Europol Khawatir Senjata Barat di Ukraina Bisa Jatuh ke Tangan Penjahat
loading...
A
A
A
BRUSSELS - Kepala Europol Catherine De Bolle memperingatkan bahwa senjata yang saat ini dikirim ke Ukraina pada akhirnya bisa berakhir di tangan penjahat yang beroperasi di benua Eropa.
Dalam wawancaranya dengan surat kabar Jerman Welt am Sonntag yang diterbitkan pada Sabtu (28/5/2022), De Bolle mengatakan, “Salah satu hal yang menjadi perhatian Europol adalah keberadaan senjata yang saat ini sedang dikirim ke Ukraina.”
Dia menjelaskan, “Ketika konflik berakhir, Europol ingin mencegah situasi yang mirip dengan 30 tahun yang lalu dalam perang Balkan.”
“Senjata dari perang itu masih digunakan oleh kelompok kriminal hari ini,” papar dia.
De Bolle mencatat, “Salah satu prioritas utama Europol sekarang adalah menemukan cara di mana kita akan menghadapi situasi setelah kemungkinan berakhirnya perang.”
“Europol akan membentuk satuan tugas internasional yang akan menangani masalah ini,” ungkap dia.
Pejabat itu mengakui Eropa saat ini melihat tingkat kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya di jalanan, mirip dengan situasi yang terlihat sejauh ini hanya di negara-negara Amerika Latin.
De Bolle juga mengatakan, “Korupsi di Uni Eropa berada pada skala yang lebih besar dari yang kita duga.”
“Lebih dari separuh organisasi kriminal yang diamati Europol menggunakan jasa pejabat korup dalam satu atau lain cara untuk memfasilitasi bisnis ilegal mereka,” papar kepala Europol tersebut.
“Terkait konflik yang sedang berlangsung di Ukraina, area utama lain yang menjadi perhatian Europol, selain senjata, adalah perjalanan teroris yang dikenal dan individu ekstremis yang siap menggunakan kekerasan di zona perang,” papar De Bolle.
Dia mengatakan, “Ketika Pusat Kontraterorisme Europol memantau fenomena tersebut dengan sangat cermat, situasinya sangat dinamis dan terfragmentasi.”
“Badan penegak hukum UE sejauh ini tidak dapat menunjukkan dengan tepat jumlah orang-orang seperti itu karena masing-masing negara Eropa memberikan data yang berbeda kepada Europol,” ujar De Bolle.
Menurut penilaian pejabat tersebut, orang-orang yang akan berperang di Ukraina tidak mewakili kelompok yang homogen, melainkan menganut ideologi yang berbeda.
Dia juga mencatat Europol melihat beberapa pejuang ini kembali ke negara asal mereka dengan “kecewa”, setelah melihat secara langsung “kebrutalan perang.”
“Meski Europol telah melihat peningkatan serangan siber di berbagai negara anggota UE sejak Rusia memulai serangannya di Ukraina pada akhir Februari, serangan skala besar yang mempengaruhi semua 27 negara, yang diperkirakan badan tersebut, belum terwujud,” ujar De Bolle kepada wartawan.
Sejak Moskow melancarkan operasi militernya terhadap tetangganya, sejumlah negara anggota UE, serta Inggris dan AS telah secara aktif memasok senjata ke Kiev.
Selama bulan pertama konflik, sebagian besar pendukung Ukraina menyediakan negara itu dengan rudal anti-tank dan anti-pesawat portable.
Baru-baru ini, fokus Barat telah bergeser untuk memberikan senjata berat ke Ukraina.
Awal bulan ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menandatangani Draf Undang-Undang Pinjam-Sewa menjadi undang-undang, dengan tujuan mempercepat pengiriman peralatan militer ke Ukraina.
Pada 21 Mei, Biden juga menyetujui undang-undang yang mengalokasikan bantuan tambahan sebesar USD40 miliar untuk Kiev.
Rusia bersikeras pengiriman senjata Barat hanya berfungsi memperpanjang konflik. Selain itu, Kremlin juga berulang kali memperingatkan senjata yang dipasok ke pasukan Ukraina pada akhirnya bisa jatuh ke tangan teroris dan penjahat di tempat lain.
Yang menjadi perhatian khusus, menurut pejabat Rusia, adalah pasokan rudal antipesawat portabel ke Kiev yang berpotensi digunakan teroris untuk menargetkan pesawat sipil.
Dalam wawancaranya dengan surat kabar Jerman Welt am Sonntag yang diterbitkan pada Sabtu (28/5/2022), De Bolle mengatakan, “Salah satu hal yang menjadi perhatian Europol adalah keberadaan senjata yang saat ini sedang dikirim ke Ukraina.”
Dia menjelaskan, “Ketika konflik berakhir, Europol ingin mencegah situasi yang mirip dengan 30 tahun yang lalu dalam perang Balkan.”
“Senjata dari perang itu masih digunakan oleh kelompok kriminal hari ini,” papar dia.
De Bolle mencatat, “Salah satu prioritas utama Europol sekarang adalah menemukan cara di mana kita akan menghadapi situasi setelah kemungkinan berakhirnya perang.”
“Europol akan membentuk satuan tugas internasional yang akan menangani masalah ini,” ungkap dia.
Pejabat itu mengakui Eropa saat ini melihat tingkat kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya di jalanan, mirip dengan situasi yang terlihat sejauh ini hanya di negara-negara Amerika Latin.
De Bolle juga mengatakan, “Korupsi di Uni Eropa berada pada skala yang lebih besar dari yang kita duga.”
“Lebih dari separuh organisasi kriminal yang diamati Europol menggunakan jasa pejabat korup dalam satu atau lain cara untuk memfasilitasi bisnis ilegal mereka,” papar kepala Europol tersebut.
“Terkait konflik yang sedang berlangsung di Ukraina, area utama lain yang menjadi perhatian Europol, selain senjata, adalah perjalanan teroris yang dikenal dan individu ekstremis yang siap menggunakan kekerasan di zona perang,” papar De Bolle.
Dia mengatakan, “Ketika Pusat Kontraterorisme Europol memantau fenomena tersebut dengan sangat cermat, situasinya sangat dinamis dan terfragmentasi.”
“Badan penegak hukum UE sejauh ini tidak dapat menunjukkan dengan tepat jumlah orang-orang seperti itu karena masing-masing negara Eropa memberikan data yang berbeda kepada Europol,” ujar De Bolle.
Menurut penilaian pejabat tersebut, orang-orang yang akan berperang di Ukraina tidak mewakili kelompok yang homogen, melainkan menganut ideologi yang berbeda.
Dia juga mencatat Europol melihat beberapa pejuang ini kembali ke negara asal mereka dengan “kecewa”, setelah melihat secara langsung “kebrutalan perang.”
“Meski Europol telah melihat peningkatan serangan siber di berbagai negara anggota UE sejak Rusia memulai serangannya di Ukraina pada akhir Februari, serangan skala besar yang mempengaruhi semua 27 negara, yang diperkirakan badan tersebut, belum terwujud,” ujar De Bolle kepada wartawan.
Sejak Moskow melancarkan operasi militernya terhadap tetangganya, sejumlah negara anggota UE, serta Inggris dan AS telah secara aktif memasok senjata ke Kiev.
Selama bulan pertama konflik, sebagian besar pendukung Ukraina menyediakan negara itu dengan rudal anti-tank dan anti-pesawat portable.
Baru-baru ini, fokus Barat telah bergeser untuk memberikan senjata berat ke Ukraina.
Awal bulan ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menandatangani Draf Undang-Undang Pinjam-Sewa menjadi undang-undang, dengan tujuan mempercepat pengiriman peralatan militer ke Ukraina.
Pada 21 Mei, Biden juga menyetujui undang-undang yang mengalokasikan bantuan tambahan sebesar USD40 miliar untuk Kiev.
Rusia bersikeras pengiriman senjata Barat hanya berfungsi memperpanjang konflik. Selain itu, Kremlin juga berulang kali memperingatkan senjata yang dipasok ke pasukan Ukraina pada akhirnya bisa jatuh ke tangan teroris dan penjahat di tempat lain.
Yang menjadi perhatian khusus, menurut pejabat Rusia, adalah pasokan rudal antipesawat portabel ke Kiev yang berpotensi digunakan teroris untuk menargetkan pesawat sipil.
(sya)