Vrindavan, Kota Suci Ribuan Janda India untuk Bertahan Hidup

Sabtu, 19 Februari 2022 - 12:29 WIB
loading...
Vrindavan, Kota Suci...
Para janda melakukan yoga bersama di rumah penampungan di kota Vrindavan, India. Foto/new york times
A A A
NEW DELHI - Diusir keluar dari rumah mereka, ribuan janda kini tinggal di kota Vrindavan, India. Di kota itu, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk beribadah dan mengemis.

Banyak dari mereka telah “dibujuk” anak-anak dan keluarga mereka dari meninggalkan rumah mereka agar pergi ke Vrindavan dengan dalih “atas nama Tuhan”.

“Tanpa uang, para wanita ini, yang sebagian besar berasal dari pedalaman India, berakhir pada belas kasihan pemilik rumah tempat mereka tinggal di kota itu. Pemilik rumah para janda itu memaksa mereka mengemis dan mencari uang,” ungkap laporan CNBC-TV18.



Sebagai imbalan atas uang yang mereka peroleh dari mengemis, pemilik rumah, memberi mereka jumlah minimum untuk hidup mereka.



Sekitar 6.000 janda tinggal di kota itu, mayoritas dari mereka berasal dari Benggala Barat.



Vrindavan dianggap sebagai tempat suci bagi umat Hindu. Tetapi kondisi di mana para wanita ini dipaksa untuk hidup menjelaskan betapa buruknya mereka diperlakukan oleh keluarga mereka.

Tidak ada yang tahu mengapa begitu banyak janda datang ke kota itu, tetapi sudah begitu selama berabad-abad dan kekerasan rumah tangga terus terjadi.

Tetapi dengan bantuan lembaga swadaya seperti Sulabh International, pendiri mereka Dr Bindeshwar Pathak mengambil inisiatif untuk membantu dan mempromosikan kehidupan yang lebih baik bagi para janda.

Seperti ribuan janda lain yang diusir dari rumah mereka, Nirmala Maheshwari mengaku dianiaya keluarganya setelah suaminya meninggal.

“Mereka melihat saya sebagai beban,” bisik Maheshwari pada New York Times.

Dia mengingat hari pertamanya di tempat penampungan baru bagi para janda di Vrindavan, ketika wanita lain berkerumun di sekitar tempat tidurnya, menghiburnya dengan meremas bahu dan tangannya.

Maheshwari mengaku telah kehilangan nilai sosialnya di mata keluarganya, putranya serta kerabat lainnya membuat dia kelaparan dan memukulinya.

Mengingat statusnya yang rendah di rumahnya sendiri, Maheshwari mengaku terkejut ketika dia melangkah ke lobi rumah penampungannya, Ashram Krishna Kutir.

Rumah itu menjadi fasilitas yang dikelola pemerintah India dengan sekitar 1.000 tempat tidur, kolam renang yang baru digali, makanan dan minuman, serta obat gratis.

Pengantin Hindu sering diharapkan tinggal bersama keluarga suami mereka. Kondisi ini melemahkan ikatan dengan keluarga mereka sendiri, dan menjadi janda bisa berarti bencana besar.

Tanpa suami, sebagian kecil dari sekitar 40 juta janda di India diusir dengan kekerasan dari rumah mereka sendiri setiap tahun. Data ini jelas sangat memprihatinkan.

Tetapi banyak janda terbuang di India telah melihat peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup mereka selama beberapa tahun terakhir.

Para janda itu kebanyakan buta huruf dan beberapa orang menikah saat masih bayi. Perbaikan nasib para janda itu karena berbagai petisi publik dan putusan pengadilan.

Pemerintah dan kelompok hak asasi manusia telah menginvestasikan puluhan juta dolar untuk mengangkat kondisi para perempuan terlantar.

Uang itu tidak hanya digunakan untuk membangun rumah kelompok bagi para janda, tetapi juga untuk mendanai pensiun dan menyediakan pelatihan kerja dan perawatan medis.

Sementara beberapa dari perubahan ini terjadi di seluruh India, mereka paling terlihat di Vrindavan.

Kota ini adalah labirin jalan-jalan sempit dan kuil-kuil batu pasir yang agung. Sepanjang hari, ribuan peziarah berkumpul untuk berdoa di bawah patung dewa raksasa.

Diyakini bahwa para janda telah berkumpul di kota itu sejak Chaitanya Mahaprabhu, tokoh reformis sosial Bengali abad ke-16, membawa sekelompok dari mereka ke sana untuk melarikan diri dari suttee.

Suttee merupakan praktik yang sekarang dilarang, di mana para janda Hindu membakar diri mereka sendiri di atas tumpukan kayu pemakaman suami mereka.

Selama bertahun-tahun, para janda di Vrindavan, yang dianggap sebagai rumah masa kanak-kanak dewa Hindu Krishna, bertahan hidup dengan menyanyikan lagu-lagu kebaktian di kuil-kuil.

Dengan menyanyikan lagu-lagu puja dewa itu mereka mendapat uang beberapa rupee sehari. Mereka pun mengemis uang dengan memakai baju sari putih.

Warna putih itu penanda bahwa warna telah hilang dari kehidupan mereka.

Tunawisma adalah hal biasa di antara para janda Vrindavan. Beberapa janda tinggal di ambang pintu.

Ketika para janda itu meninggal, pemulung sampah terkadang memasukkan tubuh mereka ke dalam kantong goni dan membuangnya ke Sungai Yamuna, menurut laporan media setempat.

Sementara para janda sering merasa tidak punya tempat lain untuk dituju, perjalanan ke Vrindavan sangat menakutkan.

Sushila Bala Dasi, 62, menangis begitu keras di perjalanan kereta ke kota itu, sehingga penumpang menelepon polisi.

Kondisi para janda menjadi begitu mengerikan sehingga Mahkamah Agung (MA) India memperhatikan keadaan buruk mereka pada 2012.

MA memutuskan bahwa pemerintah harus memberi mereka makanan, perawatan medis, dan tempat sanitasi untuk hidup.

Sejak itu, sejumlah proyek pemerintah telah diperkenalkan, termasuk membangun Krishna Kutir, atau Rumah Krishna, yang menelan biaya USD8 juta dan dibuka Agustus lalu.

Banyak dari 129 janda yang tinggal di sana tiba sendirian, dengan naik kereta api, dari desa-desa yang jaraknya ratusan mil.

Mereka mengenakan pakaian kotor dan sobek, dan beberapa orang datang dengan luka serius akibat kekerasan rumah tangga.

Pada peresmian ashram, Maneka Gandhi, menteri wanita India pada saat itu, mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan perawatan janda.

Meski demikian, dia berharap model Krishna Kutir dapat direplikasi di tempat lain di India. “Kami ingin semua wanita merasa aman,” papar dia.

Vinita Verma, pekerja sosial dari Sulabh International, organisasi yang bekerja dengan para janda, mengatakan dia telah melihat perubahan perlahan dari para janda yang memandang diri mereka sendiri tidak layak dicintai.

Para janda yang dulunya menolak memakai baju selain putih itu kini mau memilih pakaian yang diwarnai biru, jingga, dan merah muda.

“Dulu mereka hanya berpikir putih, tidak ada yang lain,” papar Verma.

“Ketika mereka berdoa, mereka menangis. Ketika mereka sedang memasak, mereka menangis. Sekarang, mereka memiliki nilai,” tutur dia.

(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1505 seconds (0.1#10.140)