Ashraf Ghani Salahkan Kesepakatan AS-Taliban Atas Jatuhnya Afghanistan
loading...
A
A
A
ABU DHABI - Mantan presiden Afghanistan , Ashraf Ghani , menuding kesepakatan yang dibuat antara Taliban dan Amerika Serikat (AS) di bawah presiden saat itu Donald Trump saat itu sebagai biang kerok runtuhnya pemerintahannya.
Di bawah ketentuan kesepakatan itu, AS setuju untuk mengurangi pasukannya dan pasukan sekutunya, serta menyediakan pertukaran tahanan. Setelah itu, Taliban setuju untuk berbicara dengan pemerintah Afghanistan.
Pembicaraan tidak berhasil: pada musim panas 2021, dengan Presiden AS Joe Biden berjanji untuk menarik pasukan terakhir pada 11 September, Taliban menyapu Afghanistan, mengambil kota demi kota.
“Alih-alih proses perdamaian, kami mendapat proses penarikan,” kata Ghani seperti dilansir dari BBC, Jumat (31/12/2021).
Apa yang terjadi pada akhirnya, kata Ghani, adalah kudeta dengan kekerasan, bukan kesepakatan politik atau proses politik di mana orang-orang terlibat.
"Pekerjaan hidup saya telah dihancurkan. Nilai-nilai saya telah diinjak-injak. Dan saya telah dijadikan kambing hitam," ujarnya.
Ghani diketahui secara diam-diam meninggalkan Kabul pada 15 Agustus lalu di tengah penarikan pasukan AS dan NATO yang kacau, mengakhiri perang selama 20 tahun di negara itu. Ia disebut-sebut turut membawa setumpuk uang curian.
"Saya ingin dengan tegas menyatakan, saya tidak membawa uang ke luar negeri," katanya.
Ia pun kembali membela keputusannya meninggalkan Afghanistan yaitu mencegah kehancuran Kabul. Ia mengklaim dua faksi Taliban bersaing untuk menguasai Ibu Kota dan siap untuk masuk serta mengobarkan pertempuran sengit untuk mendapatkan kendali.
"Dua faksi Taliban yang berbeda mendekat dari dua arah yang berbeda," jelas Ghani.
"Dan kemungkinan konflik besar-besaran di antara mereka yang akan menghancurkan kota berpenduduk lima juta dan membawa malapetaka bagi orang-orang sangat besar," sambungnya.
Ghani mengungkapkan bahwa ia tidak pernah menyangka akan meninggalkan Afghanistan.
"Saya tidak tahu ke mana kami akan pergi. Hanya ketika kami lepas landas, menjadi jelas bahwa kami akan pergi (meninggalkan Afghanistan)," pungkasnya.
Di bawah ketentuan kesepakatan itu, AS setuju untuk mengurangi pasukannya dan pasukan sekutunya, serta menyediakan pertukaran tahanan. Setelah itu, Taliban setuju untuk berbicara dengan pemerintah Afghanistan.
Pembicaraan tidak berhasil: pada musim panas 2021, dengan Presiden AS Joe Biden berjanji untuk menarik pasukan terakhir pada 11 September, Taliban menyapu Afghanistan, mengambil kota demi kota.
“Alih-alih proses perdamaian, kami mendapat proses penarikan,” kata Ghani seperti dilansir dari BBC, Jumat (31/12/2021).
Apa yang terjadi pada akhirnya, kata Ghani, adalah kudeta dengan kekerasan, bukan kesepakatan politik atau proses politik di mana orang-orang terlibat.
"Pekerjaan hidup saya telah dihancurkan. Nilai-nilai saya telah diinjak-injak. Dan saya telah dijadikan kambing hitam," ujarnya.
Ghani diketahui secara diam-diam meninggalkan Kabul pada 15 Agustus lalu di tengah penarikan pasukan AS dan NATO yang kacau, mengakhiri perang selama 20 tahun di negara itu. Ia disebut-sebut turut membawa setumpuk uang curian.
"Saya ingin dengan tegas menyatakan, saya tidak membawa uang ke luar negeri," katanya.
Ia pun kembali membela keputusannya meninggalkan Afghanistan yaitu mencegah kehancuran Kabul. Ia mengklaim dua faksi Taliban bersaing untuk menguasai Ibu Kota dan siap untuk masuk serta mengobarkan pertempuran sengit untuk mendapatkan kendali.
"Dua faksi Taliban yang berbeda mendekat dari dua arah yang berbeda," jelas Ghani.
"Dan kemungkinan konflik besar-besaran di antara mereka yang akan menghancurkan kota berpenduduk lima juta dan membawa malapetaka bagi orang-orang sangat besar," sambungnya.
Ghani mengungkapkan bahwa ia tidak pernah menyangka akan meninggalkan Afghanistan.
"Saya tidak tahu ke mana kami akan pergi. Hanya ketika kami lepas landas, menjadi jelas bahwa kami akan pergi (meninggalkan Afghanistan)," pungkasnya.
(ian)