Turki Siap Jadi Tuan Rumah Perundingan Baru Rusia dan Ukraina
loading...
A
A
A
ANKARA - Turki siap menjadi tuan rumah babak baru negosiasi antara Ukraina dan Rusia di Istanbul. Tawaran itu diungkapkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Senin (30/5/2022).
Erdogan membuat tawaran itu kepada Presiden Rusia Vladimir Putin selama panggilan telepon.
Proses perdamaian tampaknya membuat beberapa kemajuan sebelum pembicaraan gagal, bulan lalu.
“Presiden Erdogan menyatakan kesiapan Turki, jika pada prinsipnya disepakati oleh kedua belah pihak, untuk bertemu dengan Rusia, Ukraina dan PBB di Istanbul, dan mengambil peran dalam mekanisme pengamatan yang memungkinkan,” ungkap direktorat komunikasi kepresidenan Turki dalam pernyataan yang dilansir RT.com.
Erdogan mencatat, “Perlunya langkah-langkah yang akan meminimalkan efek negatif perang dan membangun kepercayaan dengan memulihkan sesegera mungkin landasan perdamaian antara Rusia dan Ukraina.”
Moskow belum mengomentari proposal Turki, dengan pernyataan Kremlin tentang pembicaraan tidak menyebutkannya sama sekali.
Menurut siaran pers, bagian Ukraina dari panggilan telepon Putin-Erdogan sebagian besar berkisar pada keselamatan pelayaran di Laut Hitam dan Azov, serta masalah ranjau.
“Vladimir Putin menggarisbawahi kesiapan pihak Rusia untuk memfasilitasi transit barang maritim tanpa hambatan dalam koordinasi dengan mitra Turki. Ini juga berlaku untuk ekspor biji-bijian dari pelabuhan Ukraina,” papar pernyataan pemerintah Turki.
Turki telah mengambil sikap netral secara eksplisit dalam permusuhan yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina yang pecah pada akhir Februari.
Ankara telah mempertahankan hubungan dengan kedua belah pihak, tidak bergabung dengan sanksi Barat terhadap Moskow dan berusaha mengambil peran sebagai mediator dalam konflik tersebut.
Pada akhir Maret, Turki menjadi tuan rumah pembicaraan tingkat tinggi Rusia-Ukraina yang pada akhirnya gagal menghasilkan terobosan apa pun, meskipun kedua pihak mengisyaratkan kemajuan tertentu.
Sejak itu, proses negosiasi terhenti, dengan Kiev dan Moskow saling menyalahkan atas kurangnya kemajuan.
Rusia menyerang negara tetangga tersebut menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada tahun 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Erdogan membuat tawaran itu kepada Presiden Rusia Vladimir Putin selama panggilan telepon.
Proses perdamaian tampaknya membuat beberapa kemajuan sebelum pembicaraan gagal, bulan lalu.
“Presiden Erdogan menyatakan kesiapan Turki, jika pada prinsipnya disepakati oleh kedua belah pihak, untuk bertemu dengan Rusia, Ukraina dan PBB di Istanbul, dan mengambil peran dalam mekanisme pengamatan yang memungkinkan,” ungkap direktorat komunikasi kepresidenan Turki dalam pernyataan yang dilansir RT.com.
Erdogan mencatat, “Perlunya langkah-langkah yang akan meminimalkan efek negatif perang dan membangun kepercayaan dengan memulihkan sesegera mungkin landasan perdamaian antara Rusia dan Ukraina.”
Moskow belum mengomentari proposal Turki, dengan pernyataan Kremlin tentang pembicaraan tidak menyebutkannya sama sekali.
Menurut siaran pers, bagian Ukraina dari panggilan telepon Putin-Erdogan sebagian besar berkisar pada keselamatan pelayaran di Laut Hitam dan Azov, serta masalah ranjau.
“Vladimir Putin menggarisbawahi kesiapan pihak Rusia untuk memfasilitasi transit barang maritim tanpa hambatan dalam koordinasi dengan mitra Turki. Ini juga berlaku untuk ekspor biji-bijian dari pelabuhan Ukraina,” papar pernyataan pemerintah Turki.
Turki telah mengambil sikap netral secara eksplisit dalam permusuhan yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina yang pecah pada akhir Februari.
Ankara telah mempertahankan hubungan dengan kedua belah pihak, tidak bergabung dengan sanksi Barat terhadap Moskow dan berusaha mengambil peran sebagai mediator dalam konflik tersebut.
Pada akhir Maret, Turki menjadi tuan rumah pembicaraan tingkat tinggi Rusia-Ukraina yang pada akhirnya gagal menghasilkan terobosan apa pun, meskipun kedua pihak mengisyaratkan kemajuan tertentu.
Sejak itu, proses negosiasi terhenti, dengan Kiev dan Moskow saling menyalahkan atas kurangnya kemajuan.
Rusia menyerang negara tetangga tersebut menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada tahun 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
(sya)