Senjata Nuklir Rusia Lebih Banyak, Pakar Bilang AS Harus Khawatir

Jum'at, 28 Januari 2022 - 16:19 WIB
loading...
Senjata Nuklir Rusia Lebih Banyak, Pakar Bilang AS Harus Khawatir
Tsar Bomba, bom nuklir terbesar sejagat yang diledakkan Uni Soviet tahun 1961. Pakar memperingatkan Amerika Serikat bahwa persediaan senjata nuklir Rusia jauh lebih banyak. Foto/National Interest
A A A
LONDON - Pakar militer mengatakan Amerika Serikat (AS) harus selalu khawatir dengan Rusia karena faktanya jumlah senjata nuklir Moskow lebih banyak.

Brandon Weichert, pakar militer yang juga pendiri The Weichert Report: An Online Journal of Geopolitics, memperingatkan Washington setelah berambisi mencegah Rusia menginvasi Ukraina.

Presiden Joe Biden dilaporkan telah menempatkan 8.500 tentara dalam siaga tinggi, dan dia mempertimbangkan untuk mengerahkan hingga 50.000 tentara jika Rusia menyerang.

Moskow sudah berulang kali menyangkal memiliki rencana untuk menginvasi Ukraina. Menurut Kremlin, pengerahan ratusan ribu tentara di dekat perbatasan Ukraina adalah sah karena masih berada di tanah Rusia.



Meningkatnya ketegangan di Ukraina telah memicu kekhawatiran akan pecahnya perang nuklir antara Rusia dengan AS sebagai pimpinan NATO.

"AS harus selalu khawatir tentang persediaan senjata nuklir Rusia—terutama ketidakseimbangan yang saat ini ada antara persenjataan AS dan Rusia," kata Weichert kepada Express.co.uk, yang dilansir Jumat (28/1/2022).

Faktanya, persediaan senjata nuklir Rusia mencapai 6.257 unit, sedangkan AS hanya memiliki 5.550 unit.

"Sejak mantan Presiden Barack Obama menandatangani Perjanjian New START dengan Moskow pada tahun 2011, Rusia tidak hanya mampu memodernisasi persenjataan senjata nuklir mereka-terutama senjata nuklir non-strategis mereka (nuklir jarak menengah)," katanya.

“Tetapi mereka telah mampu mengungguli Amerika yang kebijakan senjata nuklirnya sejak akhir Perang Dingin setengah hati, kurang visi, dan berdasarkan gagasan utopis bahwa perang nuklir akan membunuh semua orang."

"Jadi, lebih baik mengabaikan senjata nuklir dan tidak berinvestasi dengan benar dalam pemeliharaan dan perluasannya agar kita tidak mengalami perang nuklir," paparnya.

New START adalah perjanjian pengurangan senjata nuklir yang ditandatangani antara Rusia dan AS pada tahun 2010.

Nama resminya adalah Measures for the Further Reduction and Limitation of Strategic Offensive Arms [Tindakan untuk Pengurangan Lebih Lanjut dan Pembatasan Senjata Serangan Strategis].

Perjanjian ini menempatkan batasan pada senjata strategis Rusia, termasuk senjata nuklir jarak antarbenua.

Tetapi Weichert tampaknya tidak berpikir bahwa perjanjian itu menahan potensi berkembangnya senjata nuklir Rusia.

Dia memperingatkan bahwa ada ancaman lain juga. "Masalah sebenarnya, adalah senjata nuklir non-strategis Rusia," katanya.

“Sistem ini jarak menengah dan secara tradisional digunakan di tingkat taktis," ujarnya.

“Intinya, senjata-senjata ini akan digunakan untuk melubangi pertahanan NATO di Eropa," paparnya.

“Dan ini adalah senjata yang Moskow telah menghabiskan dekade terakhir untuk berkembang, dimodernisasi, dan sekarang memindahkannya ke daerah kantong Kaliningrad yang dikuasai Rusia.”

Sementara itu, Direktur Departemen Pengendalian Senjata dan Nonproliferasi di Kementerian Luar Negeri Rusia, Vladimir Yermakov, menuduh NATO sedang mengembangkan kapasitas untuk serangan nuklir yang menghancurkan terhadap Rusia.

Pengembangan ini termasuk melibatkan anggota aliansi yang tidak memiliki senjata nuklir dalam operasi pelatihan.

Yermakov mengatakan AS sedang dalam proses memodernisasi kemampuan nuklirnya di Eropa dan telah mengerahkan rudal di beberapa wilayah negara anggota lainnya.

“Menurut analisis ahli, ada lima negara NATO non-nuklir yang memiliki sekitar 200 bom nuklir B-61 Amerika,” kata Yermakov.

"Ada juga infrastruktur untuk mendukung penyebaran operasional senjata ini, yang mampu mencapai wilayah Rusia dan menyerang berbagai lokasi, termasuk yang strategis,” ujarnya.

Yermakov menekankan bahwa sementara rudal dikendalikan oleh Washington, pengembangan nuklir adalah upaya kolaboratif.

"Ada 'misi nuklir bersama' antara negara-negara NATO, di mana anggota non-nuklir aliansi mengambil bagian dalam sesi pelatihan untuk mengembangkan kemampuan nuklir Amerika melawan kami," ujarnya.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0955 seconds (0.1#10.140)