Bos Raytheon: AS Tertinggal Beberapa Tahun dari China dalam Teknologi Senjata Hipersonik
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) tertinggal bertahun-tahun di belakang China dalam teknologi senjata hipersonik. CEO Raytheon Technologies Corp Gregory Hayes mengungkapkan penilaian itu pada Selasa (26/10/2021).
Senjata hipersonik mampu bergerak di atmosfer dengan kecepatan lebih dari lima kali kecepatan suara. Senjata itu meski terdeteksi radar, akan sulit untuk dilumpuhkan.
“Meski Pentagon memiliki sejumlah program senjata hipersonik dalam pengembangan dan AS memahami teknologinya, China telah benar-benar menerjunkan senjata hipersonik,” ungkap CEO Raytheon Gregory Hayes dalam wawancara di acara “Balance of Power With David Westin” Bloomberg Television.
Dia menegaskan, “Setidaknya kita tertinggal beberapa tahun.”
Sistem senjata ultra-cepat itu memicu kekhawatiran karena potensinya mengacaukan hubungan antara AS, China, dan Rusia.
Senjata itu juga dapat menjadi front terdepan dalam persaingan yang meningkat antara Beijing dan Washington ketika dua ekonomi terbesar dunia berbenturan dalam masalah perdagangan, teknologi, dan isu kemanusiaan.
Raytheon saat ini sedang mengembangkan rudal jelajah hipersonik dengan militer AS.
“Kemampuan hipersonik adalah ancaman paling mengganggu bagi tanah air kita. Waktu untuk bereaksi sangat, sangat singkat,” papar dia.
Komentar CEO muncul setelah laporan China melakukan dua tes senjata hipersonik selama musim panas, termasuk salah satu yang disebut kendaraan luncur hipersonik.
Diluncurkan dari rudal atau roket, kendaraan peluncur itu terpisah dan meluncur menuju target saat bermanuver di atmosfer.
Hayes mengatakan senjata semacam itu dapat mencapai kecepatan 22.000 mil per jam.
“Kita harus memiliki sistem otomatis untuk mempertahankan tanah air, dan kita fokus pada itu,” ujar dia.
Unit Rudal dan Pertahanan Raytheon pada September berhasil menguji coba rudal jelajah hipersonik yang dapat melaju dengan kecepatan lebih dari Mach 5 sebagai bagian dari kontrak pengembangan untuk Angkatan Udara AS dan Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), badan pengembangan teknologi canggih Departemen Pertahanan AS.
“Kita akan memiliki senjata untuk menantang musuh, tetapi yang paling penting saya pikir fokus kita adalah bagaimana kita mengembangkan kontra-hipersonik. Di situlah tantangannya,” tutur Hayes.
Saham Raytheon turun 2,5% menjadi USD88,99 pada pukul 14:38 di New York setelah perusahaan melaporkan laba kuartal ketiga pada Rabu (27/10/2021).
Senjata hipersonik mampu bergerak di atmosfer dengan kecepatan lebih dari lima kali kecepatan suara. Senjata itu meski terdeteksi radar, akan sulit untuk dilumpuhkan.
“Meski Pentagon memiliki sejumlah program senjata hipersonik dalam pengembangan dan AS memahami teknologinya, China telah benar-benar menerjunkan senjata hipersonik,” ungkap CEO Raytheon Gregory Hayes dalam wawancara di acara “Balance of Power With David Westin” Bloomberg Television.
Dia menegaskan, “Setidaknya kita tertinggal beberapa tahun.”
Sistem senjata ultra-cepat itu memicu kekhawatiran karena potensinya mengacaukan hubungan antara AS, China, dan Rusia.
Senjata itu juga dapat menjadi front terdepan dalam persaingan yang meningkat antara Beijing dan Washington ketika dua ekonomi terbesar dunia berbenturan dalam masalah perdagangan, teknologi, dan isu kemanusiaan.
Raytheon saat ini sedang mengembangkan rudal jelajah hipersonik dengan militer AS.
“Kemampuan hipersonik adalah ancaman paling mengganggu bagi tanah air kita. Waktu untuk bereaksi sangat, sangat singkat,” papar dia.
Komentar CEO muncul setelah laporan China melakukan dua tes senjata hipersonik selama musim panas, termasuk salah satu yang disebut kendaraan luncur hipersonik.
Diluncurkan dari rudal atau roket, kendaraan peluncur itu terpisah dan meluncur menuju target saat bermanuver di atmosfer.
Hayes mengatakan senjata semacam itu dapat mencapai kecepatan 22.000 mil per jam.
“Kita harus memiliki sistem otomatis untuk mempertahankan tanah air, dan kita fokus pada itu,” ujar dia.
Unit Rudal dan Pertahanan Raytheon pada September berhasil menguji coba rudal jelajah hipersonik yang dapat melaju dengan kecepatan lebih dari Mach 5 sebagai bagian dari kontrak pengembangan untuk Angkatan Udara AS dan Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), badan pengembangan teknologi canggih Departemen Pertahanan AS.
“Kita akan memiliki senjata untuk menantang musuh, tetapi yang paling penting saya pikir fokus kita adalah bagaimana kita mengembangkan kontra-hipersonik. Di situlah tantangannya,” tutur Hayes.
Saham Raytheon turun 2,5% menjadi USD88,99 pada pukul 14:38 di New York setelah perusahaan melaporkan laba kuartal ketiga pada Rabu (27/10/2021).
(sya)