Pemimpin Tertinggi Taliban Desak Dunia Akui Pemerintahannya

Jum'at, 29 April 2022 - 20:38 WIB
loading...
Pemimpin Tertinggi Taliban Desak Dunia Akui Pemerintahannya
Pemimpin tertinggi Taliban desak dunia akui pemerintahannya. Foto/Ilustrasi
A A A
KABUL - Pemimpin tertinggi kelompok Taliban kembali menyerukan masyarakat internasional untuk mengakui pemerintahannya, dengan mengatakan dunia telah menjadi "desa kecil" dan hubungan diplomatik yang tepat akan membantu memecahkan masalah negara itu.

Hingga saat ini tidak ada negara yang secara resmi mengakui rezim Taliban setelah mereka merebut kekuasaan pada Agustus tahun lalu dan memperkenalkan kembali aturan Islam garis keras yang semakin mengecualikan perempuan dari kehidupan publik.

Dalam sebuah pesan tertulis menjelang libur Idul Fitri yang menandai akhir Ramadhan, pemimpin tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada tidak menyebutkan poin-poin internasional yang mencuat termasuk membuka kembali sekolah menengah untuk anak perempuan.

Sebaliknya, dia mengatakan pengakuan harus didahulukan agar dapat mengatasi masalah secara formal dan dalam norma serta prinsip diplomatik.

"Tidak diragukan lagi, dunia telah berubah menjadi sebuah desa kecil," kata Akhundzada, yang tidak terlihat di depan umum selama bertahun-tahun dan tinggal menyendiri di Kandahar, jantung spiritual Taliban.



" Afghanistan memiliki perannya dalam perdamaian dan stabilitas dunia. Menurut kebutuhan ini, dunia harus mengakui Imarah Islam Afghanistan," serunya seperti dikutip dari France24, Jumat (28/4/2022).

Pesan Idul Fitri itu datang ketika negara tersebut telah diguncang oleh serangkaian ledakan bom, beberapa diantaranya diklaim oleh kelompok ISIS dan menargetkan komunitas minoritas Syiah Hazara.

Akhundzada tidak menyebutkan ketidakamanan, tetapi mengatakan negara itu telah mampu membangun tentara Islam dan nasional yang kuat, serta organisasi intelijen yang kuat.

Pesan Idul Fitri Akhundzada tidak menyentuh sekolah perempuan, tetapi dia mengatakan pihak berwenang membuka pusat dan madrasah baru untuk pendidikan agama dan modern.

"Kami menghormati dan berkomitmen untuk semua hak syariah pria dan wanita di Afghanistan... jangan gunakan masalah kemanusiaan dan emosional ini sebagai alat untuk tujuan politik," katanya.



Namun dia mengatakan orang harus rela merangkul cita-cita Taliban, dan tidak dipaksa.

“Otoritas terkait harus mengajak masyarakat menuju syariah dengan hikmah dan menghindari ekstremisme dalam hal ini,” tambahnya.

Dia juga mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk kebebasan berbicara sesuai dengan nilai-nilai Islam, meskipun ratusan outlet berita telah ditutup, siaran musik publik dilarang, dan film serta drama TV yang menampilkan wanita dihentikan penayangannya.

Banyak komunitas internasional menginginkan bantuan dan pengakuan kemanusiaan dikaitkan dengan pemulihan hak-hak perempuan.

Puluhan ribu wanita kehilangan pekerjaan pemerintah mereka setelah pengambilalihan Taliban, dan mereka juga dilarang meninggalkan negara itu atau bahkan bepergian antar kota kecuali ditemani oleh kerabat laki-laki.



Pada bulan Maret, Taliban memicu kemarahan global dengan menutup semua sekolah menengah untuk anak perempuan hanya beberapa jam setelah mengizinkan mereka untuk membuka kembali pertama kalinya sejak merebut kekuasaan.

Beberapa pejabat Taliban mengatakan larangan itu secara pribadi diperintahkan oleh Akhundzada.

Akhundzada, yang diyakini berusia 70-an tahun, telah menjadi pemimpin spiritual gerakan Islam garis keras itu sejak 2016, tetapi tetap dalam bayang-bayang meskipun Taliban menikmati sebagian besar kekuatan yang tidak terbantahkan.

Ketidakhadirannya dari kehidupan publik telah menimbulkan spekulasi bahwa dia mungkin sudah mati dan dekritnya adalah produk dari sebuah komite.

Namun, pada bulan Oktober Taliban merilis rekaman audio yang mereka katakan adalah dia sedang berbicara di sebuah madrasah di Kandahar.



(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1725 seconds (0.1#10.140)