan laut internasional untuk mengawal kapal yang membawa gandum Ukraina melalui Laut Hitam sebagai upaya campur tangan di wilayah itu dalam naungan PBB.

“Skema semacam itu tidak diperlukan untuk memfasilitasi ekspor biji-bijian Ukraina,” tutur dia.

Dia menjelaskan, Moskow menjamin keamanan kapal sampai ke Selat Bosphorus, jalur akses utama Laut Hitam yang dikendalikan Turki.

Awal bulan ini, Lavrov juga menyatakan Washington berusaha menggunakan konflik di Ukraina untuk mencabut status independen Rusia di arena internasional dan memaksanya bermain dengan aturan yang ditetapkan AS.

Dia memperingatkan, Amerika dan sekutunya tidak akan berhasil dalam upaya seperti itu.

Rusia menyerang negara tetangga pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.

Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.

Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.

Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.

AS dan sekutunya bereaksi terhadap perkembangan tersebut dengan memberikan sanksi kepada Rusia yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sanksi Barat menargetkan sektor perbankan dan keuangannya serta industri penerbangan dan luar angkasa.

AS dan Kanada memberlakukan embargo impor minyak dan gas dari Rusia. Uni Eropa mengikuti dengan memperkenalkan embargo parsial pada minyak Rusia pada awal Juni.

Negara-negara Barat juga telah memasok senjata ke Ukraina sejak dimulainya operasi militer Rusia di sana.

(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1160 seconds (0.1#10.140)