Sejarah Sanksi yang Kini Menghajar Rusia, Ternyata Muncul sejak Perang Dunia I
loading...
A
A
A
MOSKOW - Sebanyak 48 negara dan teritori asing ramai-ramai menghajar Rusia dengan sanksi ekonomi karena menginvasi Ukraina . Sanksi atau hukuman ternyata sudah muncul sejak Perang Dunia (PD) I sekitar tahun 1930-an.
Sanksi, terutama sanksi ekonomi, diterapkan oleh satu atau lebih negara terhadap negara, kelompok, perusahaan, atau pun individu yang memiliki kaitan dengan pemerintahan yang ditargetkan. Ini seperti yang dialami Rusia saat ini.
Meski dinamai sebagai sanksi ekonomi, hukuman ini tidak selalu disebabkan karena masalah persaingan ekonomi. Namun, kebanyakan justru dipicu oleh masalah politik, militer, dan sosial.
Hukuman ekonomi mencakup berbagai bentuk hambatan perdagangan, tarif, dan pembatasan transaksi keuangan dan meluas hingga ke larangan perjalanan terhadap target.
Ada juga hukuman yang dikenal sebagai embargo. Ini biasanya merepresentasikan pada sanksi yang lebih berat, seperti embargo minyak dan embargo senjata.
Sejarah Sanksi
Sanksi awalnya muncul selama PD I berupa blokade atau isolasi. Penjatuhan sanksi pada masa itu melalui organisasi internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa—pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Penjatuhannya kerap menjadi perdebatan setelah berakhirnya PD I.
Sanksi pernah dijatuhkan Liga Bangsa-Bangsa terhadap Italia pimpinan Mussolini terkait krisis Abyssinia pada tahun 1935. Dasar penjatuhan sanksi kala itu adalah Pasal 16 Kovenan.
Praktik sanksi saat itu termasuk penutupan Terusan Suez ke Italia. Bagaimana pun, sanksi tersebut tidak mempraktikkan penghentian pasokan minyak ke pemerintahan Mussolini.
Sanksi dicabut pada tahun 1936 dan Italia meninggalkan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1937.
Setelah Perang Dunia II pada 1945, riwayat Liga Bangsa-Bangsa berakhir karena digantikan oleh PBB.
Berbau Politik
Di era modern, sanksi ekonomi digunakan sebagai alat kebijakan luar negeri oleh banyak pemerintah.
Biasanya, sanksi ekonomi dijatuhkan oleh negara yang lebih besar dari segi ekonomi dan militer terhadap negara yang lebih kecil karena dua alasan.
Pertama, negara target dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara pemberi sanksi. Kedua, negara target dianggap memperlakukan warganya secara tidak adil atau melanggar hak asasi manusia (HAM). Ini yang dilakukan Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk China, Korea Utara, Iran, Suriah, Rusia, Kuba, Venezuela, Afghanistan dan lain-lain.
Parahnya, penjatuhan sanksi di era sekarang sering dilakukan secara sepihak oleh negara besar tanpa mandat PBB. Contoh, AS merancang undang-undang sanksi yang menargetkan sektor senjata Rusia dengan alasan menjadi ancaman keamanan nasional Amerika meski menurut Moskow itu hanya karena persaingan bisnis persenjataan militer.
Efektivitas Sanksi Ekonomi
Menurut riset dari pakar Matthias Neuenkirch dan Florian Neumeier tahun 2015, sanksi ekonomi AS dan PBB memiliki dampak signifikan secara statistik terhadap ekonomi negara-negara target karena memangkas pertumbuhan PDB rata-rata 3 poin persentase per tahun.
Studi ini juga menyimpulkan bahwa efek negatif biasanya berlangsung selama sepuluh tahun dengan jumlah penurunan agregat dalam PDB per kapita negara target sebesar 25,5 persen.
Pemberlakuan sanksi terhadap lawan sebenarnya juga memengaruhi perekonomian negara yang memberlakukannya. Jika pembatasan impor diumumkan, konsumen di negara yang memberlakukan pembatasan tersebut kemungkinan memiliki pilihan barang yang terbatas.
Jika pembatasan ekspor diberlakukan atau jika sanksi melarang perusahaan di negara yang memberlakukan perdagangan dengan negara target, negara yang memberlakukan dapat kehilangan pasar dan peluang investasi ke negara lawan.
Dalam kasus sanksi banyak negara terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina, dampaknya telah menjadi sorotan dunia selama berhari-hari. Kekayaan para oligarki Rusia di berbagai negara disita atau dibekukan, banyak perusahaan hengkang dari Rusia, dan banyak warga sipil Rusia di luar negeri tidak bisa menarik uang tunai dari ATM.
Kritik Terhadap Sanksi
Kebijakan sanksi sebagai "senjata" sebuah negara terhadap negara musuh sering menuai kritik dari kalangan pakar dan aktivis. Alasannya, sanksi yang dijatuhkan tidak hanya mencekik ekonomi negara target, tapi juga warga sipil yang sebenarnya tidak bersalah.
Kuba, Venezuela, Korea Utara adalah contoh nyata di mana warga sipil ikut menderita akibat sanksi yang dijatuhkan AS. Bahkan, warga sipil lebih terkena dampaknya ketimbang elite penguasa dari negara target.
Dewan Keamanan PBB secara umum telah menahan diri untuk tidak menjatuhkan sanksi komprehensif sejak pertengahan 1990-an, sebagian karena kontroversi mengenai kemanjuran dan kerugian sipil yang dikaitkan dengan sanksi terhadap Irak.
Sanksi PBB
PBB mengeluarkan sanksi dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB dan/atau Majelis Umum PBB sebagai tanggapan atas peristiwa-peristiwa internasional besar. Badan dunia ini menerima wewenang untuk melakukannya berdasarkan Pasal 41 Bab VII Piagam PBB.
Sifat sanksi ini dapat bervariasi, dan mencakup pembatasan keuangan, perdagangan, atau persenjataan. Motivasi juga dapat bervariasi, mulai dari masalah kemanusiaan dan lingkungan hingga upaya untuk menghentikan proliferasi nuklir.
Lebih dari dua lusin tindakan sanksi telah diterapkan oleh PBB sejak didirikan pada tahun 1945.
Sebagian besar sanksi DK PBB sejak pertengahan 1990-an telah menargetkan individu dan entitas daripada seluruh pemerintah, sebuah perubahan dari sanksi perdagangan komprehensif pada dekade-dekade sebelumnya.
Misalnya, DK PBB merilis daftar individu yang didakwa melakukan kejahatan atau terkait dengan terorisme internasional, yang menimbulkan pertanyaan hukum baru mengenai proses sanksi.
Menurut kumpulan data yang mencakup tahun 1991 hingga 2013, 95% dari rezim sanksi DK PBB termasuk "larangan sektoral" pada penerbangan dan/atau impor atau ekspor senjata atau bahan mentah, 75% termasuk sanksi individu/kelompok seperti pembekuan aset atau pembatasan perjalanan, dan hanya 10% yang menargetkan keuangan nasional atau termasuk tindakan terhadap bank sentral, dana kekayaan negara, atau investasi asing.
Negara-negara yang pernah terkena sanksi PBB antara lain Somalia pada 1992, yakni setelah penggulingan rezim Siad Barre pada tahun 1991 selama Perang Saudara Somalia. Resolusi 751 DK PBB melarang anggota PBB untuk menjual, membiayai, atau mentransfer peralatan militer apa pun ke Somalia.
DK PBB juga menjatuhkan sanksi terhadap Korea Utara dari 2006 hingga sekarang. Dasarnya adalah Resolusi 1718 tahun 2006 sebagai tanggapan atas uji coba nuklir yang dilakukan oleh Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK)—nama resmi Korea Utara—yang melanggar Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir. Resolusi tersebut melarang penjualan barang militer dan barang mewah serta membekukan aset pemerintah. Imbasnya sudah terlihat sekarang, di mana negara itu
Itu belum cukup. DK PBB kembali mengeluarkan Resolusi 2270 tahun 2016 yang membatasi pasokan transportasi dan kendaraan yang digunakan oleh Korea Utara sementara juga membatasi penjualan sumber daya alam dan bahan bakar untuk pesawat.
Libya juga terkena embergo senjata oleh DK PBB sejak Februari 2011 berdasarkan Resolusi 1970 sebagai tanggapan atas pelanggaran kemanusiaan yang terjadi dalam Perang Saudara Libya Pertama. Embargo itu kemudian diperpanjang hingga pertengahan 2018.
Selanjutnya, rezim apartheid Afrika Selatan. Rezim tersebut terkena embargo minyak oleh Majelis Umum PBB pada November 1987 akibat kebijakan apartheidnya. Embargo itu mendapat dukungan dari 130 negara PBB. Sebagai tanggapan, Afrika Selatan saat itu memperluas produksi minyak mentah sintetisnya di Sasol.
Semua sanksi PBB di Afrika Selatan berakhir ketika rezim apartheid tamat dan negara itu menggelar pemilu 1994, di mana Nelson Mandela terpilih sebagai presiden pertama pasca-apartheid.
Sanksi, terutama sanksi ekonomi, diterapkan oleh satu atau lebih negara terhadap negara, kelompok, perusahaan, atau pun individu yang memiliki kaitan dengan pemerintahan yang ditargetkan. Ini seperti yang dialami Rusia saat ini.
Meski dinamai sebagai sanksi ekonomi, hukuman ini tidak selalu disebabkan karena masalah persaingan ekonomi. Namun, kebanyakan justru dipicu oleh masalah politik, militer, dan sosial.
Hukuman ekonomi mencakup berbagai bentuk hambatan perdagangan, tarif, dan pembatasan transaksi keuangan dan meluas hingga ke larangan perjalanan terhadap target.
Ada juga hukuman yang dikenal sebagai embargo. Ini biasanya merepresentasikan pada sanksi yang lebih berat, seperti embargo minyak dan embargo senjata.
Sejarah Sanksi
Sanksi awalnya muncul selama PD I berupa blokade atau isolasi. Penjatuhan sanksi pada masa itu melalui organisasi internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa—pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Penjatuhannya kerap menjadi perdebatan setelah berakhirnya PD I.
Sanksi pernah dijatuhkan Liga Bangsa-Bangsa terhadap Italia pimpinan Mussolini terkait krisis Abyssinia pada tahun 1935. Dasar penjatuhan sanksi kala itu adalah Pasal 16 Kovenan.
Praktik sanksi saat itu termasuk penutupan Terusan Suez ke Italia. Bagaimana pun, sanksi tersebut tidak mempraktikkan penghentian pasokan minyak ke pemerintahan Mussolini.
Sanksi dicabut pada tahun 1936 dan Italia meninggalkan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1937.
Setelah Perang Dunia II pada 1945, riwayat Liga Bangsa-Bangsa berakhir karena digantikan oleh PBB.
Berbau Politik
Di era modern, sanksi ekonomi digunakan sebagai alat kebijakan luar negeri oleh banyak pemerintah.
Biasanya, sanksi ekonomi dijatuhkan oleh negara yang lebih besar dari segi ekonomi dan militer terhadap negara yang lebih kecil karena dua alasan.
Pertama, negara target dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara pemberi sanksi. Kedua, negara target dianggap memperlakukan warganya secara tidak adil atau melanggar hak asasi manusia (HAM). Ini yang dilakukan Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk China, Korea Utara, Iran, Suriah, Rusia, Kuba, Venezuela, Afghanistan dan lain-lain.
Parahnya, penjatuhan sanksi di era sekarang sering dilakukan secara sepihak oleh negara besar tanpa mandat PBB. Contoh, AS merancang undang-undang sanksi yang menargetkan sektor senjata Rusia dengan alasan menjadi ancaman keamanan nasional Amerika meski menurut Moskow itu hanya karena persaingan bisnis persenjataan militer.
Efektivitas Sanksi Ekonomi
Menurut riset dari pakar Matthias Neuenkirch dan Florian Neumeier tahun 2015, sanksi ekonomi AS dan PBB memiliki dampak signifikan secara statistik terhadap ekonomi negara-negara target karena memangkas pertumbuhan PDB rata-rata 3 poin persentase per tahun.
Studi ini juga menyimpulkan bahwa efek negatif biasanya berlangsung selama sepuluh tahun dengan jumlah penurunan agregat dalam PDB per kapita negara target sebesar 25,5 persen.
Pemberlakuan sanksi terhadap lawan sebenarnya juga memengaruhi perekonomian negara yang memberlakukannya. Jika pembatasan impor diumumkan, konsumen di negara yang memberlakukan pembatasan tersebut kemungkinan memiliki pilihan barang yang terbatas.
Jika pembatasan ekspor diberlakukan atau jika sanksi melarang perusahaan di negara yang memberlakukan perdagangan dengan negara target, negara yang memberlakukan dapat kehilangan pasar dan peluang investasi ke negara lawan.
Dalam kasus sanksi banyak negara terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina, dampaknya telah menjadi sorotan dunia selama berhari-hari. Kekayaan para oligarki Rusia di berbagai negara disita atau dibekukan, banyak perusahaan hengkang dari Rusia, dan banyak warga sipil Rusia di luar negeri tidak bisa menarik uang tunai dari ATM.
Kritik Terhadap Sanksi
Kebijakan sanksi sebagai "senjata" sebuah negara terhadap negara musuh sering menuai kritik dari kalangan pakar dan aktivis. Alasannya, sanksi yang dijatuhkan tidak hanya mencekik ekonomi negara target, tapi juga warga sipil yang sebenarnya tidak bersalah.
Kuba, Venezuela, Korea Utara adalah contoh nyata di mana warga sipil ikut menderita akibat sanksi yang dijatuhkan AS. Bahkan, warga sipil lebih terkena dampaknya ketimbang elite penguasa dari negara target.
Dewan Keamanan PBB secara umum telah menahan diri untuk tidak menjatuhkan sanksi komprehensif sejak pertengahan 1990-an, sebagian karena kontroversi mengenai kemanjuran dan kerugian sipil yang dikaitkan dengan sanksi terhadap Irak.
Sanksi PBB
PBB mengeluarkan sanksi dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB dan/atau Majelis Umum PBB sebagai tanggapan atas peristiwa-peristiwa internasional besar. Badan dunia ini menerima wewenang untuk melakukannya berdasarkan Pasal 41 Bab VII Piagam PBB.
Sifat sanksi ini dapat bervariasi, dan mencakup pembatasan keuangan, perdagangan, atau persenjataan. Motivasi juga dapat bervariasi, mulai dari masalah kemanusiaan dan lingkungan hingga upaya untuk menghentikan proliferasi nuklir.
Lebih dari dua lusin tindakan sanksi telah diterapkan oleh PBB sejak didirikan pada tahun 1945.
Sebagian besar sanksi DK PBB sejak pertengahan 1990-an telah menargetkan individu dan entitas daripada seluruh pemerintah, sebuah perubahan dari sanksi perdagangan komprehensif pada dekade-dekade sebelumnya.
Misalnya, DK PBB merilis daftar individu yang didakwa melakukan kejahatan atau terkait dengan terorisme internasional, yang menimbulkan pertanyaan hukum baru mengenai proses sanksi.
Menurut kumpulan data yang mencakup tahun 1991 hingga 2013, 95% dari rezim sanksi DK PBB termasuk "larangan sektoral" pada penerbangan dan/atau impor atau ekspor senjata atau bahan mentah, 75% termasuk sanksi individu/kelompok seperti pembekuan aset atau pembatasan perjalanan, dan hanya 10% yang menargetkan keuangan nasional atau termasuk tindakan terhadap bank sentral, dana kekayaan negara, atau investasi asing.
Negara-negara yang pernah terkena sanksi PBB antara lain Somalia pada 1992, yakni setelah penggulingan rezim Siad Barre pada tahun 1991 selama Perang Saudara Somalia. Resolusi 751 DK PBB melarang anggota PBB untuk menjual, membiayai, atau mentransfer peralatan militer apa pun ke Somalia.
DK PBB juga menjatuhkan sanksi terhadap Korea Utara dari 2006 hingga sekarang. Dasarnya adalah Resolusi 1718 tahun 2006 sebagai tanggapan atas uji coba nuklir yang dilakukan oleh Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK)—nama resmi Korea Utara—yang melanggar Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir. Resolusi tersebut melarang penjualan barang militer dan barang mewah serta membekukan aset pemerintah. Imbasnya sudah terlihat sekarang, di mana negara itu
Itu belum cukup. DK PBB kembali mengeluarkan Resolusi 2270 tahun 2016 yang membatasi pasokan transportasi dan kendaraan yang digunakan oleh Korea Utara sementara juga membatasi penjualan sumber daya alam dan bahan bakar untuk pesawat.
Libya juga terkena embergo senjata oleh DK PBB sejak Februari 2011 berdasarkan Resolusi 1970 sebagai tanggapan atas pelanggaran kemanusiaan yang terjadi dalam Perang Saudara Libya Pertama. Embargo itu kemudian diperpanjang hingga pertengahan 2018.
Selanjutnya, rezim apartheid Afrika Selatan. Rezim tersebut terkena embargo minyak oleh Majelis Umum PBB pada November 1987 akibat kebijakan apartheidnya. Embargo itu mendapat dukungan dari 130 negara PBB. Sebagai tanggapan, Afrika Selatan saat itu memperluas produksi minyak mentah sintetisnya di Sasol.
Semua sanksi PBB di Afrika Selatan berakhir ketika rezim apartheid tamat dan negara itu menggelar pemilu 1994, di mana Nelson Mandela terpilih sebagai presiden pertama pasca-apartheid.
(min)