Hakim Turkey Tribunal: Ada Kejahatan Kemanusiaan di Turki
loading...
A
A
A
JENEWA - Para hakim Pengadilan Turkey Tribunal di Jenewa, Swiss , mengumumkan putusan mereka atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Turki yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan , Jumat(24/9/2021). Mereka mengatakan bahwa penyiksaan dan penculikan yang dilakukan oleh pejabat negara Turki sejak Juli 2016 dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hakim ketua Françoise Barones Tulkens menyatakan bahwa putusan itu tidak mengikat secara hukum tetapi dapat berfungsi sebagai sumber moral untuk meningkatkan kesadaran bagi dunia.
"Pengadilan menerima laporan yang kredibel tentang adanya kekerasan, penyiksaan, dan bahwa penculikan seseorang itu sama halnya dengan penghilangan paksa," kata Tulkens, seperti dilansir stockholmcf.org, Sabtu (25/9/2021).
Berkenaan dengan kebebasan pers, Tulkens mengatakan pengadilan juga mendapat adanya laporan para jurnalis yang dipenjara dan menerima kekerasan fisik dan mental yang berulang. Pengadilan juga menyimpulkan bahwa Turki tidak memenuhi kewajibannya di bawah hukum internasional untuk memastikan akses publik terhadap keadilan.
"Memperhatikan bahwa impunitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia adalah praktik yang mengakar dalam sistem peradilan pidana, pengadilan menggarisbawahi bahwa para korban pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan trauma oleh kurangnya akses ke keadilan," lanjutnya.
Majelis hakim Turkey Tribunal termasuk tokoh-tokoh terkemuka seperti Prof. Em. Dr. Francoise Barones Tulkens, mantan wakil ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECtHR); Dr. Johann van der Westhuizen, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan; dan Prof.Em. Dr. Giorgio Malinverni dan Prof. Dr. Ledi Bianku yang menjabat sebagai juri di ECtHR.
Majelis hakim sejauh ini telah mendengarkan keterangan saksi-saksi yang menjadi korban pelanggaran HAM. Beberapa pakar dan organisasi hak asasi manusia terkemuka juga telah memberikan laporan kepada Turkey Tribunal.
Selama sesi pengadilan minggu ini, hakim mendengar kesaksian Mehmet Alp, seorang guru yang diculik dan menerima intimidasi dan kekerasan oleh pasukan keamanan di Turki; kemudian Erhan Dogan, guru lain yang disiksa dalam tahanan polisi; Mustafa zben, diculik oleh intelijen Turki; Eren Keskin, seorang aktivis hak asasi manusia yang ditangkap dan dipenjarakan karena aktivitasnya; dan Mesut Kacmaz, yang diculik oleh intelijen Turki. Juga saksi lainnya termasuk wartawan yang tinggal di pengasingan Cevheri Guven dan Meltem Oktay, mantan jaksa Hasan Dursun dan mantan hakim Suleyman Bozoglu.
Pemerintah Turki tidak menggunakan kesempatan yang diberikan untuk menjawab semua tuduhan ini.
Sementara itu, Johan Vande Lanotte, profesor hukum di Universitas Ghent, yang mengoordinasikan inisiatif tersebut, menyebutkan tidak efektifnya metode konvensional untuk meghukum pelanggaran hak asasi manusia di Turki membuat mereka memunculkan ide untuk mendirikan sebuah pengadilan sendiri.
Lanotte mengatakan keputusan badan-badan PBB, lembaga-lembaga Uni Eropa dan putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa tidak menghasilkan perubahan positif sehubungan dengan perilaku otoritas Turki.
Turki telah mengalami krisis hak asasi manusia yang mendalam dalam beberapa tahun terakhir, dan Presiden Recep Tayyip ErdoÄźan dengan tujuan mengkonsolidasikan pemerintahannya sendiri, telah secara sistematis merusak pilar-pilar fundamental demokrasi Turki yang sudah tidak sempurna.
Hakim ketua Françoise Barones Tulkens menyatakan bahwa putusan itu tidak mengikat secara hukum tetapi dapat berfungsi sebagai sumber moral untuk meningkatkan kesadaran bagi dunia.
"Pengadilan menerima laporan yang kredibel tentang adanya kekerasan, penyiksaan, dan bahwa penculikan seseorang itu sama halnya dengan penghilangan paksa," kata Tulkens, seperti dilansir stockholmcf.org, Sabtu (25/9/2021).
Berkenaan dengan kebebasan pers, Tulkens mengatakan pengadilan juga mendapat adanya laporan para jurnalis yang dipenjara dan menerima kekerasan fisik dan mental yang berulang. Pengadilan juga menyimpulkan bahwa Turki tidak memenuhi kewajibannya di bawah hukum internasional untuk memastikan akses publik terhadap keadilan.
"Memperhatikan bahwa impunitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia adalah praktik yang mengakar dalam sistem peradilan pidana, pengadilan menggarisbawahi bahwa para korban pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan trauma oleh kurangnya akses ke keadilan," lanjutnya.
Majelis hakim Turkey Tribunal termasuk tokoh-tokoh terkemuka seperti Prof. Em. Dr. Francoise Barones Tulkens, mantan wakil ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECtHR); Dr. Johann van der Westhuizen, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan; dan Prof.Em. Dr. Giorgio Malinverni dan Prof. Dr. Ledi Bianku yang menjabat sebagai juri di ECtHR.
Majelis hakim sejauh ini telah mendengarkan keterangan saksi-saksi yang menjadi korban pelanggaran HAM. Beberapa pakar dan organisasi hak asasi manusia terkemuka juga telah memberikan laporan kepada Turkey Tribunal.
Selama sesi pengadilan minggu ini, hakim mendengar kesaksian Mehmet Alp, seorang guru yang diculik dan menerima intimidasi dan kekerasan oleh pasukan keamanan di Turki; kemudian Erhan Dogan, guru lain yang disiksa dalam tahanan polisi; Mustafa zben, diculik oleh intelijen Turki; Eren Keskin, seorang aktivis hak asasi manusia yang ditangkap dan dipenjarakan karena aktivitasnya; dan Mesut Kacmaz, yang diculik oleh intelijen Turki. Juga saksi lainnya termasuk wartawan yang tinggal di pengasingan Cevheri Guven dan Meltem Oktay, mantan jaksa Hasan Dursun dan mantan hakim Suleyman Bozoglu.
Pemerintah Turki tidak menggunakan kesempatan yang diberikan untuk menjawab semua tuduhan ini.
Sementara itu, Johan Vande Lanotte, profesor hukum di Universitas Ghent, yang mengoordinasikan inisiatif tersebut, menyebutkan tidak efektifnya metode konvensional untuk meghukum pelanggaran hak asasi manusia di Turki membuat mereka memunculkan ide untuk mendirikan sebuah pengadilan sendiri.
Lanotte mengatakan keputusan badan-badan PBB, lembaga-lembaga Uni Eropa dan putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa tidak menghasilkan perubahan positif sehubungan dengan perilaku otoritas Turki.
Turki telah mengalami krisis hak asasi manusia yang mendalam dalam beberapa tahun terakhir, dan Presiden Recep Tayyip ErdoÄźan dengan tujuan mengkonsolidasikan pemerintahannya sendiri, telah secara sistematis merusak pilar-pilar fundamental demokrasi Turki yang sudah tidak sempurna.
(ian)