Inggris Negara Pertama Obati COVID-19 dengan Pil

Kamis, 04 November 2021 - 22:49 WIB
loading...
Inggris Negara Pertama...
Inggris menjadi negara pertama di dunia yang mengobati gejala COVID-19 dengan pil. Foto/Ilustrasi
A A A
LONDON - Regulator obat-obatan Inggris telah menyetujui pengobatan gejala COVID-19 dengan pil. Hal ini diumumkan langsung oleh pemerintah Inggris, menjadikannya negara pertama yang menggunakan pil untuk mengobati gejala COVID-19.

Obat yang diberinama molnupiravir akan diberikan dua kali sehari kepada pasien rentan yang baru saja didiagnosis dengan penyakit tersebut. Dalam uji klinis, pil yang awalnya dikembangkan untuk mengobati flu, mengurangi risiko rawat inap atau kematian sekitar setengahnya.

Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid mengatakan pengobatan itu adalah "pengubah permainan" bagi mereka yang paling lemah dan imunosupresi.

"Hari ini adalah hari bersejarah bagi negara kita, karena Inggris sekarang adalah negara pertama di dunia yang menyetujui obat antivirus yang dapat dibawa pulang untuk COVID," kata Javid sebuah pernyataan seperti dikutip dari BBC, Kamis (4/11/2021).

Javid mengatakan pemerintah Inggris bekerja dengan kecepatan bersama Layanan Kesehatan Nasional Inggris, NHS, untuk menyebarkan obat antivirus itu kepada pasien melalui studi nasional sesegera mungkin.

“Antivirus ini akan menjadi tambahan yang sangat baik untuk gudang senjata kami melawan COVID-19,” katanya seraya menambahkan bahwa vaksinasi tetap penting.

“Tetap penting setiap orang maju untuk (mendapatkan) vaksin COVID-19 yang menyelamatkan jiwa mereka serta untuk suntikan penguat," sambungnya seperti dikutip dari NBC.



Molnupiravir dikembangkan oleh perusahaan obat Amerika Serikat (AS) Merck, Sharp and Dohme (MSD) dan Ridgeback Biotherapeutics. Obat ini adalah obat antivirus oral pertama untuk COVID-19 yang dapat diminum sebagai pil daripada disuntikkan atau diberikan secara intravena.

Pemerintah Inggris mengatakan molnupiravir ditemukan bekerja dalam kasus-kasus simtomatik dengan mengganggu replikasi virus COVID-19. Dengan mencegah virus berkembang biak, obat membantu menjaga tingkat virus dalam tubuh tetap rendah, mengurangi keparahan dan dampak penyakit.

Data uji klinis menunjukkan bahwa obat ini paling efektif bila diberikan selama tahap awal infeksi.

Merck mengatakan pendekatan itu harus membuat pengobatan sama efektifnya terhadap varian baru virus saat berkembang di masa depan.

Regulator obat-obatan Inggris, MHRA, mengatakan tablet tersebut telah diizinkan untuk digunakan pada orang yang memiliki COVID-19 ringan hingga sedang serta setidaknya satu faktor risiko untuk mengembangkan penyakit parah seperti obesitas, usia tua, diabetes, atau penyakit jantung.

Kepala eksekutif MHRA, June Raine, menggambarkan perawatan itu sebagai terapi lain untuk menambah gudang senjata Inggris dalam melawan COVID-19.

"Ini adalah antivirus pertama yang disetujui di dunia untuk penyakit ini yang dapat diminum daripada diberikan secara intravena," jelasnya.

“Ini penting, karena artinya bisa diberikan di luar rumah sakit, sebelum COVID-19 berkembang ke stadium yang parah,” sambungnya.

"NHS siap mendukung studi yang direncanakan tentang molnupiravir dan antivirus lainnya pada pasien dengan risiko komplikasi yang lebih tinggi, dan untuk menyediakan peluncuran yang lebih luas jika terbukti secara klinis dan hemat biaya dalam mengurangi rawat inap dan kematian," ucap Profesor Stephen Powis, Direktur medis nasional untuk NHS.



Inggris awalnya telah memesan 480.000 molnupiravir untuk diberikan pada akhir tahun, bersama dengan 250.000 obat eksperimental serupa yang saat ini sedang dikembangkan oleh perusahaan obat Amerika Serikat (AS) Pfizer.

Pemerintah Inggris belum mengungkapkan berapa nilai kontrak tersebut. Tetapi pemerintah AS telah melakukan pembelian awal 1,7 juta obat dengan biaya sekitar USD1,2 miliar untuk setiap dosis.

Negara-negara lain termasuk Australia, Singapura dan Korea Selatan telah melakukan perjanjian pembelian.

Persetujuan pil ini datang di tengah kekhawatiran yang meluas atas tingginya tingkat COVID-19, dengan Inggris melihat puluhan ribu kasus dikonfirmasi setiap hari.

Menurut Universitas Johns Hopkins pada hari Rabu saja Inggris mencatat lebih dari 40.800 kasus baru diidentifikasi, dengan jumlah kematian harian mencapai 217. Rata-rata tujuh hari dalam seminggu berada di 39.216 dan 163 kematian per hari.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sejauh ini menolak seruan untuk menerapkan pendekatan "Rencana B" yang akan melihat kembalinya mandat masker dan jarak sosial setelah pencabutan pembatasan oleh pemerintahnya di Inggris pada bulan Juli.

(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1159 seconds (0.1#10.140)