Di Negara Paling Bahagia, Jumlah Remaja Depresi Malah Meningkat
loading...
A
A
A
HELSINKI - Finlandia adalah negara paling bahagia di dunia selama empat tahun berturut-turut. Meski demikian, satu dari tiga pelajar Finlandia melaporkan menderita gejala kecemasan dan depresi, dengan tingkat yang lebih tinggi di antara wanita.
Studi penelitian Finlandia tentang kesehatan dan kesejahteraan mental mahasiswa pendidikan tinggi telah mengidentifikasi tingkat gejala kecemasan dan depresi yang mengkhawatirkan.
“Dari lebih dari 6.000 pelajar yang ditanyai oleh Survei Kesehatan dan Kesejahteraan Pelajar Finlandia (KOTT), yang dilakukan Otoritas Kesehatan Masyarakat THL dan Institut Asuransi Sosial Kela setiap empat tahun, seluruhnya satu dari tiga pelajar tampaknya memiliki masalah mental, dengan proporsi antara perempuan mencapai 40%,” ungkap laporan surat kabar Hufvudstadsbladet, dilansir Sputnik pada Selasa (14/12/2021).
Studi lebih lanjut menemukan pelajar perempuan tiga kali lebih mungkin mengalami gangguan makan daripada rekan-rekan laki-laki mereka.
Manajer Pengembangan THL Suvi Parikka menjelaskan hal ini terjadi seiring meningkatnya beban belajar selama era coronavirus. Namun dia menekankan, ketegangan mental dan gejala kecemasan serta depresi meningkat bahkan sebelum pandemi.
Menurutnya, dampak dari pandemi COVID-19 mungkin hanya memperburuk masalah ini.
Beban belajar yang meningkat mungkin karena tantangan yang timbul dari pembelajaran jarak jauh, yang juga menyebabkan isolasi dan kesepian.
Survei dilakukan selama gelombang ketiga pandemi corona, pada musim semi 2021, ketika banyak siswa sebagian besar dikurung di rumah mereka.
Ini berarti sebagian besar belajar dilakukan sendiri dan kesempatan memelihara jaringan sosial sangat terbatas dan kegiatan sosial yang biasa dilihat sebagai bagian dari kehidupan pelajar dilarang atau dibatasi.
“Selain itu, tidak mungkin situasi akan berubah secara dramatis dalam waktu dekat,” ungkap Parikka.
Terlepas dari kenyataan mahasiswa setidaknya sebagian telah kembali ke kampus selama musim gugur, Layanan Kesehatan Mahasiswa Finlandia melaporkan pada November bahwa permintaan untuk layanan kesehatan mental musim gugur ini telah melebihi tingkat total tahunan di masa lalu.
Menurut Parikka, jelas bahwa perawatan kesehatan pelajar dan layanan kesehatan mental saja tidak akan menyelesaikan masalah kesehatan mental orang dewasa muda.
Oleh karena itu, situasi tersebut harus diatasi melalui kerja sama lintas sektor, dan lembaga pendidikan tinggi harus secara aktif mencari pelajar yang bermasalah dalam jaring pengaman sekolah.
“Perguruan tinggi perlu menonjolkan dan memperkuat semangat komunitas, dukungan sebaya dan bimbingan belajar dasar,” papar Parikka.
Namun, ada juga titik terang. Misalnya, survei menemukan kecemasan dan depresi kurang umum di antara pelajar yang berolahraga secara teratur.
“Tidur malam yang baik dan pola makan yang sehat membantu kesejahteraan dan pemulihan siswa, selain untuk menjaga lingkaran social,” pungkas Parikka.
Menurut Dewan Eropa, sekitar seperempat warga Finlandia menderita gejala psikologis dengan efek buruk pada suatu waktu dalam hidup mereka.
Diperkirakan 7% dari semua orang dewasa Finlandia menderita depresi, kecemasan, dan gangguan terkait alkohol.
Namun demikian, ini tidak mencegah negara Nordik, yang dikenal dengan cuaca beku yang keras dan musim dingin yang panjang dan gelap, untuk menduduki peringkat teratas negara-negara paling bahagia di dunia selama empat tahun berturut-turut.
Studi penelitian Finlandia tentang kesehatan dan kesejahteraan mental mahasiswa pendidikan tinggi telah mengidentifikasi tingkat gejala kecemasan dan depresi yang mengkhawatirkan.
“Dari lebih dari 6.000 pelajar yang ditanyai oleh Survei Kesehatan dan Kesejahteraan Pelajar Finlandia (KOTT), yang dilakukan Otoritas Kesehatan Masyarakat THL dan Institut Asuransi Sosial Kela setiap empat tahun, seluruhnya satu dari tiga pelajar tampaknya memiliki masalah mental, dengan proporsi antara perempuan mencapai 40%,” ungkap laporan surat kabar Hufvudstadsbladet, dilansir Sputnik pada Selasa (14/12/2021).
Studi lebih lanjut menemukan pelajar perempuan tiga kali lebih mungkin mengalami gangguan makan daripada rekan-rekan laki-laki mereka.
Manajer Pengembangan THL Suvi Parikka menjelaskan hal ini terjadi seiring meningkatnya beban belajar selama era coronavirus. Namun dia menekankan, ketegangan mental dan gejala kecemasan serta depresi meningkat bahkan sebelum pandemi.
Menurutnya, dampak dari pandemi COVID-19 mungkin hanya memperburuk masalah ini.
Beban belajar yang meningkat mungkin karena tantangan yang timbul dari pembelajaran jarak jauh, yang juga menyebabkan isolasi dan kesepian.
Survei dilakukan selama gelombang ketiga pandemi corona, pada musim semi 2021, ketika banyak siswa sebagian besar dikurung di rumah mereka.
Ini berarti sebagian besar belajar dilakukan sendiri dan kesempatan memelihara jaringan sosial sangat terbatas dan kegiatan sosial yang biasa dilihat sebagai bagian dari kehidupan pelajar dilarang atau dibatasi.
“Selain itu, tidak mungkin situasi akan berubah secara dramatis dalam waktu dekat,” ungkap Parikka.
Terlepas dari kenyataan mahasiswa setidaknya sebagian telah kembali ke kampus selama musim gugur, Layanan Kesehatan Mahasiswa Finlandia melaporkan pada November bahwa permintaan untuk layanan kesehatan mental musim gugur ini telah melebihi tingkat total tahunan di masa lalu.
Menurut Parikka, jelas bahwa perawatan kesehatan pelajar dan layanan kesehatan mental saja tidak akan menyelesaikan masalah kesehatan mental orang dewasa muda.
Oleh karena itu, situasi tersebut harus diatasi melalui kerja sama lintas sektor, dan lembaga pendidikan tinggi harus secara aktif mencari pelajar yang bermasalah dalam jaring pengaman sekolah.
“Perguruan tinggi perlu menonjolkan dan memperkuat semangat komunitas, dukungan sebaya dan bimbingan belajar dasar,” papar Parikka.
Namun, ada juga titik terang. Misalnya, survei menemukan kecemasan dan depresi kurang umum di antara pelajar yang berolahraga secara teratur.
“Tidur malam yang baik dan pola makan yang sehat membantu kesejahteraan dan pemulihan siswa, selain untuk menjaga lingkaran social,” pungkas Parikka.
Menurut Dewan Eropa, sekitar seperempat warga Finlandia menderita gejala psikologis dengan efek buruk pada suatu waktu dalam hidup mereka.
Diperkirakan 7% dari semua orang dewasa Finlandia menderita depresi, kecemasan, dan gangguan terkait alkohol.
Namun demikian, ini tidak mencegah negara Nordik, yang dikenal dengan cuaca beku yang keras dan musim dingin yang panjang dan gelap, untuk menduduki peringkat teratas negara-negara paling bahagia di dunia selama empat tahun berturut-turut.
(sya)