Masalah dengan Korsel Teratasi, Indonesia Tetap Bikin 48 Jet Tempur KF-21/IF-21
loading...
A
A
A
JAKARTA - Korea Selatan (Korsel) dan Indonesia akhirnya mencapai kesepakatan untuk membereskan masalah pembayaran untuk proyek jet tempur KF-21/IF-21 . Pihak Jakarta tetap melanjutkan proyek untuk memproduksi 48 jet tempur tersebut untuk TNI Angkatan Udara.
Kedua pihak telah berunding di Jakarta sejak Rabu lalu. Korea Selatan mengirim sekitar 7 negoisator.
Program jet tempur yang diberi nama Boromae oleh Korsel ini dikerjakan bersama Indonesia. Sesuai kesepakatan, pihak Jakarta menanggung pembayaran 20 persen dan sisanya ditanggung Seoul.
Namun, dalam perkembangannya, Indonesia terlambat membayar kontribusinya untuk proyek tersebut senilai 8 triliun won (USD6,7 miliar).
Ekonomi Indonesia yang dilanda COVID-19 menjadi salah satu alasan di balik penundaan pembayaran, meskipun Seoul membantah bahwa Jakarta telah memintanya untuk memotong setengah bebannya atau menyetujui pinjaman untuk kontribusinya dan membantu membangun jalur produksi lokal.
“Indonesia akan melakukan pembayaran selama lima tahun ke depan hingga 2026, dan tiga puluh persen di antaranya adalah transfer dalam bentuk barang,” kata Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) Korea Selatan, tanpa merinci lebih lanjut, sebagaimana dilansir Korea Herlad, Jumat (12/11/2021).
Badan pengadaan senjata negara Korea Selatan itu mengatakan kedua negara akan membahas barang atau aset apa yang akan digunakan sebagai pengganti uang tunai pada pertemuan terpisah nanti. Seorang pejabat DAPA mengatakan pembayaran itu dapat melibatkan sumber daya alam.
Pada bulan April, Presiden Moon Jae-in memuji prototipe KF-21, yang dikenal sebagai Boramae, sebagai tulang punggung Angkatan Udara Korea Selatan yang menandai era baru militer yang lebih mandiri, pada upacara pembukaan.
Proyek tersebut, yang pertama kali disusun pada tahun 2001, memperoleh daya tarik pada tahun 2010 ketika Indonesia setuju untuk menanggung biaya dengan imbalan transfer teknologi.
Tetapi Korea Selatan sejak itu menghadapi kesulitan dalam mengamankan perangkat lunak utama dari AS untuk pesawat tempur generasi 4,5-nya itu, dan juga pembayaran dari Indonesia.
Seoul telah berulang kali mengecilkan desas-desus bahwa Jakarta bisa hengkang dari proyek jet tempur itu, dengan mengatakan penarikan diri Indonesia tidak akan memengaruhi program tersebut.
Korea Selatan mengharapkan untuk memproduksi 120 unit jet tempur, sementara Indonesia bertanggung jawab untuk memproduksi 48 unit dan diberikan satu prototipe bersama dengan pengetahuan teknologi.
“Kami memiliki rutinitas terpisah, jadi apa yang kami buat di sini masuk ke gudang kami dan apa yang dibangun oleh orang Indonesia di sana masuk ke milik mereka,” kata seorang pejabat DAPA, meskipun dia menolak untuk mengonfirmasi jumlah pasti jet yang dijadwalkan untuk produksi karena alasan keamanan.
DAPA mengatakan 32 insinyur Indonesia saat ini bekerja di Korea Selatan bersama insinyur lokal, dan jumlahnya akan mencapai 100 orang pada Desember 2021 nanti.
Kedua pihak telah berunding di Jakarta sejak Rabu lalu. Korea Selatan mengirim sekitar 7 negoisator.
Program jet tempur yang diberi nama Boromae oleh Korsel ini dikerjakan bersama Indonesia. Sesuai kesepakatan, pihak Jakarta menanggung pembayaran 20 persen dan sisanya ditanggung Seoul.
Namun, dalam perkembangannya, Indonesia terlambat membayar kontribusinya untuk proyek tersebut senilai 8 triliun won (USD6,7 miliar).
Ekonomi Indonesia yang dilanda COVID-19 menjadi salah satu alasan di balik penundaan pembayaran, meskipun Seoul membantah bahwa Jakarta telah memintanya untuk memotong setengah bebannya atau menyetujui pinjaman untuk kontribusinya dan membantu membangun jalur produksi lokal.
“Indonesia akan melakukan pembayaran selama lima tahun ke depan hingga 2026, dan tiga puluh persen di antaranya adalah transfer dalam bentuk barang,” kata Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) Korea Selatan, tanpa merinci lebih lanjut, sebagaimana dilansir Korea Herlad, Jumat (12/11/2021).
Badan pengadaan senjata negara Korea Selatan itu mengatakan kedua negara akan membahas barang atau aset apa yang akan digunakan sebagai pengganti uang tunai pada pertemuan terpisah nanti. Seorang pejabat DAPA mengatakan pembayaran itu dapat melibatkan sumber daya alam.
Pada bulan April, Presiden Moon Jae-in memuji prototipe KF-21, yang dikenal sebagai Boramae, sebagai tulang punggung Angkatan Udara Korea Selatan yang menandai era baru militer yang lebih mandiri, pada upacara pembukaan.
Proyek tersebut, yang pertama kali disusun pada tahun 2001, memperoleh daya tarik pada tahun 2010 ketika Indonesia setuju untuk menanggung biaya dengan imbalan transfer teknologi.
Tetapi Korea Selatan sejak itu menghadapi kesulitan dalam mengamankan perangkat lunak utama dari AS untuk pesawat tempur generasi 4,5-nya itu, dan juga pembayaran dari Indonesia.
Seoul telah berulang kali mengecilkan desas-desus bahwa Jakarta bisa hengkang dari proyek jet tempur itu, dengan mengatakan penarikan diri Indonesia tidak akan memengaruhi program tersebut.
Korea Selatan mengharapkan untuk memproduksi 120 unit jet tempur, sementara Indonesia bertanggung jawab untuk memproduksi 48 unit dan diberikan satu prototipe bersama dengan pengetahuan teknologi.
“Kami memiliki rutinitas terpisah, jadi apa yang kami buat di sini masuk ke gudang kami dan apa yang dibangun oleh orang Indonesia di sana masuk ke milik mereka,” kata seorang pejabat DAPA, meskipun dia menolak untuk mengonfirmasi jumlah pasti jet yang dijadwalkan untuk produksi karena alasan keamanan.
DAPA mengatakan 32 insinyur Indonesia saat ini bekerja di Korea Selatan bersama insinyur lokal, dan jumlahnya akan mencapai 100 orang pada Desember 2021 nanti.
(min)