Selandia Baru Turunkan Patung Komandan Inggris Pembantai Suku Maori
loading...
A
A
A
WELLINGTON - Sebuah kota di Selandia Baru pada Jumat (12/6/2020) menurunkan patung seorang komandan Angkatan Laut Inggris , John Fane Charles Hamilton. Sosok yang diabadikan dalam patung itu dianggap sebagai penjajah dan pembantai penduduk asli suku Maori pada abad 19.
Patung-patung yang memuliakan penjajah dan pedagang budak telah menjadi sorotan masyarakat internasional seiring dengan maraknya demo Black Lives Matter. Demo ini dimulai dari Amerika Serikat setelah kematian pria kulit hitam George Floyd setelah lehernya dicekik polisi kulit putih dengan lututnya di Minneapolis, 25 Mei lalu.
Protes di Australia dan Selandia Baru telah berfokus pada kekejaman yang dilakukan terhadap penduduk asli oleh penjajah Eropa, di mana ribuan demonstran anti-rasisme berbaris selama seminggu terakhir.
Patung komandan Inggris John Hamilton berada di kota Hamilton, sebuah kota di Selandia Baru yang namanya diambil dari komandan militer tersebut. Patung diturunkan otoritas kota sehari setelah seorang pemimpin Maori mengancam akan merobohkannya sendiri.
Wali Kota Paula Southgate mengatakan semakin banyak orang yang menganggap patung itu sebagai ofensif budaya. (Baca: Pastor Indonesia Pidato dalam Demo AS, Dikecam di Dalam Negeri )
"Kita tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di seluruh dunia. Pada saat kita berusaha membangun toleransi dan pemahaman antar-budaya dan dalam masyarakat, saya pikir patung itu tidak membantu kita menjembatani kesenjangan itu," kata Southgate, seperti dikutip Reuters.
Hamilton memimpin resimen di Pertempuran Gerbang Pā antara pemerintah kolonial dan suku Maori pada tahun 1860-an, di mana ia terbunuh.
Sudah ada seruan berulang kali oleh komunitas Maori untuk menghapus patung itu. Patung John Hamilton pernah dirusak pada tahun 2018.
Namun, tidak semua orang setuju dengan gagasan untuk menjatuhkan patung tersebut. Wakil Perdana Menteri Winston Peters menyebut gagasan itu sebagai "gelombang kebodohan".
"Suatu negara belajar dari kesalahan dan kemenangannya dan rakyatnya harus memiliki pengetahuan dan kedewasaan untuk membedakan keduanya," katanya.
Patung-patung yang memuliakan penjajah dan pedagang budak telah menjadi sorotan masyarakat internasional seiring dengan maraknya demo Black Lives Matter. Demo ini dimulai dari Amerika Serikat setelah kematian pria kulit hitam George Floyd setelah lehernya dicekik polisi kulit putih dengan lututnya di Minneapolis, 25 Mei lalu.
Protes di Australia dan Selandia Baru telah berfokus pada kekejaman yang dilakukan terhadap penduduk asli oleh penjajah Eropa, di mana ribuan demonstran anti-rasisme berbaris selama seminggu terakhir.
Patung komandan Inggris John Hamilton berada di kota Hamilton, sebuah kota di Selandia Baru yang namanya diambil dari komandan militer tersebut. Patung diturunkan otoritas kota sehari setelah seorang pemimpin Maori mengancam akan merobohkannya sendiri.
Wali Kota Paula Southgate mengatakan semakin banyak orang yang menganggap patung itu sebagai ofensif budaya. (Baca: Pastor Indonesia Pidato dalam Demo AS, Dikecam di Dalam Negeri )
"Kita tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di seluruh dunia. Pada saat kita berusaha membangun toleransi dan pemahaman antar-budaya dan dalam masyarakat, saya pikir patung itu tidak membantu kita menjembatani kesenjangan itu," kata Southgate, seperti dikutip Reuters.
Hamilton memimpin resimen di Pertempuran Gerbang Pā antara pemerintah kolonial dan suku Maori pada tahun 1860-an, di mana ia terbunuh.
Sudah ada seruan berulang kali oleh komunitas Maori untuk menghapus patung itu. Patung John Hamilton pernah dirusak pada tahun 2018.
Namun, tidak semua orang setuju dengan gagasan untuk menjatuhkan patung tersebut. Wakil Perdana Menteri Winston Peters menyebut gagasan itu sebagai "gelombang kebodohan".
"Suatu negara belajar dari kesalahan dan kemenangannya dan rakyatnya harus memiliki pengetahuan dan kedewasaan untuk membedakan keduanya," katanya.
(mas)