Terpidana Mati di Jepang Gugat Putusan dan Eksekusi Gantung pada Hari yang Sama
loading...
A
A
A
TOKYO - Dua terpidana mati di Jepang melayangkan gugatan pada pemerintah. Mereka menggugat kebijakan pemerintah Jepang yang mengumumkan putusan dan melakukan eksekusi mati di hari yang sama. Selama ini, tahanan terpidana mati hanya diberitahu beberapa jam sebelum waktu eksekusi. Hukuman mati di Jepang dilakukan dengan cara digantung.
Pengacara mereka berpendapat, pemberitahuan singkat seperti itu "sangat tidak manusiawi". Kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) telah lama mengkritik praktik tersebut. Kelompok HAM mengatakan bahwa hal itu mempengaruhi kesehatan mental para tahanan.
"Terpidana mati menjalani hidup dalam ketakutan setiap pagi, bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir mereka," kata pengacara dua terpidana mati, Yutaka Ueda, menurut laporan Reuters, Sabtu (6/11/2021).
"Pemerintah pusat telah mengatakan, kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga tahanan dari penderitaan sebelum eksekusi mereka, tapi itu bukan penjelasan. Di luar negeri, tahanan diberikan waktu untuk merenungkan akhir hidup mereka dan mempersiapkan mental," lanjutnya.
Para tahanan mengajukan gugatan di pengadilan distrik di kota Osaka pada hari Kamis, dalam apa yang diyakini sebagai yang pertama. Para terpidana mati itu beralasan, pemberitahuan singkat tidak memberi mereka waktu untuk mengajukan keberatan.
“Jepang benar-benar berada di belakang komunitas internasional dalam hal ini,” kata pengacara Ueda. Dia menambahkan bahwa tidak ada undang-undang di negara yang mengamanatkan bahwa tahanan diberikan pemberitahuan singkat tentang eksekusi mereka, dan bahwa dia akan menunggu tanggapan dari pemerintah sambil mendesak lebih banyak tekanan publik seputar masalah ini.
Kementerian Kehakiman Jepang tidak segera menanggapi permintaan komentar. Saat ini ada 112 orang terpidana mati di Jepang dan selama hampir dua tahun terakhir, tidak ada yang dieksekusi.
Kelompok HAM Amnesty International sebelumnya menyerukan hukuman mati di Jepang karena "diselubungi kerahasiaan." Amnesty Internasional juga mengkritik pemberitahuan singkat yang diberikan kepada terpidana mati. Bahkan, dalam beberapa kasus anggota keluarga hanya diberitahu setelah eksekusi dilakukan.
Jajak pendapat publik di Jepang dan di beberapa bagian Asia Tenggara secara teratur menunjukkan mayoritas orang mendukung hukuman mati, yang biasanya terkait dengan pembunuhan atau pelanggaran narkoba.
Di Amerika Serikat, mayoritas orang dewasa mendukung hukuman mati bagi orang yang dihukum karena pembunuhan, menurut survei April dari Pew Research Center. Sementara eksekusi tingkat negara bagian telah menurun, pemerintah federal mengeksekusi lebih banyak tahanan di bawah Presiden Donald Trump daripada kapan pun sejak Mahkamah Agung memberlakukan kembali hukuman mati pada tahun 1976.
Lebih dari 100 negara secara global telah melarang hukuman mati, menurut data dari Death Penalty Project, sebuah organisasi nirlaba, dengan Sierra Leone pada bulan Juli menjadi negara terbaru yang menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan.
Pengacara mereka berpendapat, pemberitahuan singkat seperti itu "sangat tidak manusiawi". Kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) telah lama mengkritik praktik tersebut. Kelompok HAM mengatakan bahwa hal itu mempengaruhi kesehatan mental para tahanan.
"Terpidana mati menjalani hidup dalam ketakutan setiap pagi, bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir mereka," kata pengacara dua terpidana mati, Yutaka Ueda, menurut laporan Reuters, Sabtu (6/11/2021).
"Pemerintah pusat telah mengatakan, kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga tahanan dari penderitaan sebelum eksekusi mereka, tapi itu bukan penjelasan. Di luar negeri, tahanan diberikan waktu untuk merenungkan akhir hidup mereka dan mempersiapkan mental," lanjutnya.
Para tahanan mengajukan gugatan di pengadilan distrik di kota Osaka pada hari Kamis, dalam apa yang diyakini sebagai yang pertama. Para terpidana mati itu beralasan, pemberitahuan singkat tidak memberi mereka waktu untuk mengajukan keberatan.
“Jepang benar-benar berada di belakang komunitas internasional dalam hal ini,” kata pengacara Ueda. Dia menambahkan bahwa tidak ada undang-undang di negara yang mengamanatkan bahwa tahanan diberikan pemberitahuan singkat tentang eksekusi mereka, dan bahwa dia akan menunggu tanggapan dari pemerintah sambil mendesak lebih banyak tekanan publik seputar masalah ini.
Kementerian Kehakiman Jepang tidak segera menanggapi permintaan komentar. Saat ini ada 112 orang terpidana mati di Jepang dan selama hampir dua tahun terakhir, tidak ada yang dieksekusi.
Kelompok HAM Amnesty International sebelumnya menyerukan hukuman mati di Jepang karena "diselubungi kerahasiaan." Amnesty Internasional juga mengkritik pemberitahuan singkat yang diberikan kepada terpidana mati. Bahkan, dalam beberapa kasus anggota keluarga hanya diberitahu setelah eksekusi dilakukan.
Jajak pendapat publik di Jepang dan di beberapa bagian Asia Tenggara secara teratur menunjukkan mayoritas orang mendukung hukuman mati, yang biasanya terkait dengan pembunuhan atau pelanggaran narkoba.
Di Amerika Serikat, mayoritas orang dewasa mendukung hukuman mati bagi orang yang dihukum karena pembunuhan, menurut survei April dari Pew Research Center. Sementara eksekusi tingkat negara bagian telah menurun, pemerintah federal mengeksekusi lebih banyak tahanan di bawah Presiden Donald Trump daripada kapan pun sejak Mahkamah Agung memberlakukan kembali hukuman mati pada tahun 1976.
Lebih dari 100 negara secara global telah melarang hukuman mati, menurut data dari Death Penalty Project, sebuah organisasi nirlaba, dengan Sierra Leone pada bulan Juli menjadi negara terbaru yang menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan.
(esn)