Wartawan Australia Jadi Korban Keberingasan Polisi AS

Selasa, 02 Juni 2020 - 20:05 WIB
loading...
Wartawan Australia Jadi Korban Keberingasan Polisi AS
Kamerawan 7NEWS Australia, Tim Myers, ditinju oleh petugas polisi AS saat meliput aksi protes di luar Gedung Putih. Foto/MalayMail
A A A
SYDNEY - Australia sedang menyelidiki serangan polisi Amerika Serikat (AS) terhadap dua wartawan Australia di luar Gedung Putih. Australia akan menyampaikan protes secara resmi kepada AS.

"Kami telah meminta kedutaan Australia di Washington DC untuk menyelidiki insiden ini," kata Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, setelah para jurnalis didorong, ditinju dan dipukul dengan tongkat dalam siaran langsung di televisi.

"Saya ingin mendapatkan saran lebih lanjut tentang bagaimana kita akan menyampaikan kekhawatiran kuat Australia dengan otoritas lokal yang bertanggung jawab di Washington," imbuhnya, yang mengindikasikan keluhan resmi akan menyusul seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (2/6/2020).

Payne tampaknya mencoba menghindari mengkritik Presiden AS Donald Trump secara langsung.

"Ini jelas merupakan periode yang sangat mengganggu di Amerika Serikat dan periode yang sangat sulit di banyak tingkatan," katanya kepada radio ABC.

"Kami selalu mendukung hak rakyat untuk melakukan protes damai dan kami mendorong semua yang terlibat di kedua belah pihak untuk menahan diri dan menghindari kekerasan," imbuhnya.

Rekaman menunjukkan reporter 7NEWS Australia Amelia Brace dipukuli dengan pentungan dan juru kamera Tim Myers dipukul dengan perisai anti huru-hara serta ditinju di wajahnya oleh polisi AS yang sedang membersihkan demonstran di Lafayette Square, Washington, pada Senin kemarin.

Para wartawan mengatakan mereka kemudian ditembak dengan peluru karet dan gas air mata, yang menurut Brace, membuat keduanya "agak sakit".

Insiden itu disiarkan secara luas di Australia, menyebabkan kekhawatiran di negara yang telah menjadi sekutu dekat AS.

"Kami menganggap serius perlakuan buruk terhadap jurnalis, seperti halnya semua orang yang menganggap serius demokrasi," kata Duta Besar AS untuk Australia, Arthur Culvahouse, di Twitter.

Polisi AS - dengan dukungan dari personel militer - telah secara paksa membersihkan alun-alun dari pemrotes damai untuk memungkinkan Presiden Donald Trump meninggalkan Gedung Putih.

Trump telah menghadapi kritik pedas terkait caranya menangani aksi protes selama seminggu yang dipicu oleh kematian seorang pria Afro-Amerika yang tidak bersenjata di Minneapolis.

George Floyd meninggal setelah seorang perwira polisi kulit putih mencekik lehernya dengan lutut selama hampir sembilan menit. (Baca: Viral, Video Pria Kulit Hitam Meninggal Dicekik Polisi AS )

Di beberapa kota, demonstrasi telah meningkat menjadi kerusuhan, konfrontasi kekerasan dengan polisi dan penjarahan, mendorong penyebaran Garda Nasional ke sekitar dua lusin negara bagian AS dan jam malam diberlakukan dengan ketat.

Di Sydney, lebih dari 1.000 orang berpawai oleh konsulat AS dalam aksi solidaritas terhadap para pemrotes Amerika. Para demonstran menyerukan kepada pemerintah mereka sendiri untuk berbuat lebih banyak guna menghentikan perlakukan kejam terhadap suku asli Australia Aborigin.

"Black Lives adalah gerakan dunia, bukan hanya gerakan Amerika," kata Tristan Field, seorang pengunjuk rasa First Nations.

"Ada orang kulit hitam sekarat di Australia sama seperti ada orang kulit hitam sekarat di Amerika sekarang," imbuhnya.

Dalam tiga dekade sejak penyelidikan pemerintah atas kematian Aborigin dalam tahanan, ada 420 kasus lagi, menurut penghitungan Amnesty International, tanpa ada hukuman yang dicatat sebagai hasilnya.
(ber)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1316 seconds (0.1#10.140)