Ancaman Gelombang Kedua Covid-19, Bursa Saham Tumbang, Ekonomi Terpuruk

Senin, 15 Juni 2020 - 11:08 WIB
loading...
Ancaman Gelombang Kedua Covid-19, Bursa Saham Tumbang, Ekonomi Terpuruk
Selama pandemi Covid-19, Pusat perbelanjaan sepi pengunjung. Foto: dok/SINDOnews
A A A
LONDON - Pasar bursa saham dunia kembali tergelincir akibat kekhawatiran gelombang kedua wabah virus corona Covid-19 . Para ahli menilai hal itu akan kian menyebabkan ekonomi kian terpuruk.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam hal ini Federal Reserve memperingatkan ekonomi nasional AS akan menghadapi perjalanan yang panjang untuk dapat kembali pulih. Kemarin, tiga bursa saham AS melalui hari terburuk, Dow Jones bahkan menderita penurunan hingga 7%.

Sama seperti di AS, pasar saham di Asia juga tergelincir, baik di Jepang, Hong Kong, ataupun China. Selain akibat kekhawatiran gelombang kedua Covid-19, penurunan juga terjadi akibat demonstrasi anti-rasial di kawasan Eropa dan AS dalam sepekan terakhir.

Sehari sebelumnya, bursa saham di Eropa juga anjlok. FTSE Inggris 100, Dax Jerman, dan CAC 40 Prancis mengalami penurunan yang sama, yakni 4%. Industri yang terdampak paling besar ialah sektor energi dan pariwisata. (Baca: Gara-Gara Pembelot, Korut Ancam Kerahkan Militer ke Korsel)

"Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat perlu mempersiapkan diri lebih baik untuk menghadapi gelombang kedua Covid-19," ujar Roland Kaloyan, ahli strategi ekuitas dari Societe Generale. "Masalah besar yang akan dihadapi ialah dana yang dapat disuntikkan pemerintah sangat terbatas," tambahnya.

Harga saham baru saja merangkak naik pekan ini menyusul diperlonggarnya lockdown di berbagai negara di dunia. Sejumlah perusahaan, terbanyak di AS, juga telah kembali merekrut karyawan baru untuk turut membangkitkan ekonomi. Namun, upaya itu tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar.

Departemen Tenaga Kerja AS menyatakan sebanyak 1,5 juta orang telah melaporkan diri terkena PHK pada pekan lalu. Sejauh ini, total sebanyak 30 juta warga AS telah menganggur akibat dipecat selama lockdown. Federal Reserve AS menyatakan angka pengangguran dapat mencapai hingga 9% dari total penduduk pada akhir tahun ini.

Selama konferensi pers, Kepala Bank Sentral Federal Reserve AS, Jerome Powell, juga mengatakan kondisi di lapangan dapat kian memburuk jika angka infeksi Covid-19 terus meningkat di AS. Sejumlah negara bagian AS yang mencabut lockdown seperti Arizona dan South Carolina telah mengalami kenaikkan jumlah pasien belakangan ini. (Baca juga: 37 CEO Perempuan Pimpin Perusahaan Terbaik Dunia)

"Keadaan seperti ini dapat mencedarai upaya pemulihan, sekalipun wabah yang menyerang sebuah wilayah tidak mencapai tingkat nasional," kata Powell, dikutip BBC. "Hal ini bukan tanpa alasan. Orang-orang akan ketakutan untuk keluar rumah sehingga akan menghambat aktivitas dan laju pertumbuhan ekonomi," tambahnya.

Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, mengatakan pemerintah tidak mungkin menerapkan lockdown untuk kedua kalinya dalam waktu sempit karena akan meruntuhkan ekonomi negara. Namun, para ahli menilai masyarakat kemungkinan akan lebih banyak diam di rumah pada tahun ini.

Kekhawatir para investor itu bukan hanya karena munculnya gelombang kedua karena mereka juga khawatir dengan gelombang pertama Covid-19 yang belum kelar. “Kita sebenarnya belum selesai pada gelombang pertama,” kata Ashish Jha, pakar kesehatan global di Universitas Harvard. Dia mengungkapkan, belum diketahui kapan gelombang kedua akan berakhir. (Lihat Videonya: Wisata Kebun Teh Puncak Bogor Mulai Dipenuhi Pengunjung)

Kapan muncul gelombang kedua virus corona? Banyak analis memprediksi pada akhir tahun ketika bertepatan dengan musim dingin di mana jumlah kasus virus corona akan bertambah dalam waktu cepat.

Bagaimana mencegah gelombang kedua Covid-19 ? Badan Kesehatan Dunia merekomendasikan agar pemerintah tetap melacak orang yang terinfeksi dan mengisolasi mereka. Selain itu, WHO tetap meminta pemerintah melaksanakan uji Covid-19 secara massal. Solusinya adalah terciptanya kekebalan komunitas karena banyak orang yang terinfeksi virus corona atau itu bisa dihentikan dengan vaksin yang kini sedang dikembangkan para peneliti. (Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2023 seconds (0.1#10.140)