Putin Setuju Rusia Membom Nuklir Musuh Meski Bersenjata Konvensional
loading...
A
A
A
MOSKOW - Rusia menetapkan aturan penggunaan senjata nuklir jika terjadi perang sebagai bagian dari doktrin militer terbarunya. Aturan yang disetujui Presiden Vladimir Putin pada Selasa (2/6/2020) ini memungkinkan Moskow menjadi pengguna pertama senjata atau bom nuklir terhadap musuh yang bersenjata konvensional sekalipun.
Aturan baru ini merinci musuh yang boleh dibom nuklir adalah mereka yang serangannya mengancam keberadaan negara Rusia, entah itu musuh bersenjata atom maupun konvensional.
Mengutip laporan The Newsweek, Rabu (3/6/2020), dalam dokumen doktrin militer baru ada empat skenario yang mengharuskan Moskow menggunakan senjata pemusnah massal. Yakni; serangan musuh pada objek-objek kritis Rusia, agresi terhadap Rusia dengan senjata konvensional, serangan yang mengancam keberadaan negara, penggunaan nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya terhadap Rusia atau pun sekutunya. (Baca: Rusia Ancam AS dengan Serangan Nuklir Habis-habisan )
Lebih rinci, dua ketentuan baru dari empat skenario itu tersebut mencakup kasus-kasus di mana pemerintah menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa serangan rudal balistik sudah dekat atau musuh merusak fasilitas kritis dan militer negara tersebut sehingga kemampuan membalas dendam dengan senjata nuklir terganggu.
Dokumen tersebut menjelaskan tentang menahan dan mencegah agresi terhadap Rusia sebagai di antara prioritas nasional tertinggi. Pada akhirnya, kebijakan senjata nuklir Moskow digambarkan sebagai "bersifat defensif" dan dirancang untuk melindungi kedaulatan negara terhadap musuh potensial.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) tetap ambigu tentang prinsip-prinsip ambang batasnya sendiri untuk menggunakan senjata nuklir. Dokumen Nuclear Posture Review (NPR) Amerika terbaru, yang diterbitkan pada tahun 2018, menyatakan negara itu mempertimbangkan untuk menggunakan senjata nuklir hanya dalam kasus-kasus ekstrem ketika dipaksa untuk mempertahankan AS, sekutu atau pun mitranya.
Namun, dalam dokumen yang dihapus dengan cepat yang dibagikan tahun lalu oleh Kepala Staf Gabungan AS, mengindikasikan aplikasi yang lebih berpotensi lebih luas untuk senjata pemusnah massal semacam itu. "Menggunakan senjata nuklir dapat menciptakan kondisi untuk hasil yang menentukan dan pemulihan stabilitas strategis," bunyi salah satu rincian dokumen tersebut.
"Secara khusus, penggunaan senjata nuklir akan secara fundamental mengubah ruang lingkup pertempuran dan menciptakan kondisi yang memengaruhi bagaimana komandan akan menang dalam konflik."
Baik Uni Soviet—nama negara Rusia sebelumnya—dan Amerika Serikat menumpuk puluhan ribu senjata nuklir selama Perang Dingin mereka yang berlangsung selama beberapa dekade dan meskipun kedua negara telah mengambil langkah-langkah signifikan menuju non-proliferasi, mereka tetap memiliki simpanan senjata nuklir terbesar di dunia.
Sejak mulai menjabat pada tahun 2017, Presiden AS Donald Trump telah mengancam untuk membiarkan perjanjian bersejarah yang membatasi dan memungkinkan mekanisme berbagi informasi persenjataan antara AS dan Rusia berakhir.
The New Strategic Arms Reduction Treaty (New START/Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru) membatasi Rusia dan AS dalam meluncurkan rudal balistik antarbenua, rudal balistik yang diluncurkan kapal selam dan pembom berat menjadi masing-masing 700. Hulu ledak yang disebarkan di kedua sisi tidak boleh melebihi 1.550 unit dan peluncur yang disebar dan tidak disebar dibatasi hingga 800.
Kesepakatan itu—yang ditandatangani pada 2010 sebagai penerus START yang asli—akan berakhir Februari mendatang dan pemerintahan Trump belum menegosiasikan perpanjangan perjanjian tersebut. Sebaliknya, Gedung Putih telah mencari kesepakatan baru yang melibatkan platform senjata baru yang lebih maju termasuk rudal hipersonik yang sangat bisa bermanuver, serta negara-negara lain seperti China untuk ikut dimasukkan. Sejauh ini China menolak.
"Perjanjian pengendalian senjata berikutnya harus multilateral," kata Marshall Billingslea, Asisten Menteri Keuangan untuk Pendanaan Teroris dan calon Wakil Menteri Luar Negeri untuk Pengendalian Senjata dan Urusan Keamanan Internasional kepada wartawan pekan lalu. "Kami benar-benar berharap bahwa pengaturan apa pun yang tercapai, China akan menjadi bagian dari kerangka kerja trilateral ke depan."
Aturan baru ini merinci musuh yang boleh dibom nuklir adalah mereka yang serangannya mengancam keberadaan negara Rusia, entah itu musuh bersenjata atom maupun konvensional.
Mengutip laporan The Newsweek, Rabu (3/6/2020), dalam dokumen doktrin militer baru ada empat skenario yang mengharuskan Moskow menggunakan senjata pemusnah massal. Yakni; serangan musuh pada objek-objek kritis Rusia, agresi terhadap Rusia dengan senjata konvensional, serangan yang mengancam keberadaan negara, penggunaan nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya terhadap Rusia atau pun sekutunya. (Baca: Rusia Ancam AS dengan Serangan Nuklir Habis-habisan )
Lebih rinci, dua ketentuan baru dari empat skenario itu tersebut mencakup kasus-kasus di mana pemerintah menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa serangan rudal balistik sudah dekat atau musuh merusak fasilitas kritis dan militer negara tersebut sehingga kemampuan membalas dendam dengan senjata nuklir terganggu.
Dokumen tersebut menjelaskan tentang menahan dan mencegah agresi terhadap Rusia sebagai di antara prioritas nasional tertinggi. Pada akhirnya, kebijakan senjata nuklir Moskow digambarkan sebagai "bersifat defensif" dan dirancang untuk melindungi kedaulatan negara terhadap musuh potensial.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) tetap ambigu tentang prinsip-prinsip ambang batasnya sendiri untuk menggunakan senjata nuklir. Dokumen Nuclear Posture Review (NPR) Amerika terbaru, yang diterbitkan pada tahun 2018, menyatakan negara itu mempertimbangkan untuk menggunakan senjata nuklir hanya dalam kasus-kasus ekstrem ketika dipaksa untuk mempertahankan AS, sekutu atau pun mitranya.
Namun, dalam dokumen yang dihapus dengan cepat yang dibagikan tahun lalu oleh Kepala Staf Gabungan AS, mengindikasikan aplikasi yang lebih berpotensi lebih luas untuk senjata pemusnah massal semacam itu. "Menggunakan senjata nuklir dapat menciptakan kondisi untuk hasil yang menentukan dan pemulihan stabilitas strategis," bunyi salah satu rincian dokumen tersebut.
"Secara khusus, penggunaan senjata nuklir akan secara fundamental mengubah ruang lingkup pertempuran dan menciptakan kondisi yang memengaruhi bagaimana komandan akan menang dalam konflik."
Baik Uni Soviet—nama negara Rusia sebelumnya—dan Amerika Serikat menumpuk puluhan ribu senjata nuklir selama Perang Dingin mereka yang berlangsung selama beberapa dekade dan meskipun kedua negara telah mengambil langkah-langkah signifikan menuju non-proliferasi, mereka tetap memiliki simpanan senjata nuklir terbesar di dunia.
Sejak mulai menjabat pada tahun 2017, Presiden AS Donald Trump telah mengancam untuk membiarkan perjanjian bersejarah yang membatasi dan memungkinkan mekanisme berbagi informasi persenjataan antara AS dan Rusia berakhir.
The New Strategic Arms Reduction Treaty (New START/Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru) membatasi Rusia dan AS dalam meluncurkan rudal balistik antarbenua, rudal balistik yang diluncurkan kapal selam dan pembom berat menjadi masing-masing 700. Hulu ledak yang disebarkan di kedua sisi tidak boleh melebihi 1.550 unit dan peluncur yang disebar dan tidak disebar dibatasi hingga 800.
Kesepakatan itu—yang ditandatangani pada 2010 sebagai penerus START yang asli—akan berakhir Februari mendatang dan pemerintahan Trump belum menegosiasikan perpanjangan perjanjian tersebut. Sebaliknya, Gedung Putih telah mencari kesepakatan baru yang melibatkan platform senjata baru yang lebih maju termasuk rudal hipersonik yang sangat bisa bermanuver, serta negara-negara lain seperti China untuk ikut dimasukkan. Sejauh ini China menolak.
"Perjanjian pengendalian senjata berikutnya harus multilateral," kata Marshall Billingslea, Asisten Menteri Keuangan untuk Pendanaan Teroris dan calon Wakil Menteri Luar Negeri untuk Pengendalian Senjata dan Urusan Keamanan Internasional kepada wartawan pekan lalu. "Kami benar-benar berharap bahwa pengaturan apa pun yang tercapai, China akan menjadi bagian dari kerangka kerja trilateral ke depan."
(min)