Misteri Rusia Tak Pilih Perang Kilat di Ukraina, Mirip Taktik AS dalam Perang Irak
loading...
A
A
A
KIEV - Rusia , dengan kekuatan luar biasa, semestinya mampu merampungkan perangnya di Ukraina secara kilat. Namun, strategi Moskow ini justru mirip yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dalam perangnya yang berlarut-larut di Irak.
Militer Moskow, di bahwa Presiden Vladimir Putin, memiliki banyak senjata canggih termasuk bom nuklir. Namun, jet-jet tempur dan rudal futuristik yang dibanggakan tidak dikerahkan dalam perangnya.
Pada tahun 1991 Perang Teluk I pecah, di mana AS yang memimpin koalisi 35 negara menggempur Irak sebagai respons karena menginvasi dan mencoba menganeksasi Kuwait.
Pada saat itu, kekuatan koalisi AS sangat mampu menundukkan Irak dengan kilat. Namun, tiga hari setelah Perang Teluk I pecah, sebuah surat kabar Amerika memuat tajuk utama "Gulf War Drags On [Perang Teluk Berlanjut]".
Hal ini menyebabkan Colin Powell, Ketua Kepala Staf Gabungan saat itu, untuk menyampaikan konferensi pers yang merinci jalannya perang dan mengapa Amerika Serikat bergerak lambat dan metodis.
Mengutip ulasan EurAsian Times, Senin (7/3/2022), perang Rusia di Ukraina yang berlarut-larut ini mengingatkan pada taktik AS tersebut. Fakta bahwa Rusia mengambil langkah lambat dan metodis dan memiliki garis waktu sendiri yang belum diungkapkan kepada dunia.
Taktik itu dimanfaatkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, media sosial pemerintah Kiev, dan pers global melaporkan perang dari perspektif Ukraina dan dengan demikian memberi jalan bagi pemerintah Zelensky meluncurkan perang informasi.
Perang Informasi Ukraina
Perang informasi Ukraina terpampang jelas ketika dunia dituntun untuk percaya ada "Ghost of Kiev [Hantu Kiev]", seorang pilot pesawat tempur yang telah menembak jatuh enam hingga sembilan jet tempur Rusia.
Informasi dari Ukraina itu berlebihan dan terindikasi sebagai berita palsu. Terlebih, Rusia merasa cukup percaya diri untuk mengantre konvoi darat 64 mil ketimbang menunjukkan superioritas udaranya.
Selain itu, nyaris semua informasi yang disajikan kepada dunia melalui media-media Barat berasal dari pihak Ukraina. Itu termasuk klaim Ukraina pada hari Minggu (6/3/2022) yang telah menewaskan 11.000 tentara Rusia sejak invasi Moskow dimulai 24 Februari.
Taktik Rusia yang diketahui sejauh ini adalah menargetkan target situs-situs militer Ukraina dengan harapan tidak memusuhi opini publik Ukraina. Meski Kiev melaporkan banyak infrastruktur sipil menjadi korban serangan Moskow.
Dengan mengincar target-target militer Kiev, Moskow akan menunjukkan kepada dunia sejauh mana kemampuan perang Ukraina terdegradasi.
Meski taktik Rusia ini mirip strategi AS dalam Perang Teluk melawan Irak, yakni tidak memilih perang kilat, namun ada perbedaannya.
Dalam Perang Teluk I dan II melawan Irak, AS menggunakan waktu berminggu-minggu untuk melunakkan militer dan penduduk Irak dengan serangan udara sebelum invasi darat menyusul. Ini beda dengan Rusia yang mengandalkan invasi darat ke Ukraina daripada serangan udara.
Begitu efektifnya serangan udara AS di Irak sehingga memungkinkan pasukan darat Amerika memasuki Baghdad dalam 36 jam. Hal itu mengarah pada poin ketiga yaitu kemauan penduduk setempat untuk berjuang invasi AS.
Dalam Perang Teluk II, tentara Irak melarikan diri dari pertempuran meninggalkan jalan yang mudah ke depan bagi pasukan AS.
Demikian pula, di Afghanistan, meskipun miliaran dolar dihabiskan untuk melatih pasukan militer Afghanistan, mereka tidak memiliki keinginan untuk berperang dan menyerahkan medan perang kepada Taliban.
Militer Moskow, di bahwa Presiden Vladimir Putin, memiliki banyak senjata canggih termasuk bom nuklir. Namun, jet-jet tempur dan rudal futuristik yang dibanggakan tidak dikerahkan dalam perangnya.
Pada tahun 1991 Perang Teluk I pecah, di mana AS yang memimpin koalisi 35 negara menggempur Irak sebagai respons karena menginvasi dan mencoba menganeksasi Kuwait.
Pada saat itu, kekuatan koalisi AS sangat mampu menundukkan Irak dengan kilat. Namun, tiga hari setelah Perang Teluk I pecah, sebuah surat kabar Amerika memuat tajuk utama "Gulf War Drags On [Perang Teluk Berlanjut]".
Hal ini menyebabkan Colin Powell, Ketua Kepala Staf Gabungan saat itu, untuk menyampaikan konferensi pers yang merinci jalannya perang dan mengapa Amerika Serikat bergerak lambat dan metodis.
Mengutip ulasan EurAsian Times, Senin (7/3/2022), perang Rusia di Ukraina yang berlarut-larut ini mengingatkan pada taktik AS tersebut. Fakta bahwa Rusia mengambil langkah lambat dan metodis dan memiliki garis waktu sendiri yang belum diungkapkan kepada dunia.
Taktik itu dimanfaatkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, media sosial pemerintah Kiev, dan pers global melaporkan perang dari perspektif Ukraina dan dengan demikian memberi jalan bagi pemerintah Zelensky meluncurkan perang informasi.
Perang Informasi Ukraina
Perang informasi Ukraina terpampang jelas ketika dunia dituntun untuk percaya ada "Ghost of Kiev [Hantu Kiev]", seorang pilot pesawat tempur yang telah menembak jatuh enam hingga sembilan jet tempur Rusia.
Informasi dari Ukraina itu berlebihan dan terindikasi sebagai berita palsu. Terlebih, Rusia merasa cukup percaya diri untuk mengantre konvoi darat 64 mil ketimbang menunjukkan superioritas udaranya.
Selain itu, nyaris semua informasi yang disajikan kepada dunia melalui media-media Barat berasal dari pihak Ukraina. Itu termasuk klaim Ukraina pada hari Minggu (6/3/2022) yang telah menewaskan 11.000 tentara Rusia sejak invasi Moskow dimulai 24 Februari.
Taktik Rusia yang diketahui sejauh ini adalah menargetkan target situs-situs militer Ukraina dengan harapan tidak memusuhi opini publik Ukraina. Meski Kiev melaporkan banyak infrastruktur sipil menjadi korban serangan Moskow.
Dengan mengincar target-target militer Kiev, Moskow akan menunjukkan kepada dunia sejauh mana kemampuan perang Ukraina terdegradasi.
Meski taktik Rusia ini mirip strategi AS dalam Perang Teluk melawan Irak, yakni tidak memilih perang kilat, namun ada perbedaannya.
Dalam Perang Teluk I dan II melawan Irak, AS menggunakan waktu berminggu-minggu untuk melunakkan militer dan penduduk Irak dengan serangan udara sebelum invasi darat menyusul. Ini beda dengan Rusia yang mengandalkan invasi darat ke Ukraina daripada serangan udara.
Begitu efektifnya serangan udara AS di Irak sehingga memungkinkan pasukan darat Amerika memasuki Baghdad dalam 36 jam. Hal itu mengarah pada poin ketiga yaitu kemauan penduduk setempat untuk berjuang invasi AS.
Dalam Perang Teluk II, tentara Irak melarikan diri dari pertempuran meninggalkan jalan yang mudah ke depan bagi pasukan AS.
Demikian pula, di Afghanistan, meskipun miliaran dolar dihabiskan untuk melatih pasukan militer Afghanistan, mereka tidak memiliki keinginan untuk berperang dan menyerahkan medan perang kepada Taliban.
(min)